Modus Menjadikan Pekerja Sebagai Mitra

LEGAL OPINION
Question: Apa bisa, perusahaan hanya mengakui para pegawainya sebagai mitra? Misal seperti para driver taksi resmi, pemandu wisata, kurir, dan segala jenis pekerjaan lainnya, apa boleh seenaknya hanya diakui sebagai mitra, bukan sebagai pegawai yang berhak atas perlindungan hukum sebagai tenaga kerja? Kalau boleh gitu, maka semua perusahaan menjadikan karyawannya sebagai mitra saja.
Brief Answer: Konsep mengenai “mitra” memang kerap disalahgunakan dalam praktik. Sebenarnya terdapat perbedaan mencolok antara freelance (agen lepas) dengan mereka yang dikategorikan sebagai Pekerja / Buruh. Kurir yang berkantor pada tempat milik Pengusaha, hanya dapat dikategorikan sebagai Pekerja.
Sementara jasa ekspedisi luar yang independen, memiliki kantor dan pemimpin / penanggung jawab tersendiri yang terpisah dengan manajemen pengguna jasa, kurir tersebut baru dapat disebut sebagai “mitra”. Mitra, artinya hubungan kerja sama berlangsung secara berkesinambungan, bukan temporer ataupun insidentil—sifatnya lebih bersifat permanen, namun rangka konteksnya ialah dua orang Pengusaha saling bekerja sama, antara: pengguna saja dan pengusaha ekspedisi yang saling menjalin kerja sama rekanan.
Akan berbeda pula dengan konsepsi perihal freelance, dimana sifatnya independen dan hanya temporer alias insidentil. Namun, bila seseorang yang memberikan jasa dan tenaga, berdasarkan kepentingan dan arahan pihak Pengusaha, berkantor pada tempat usaha Pengusaha, bertindak / bekerja untuk dan atas nama Pengusaha, memakai fasilitas milik Pengusaha, potensi untung serta resiko rugi melekat pada pihak Pengusaha, mendapat upah langsung dari Pengusaha, dan sifatnya tidak temporer, maka sejatinya itu adalah Pekerja / Buruh, bukan “mitra”.
Meski demikian, tampaknya institusi peradilan masih mengadopsi standar yang rawan disalahgunakan oleh kalangan Pengusaha, yang hendak mempekerjakan tenaga kerja namun tak ingin dibebani kewajiban hak-hak normatif seorang Pekerja, yakni dengan dalil sebagaimana kaedah yang dibakukan oleh Mahkamah Agung RI: hanya ada unsur “pekerjaan” dan “upah”, tapi tidak ada unsur “perintah”, karena walaupun sang mitra tidak masuk kerja tidak ada sanksi, hanya saja sang mitra tidak mendapat imbalan jasa pekerjaan ketika tidak masuk kerja pada hari tersebut.
Seorang Pekerja Tetap juga tunduk pada asas no work no paid, sehingga dalil demikian memang terkesan dipaksakan. Sebaliknya, ketika Pengusaha tidak lagi memberikan “perintah”, sama artinya dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bahkan, seorang Pekerja Harian Lepas, yang ternyata de facto bekerja secara permanen semata kepada Pengusaha yang bersangkutan, akan dikualifikasi sebagai Pekerja Tetap, maka sejatinya konsep “kemitraan” lebih eksploitatif ketimbang seorang Pekerja Harian Lepas yang mendapat perlindungan hukum ketika masa kerjanya tergolong permanen.
Secara pribadi, SHIETRA & PARTNERS hanya dapat membenarkan konsep “kemitraan”, sepanjang tenaga kerja bersangkutan adalah Pekerja dari Pengusaha lain, dimana dua orang Pengusaha saling bermitra, dimana lebih menyerupai konsep outsourcing.
Dengan kata lain, “kemitraan” hanya dapat dimaknai sebagai outsourcing. Bila syarat-syarat outsourcing tidak terpenuhi, seorang “tenaga mitra” wajib demi hukum dikualifikasikan sebagai Pekerja Tetap—terutama bila pekerja outsource dipekerjakan untuk jenis pekerjaan pokok.
Dengan demikian, kalangan Pengusaha di Tanah Air hanya dapat memilh, untuk menggunakan Tenaga Kerja Lepas, ataukah menggunakan jasa tenaga outsourcing—tidak boleh dibiarkan terbuka opsi “memitrakan” tenaga kerja perorangan untuk pekerjaan permanen terlebih untuk pekerjaan yang bersifat pokok.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut memperlihatkan bagaimana “mitra” dapat dijadikan sebagai alibi sempurna melakukan PHK, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 346 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 26 Agustus 2014, perkara antara:
- SIGIT SUYADI, sebagai sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- CV. RAPI, dengan Sulaksono selaku direktur/pemilik, berkedudukan di Jalan Manunggal Jati Nomor 96, Desa Jatikalang, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat sejak bulan Maret 2006 telah bekerja sebagai sopir truck di perusahaan angkutan/ekspedisi CV.Rapi milik Tergugat (perhatikan bidang usaha utama sang Pengusaha, bahkan outsourcing tidak diperkenankan oleh hukum untuk mengerjakan bidang usaha pokok pengguna jasa, namun hanya jenis pekerjaan penunjang), tanpa adanya perjanjian kerja secara tertulis, hanya secara lisan bahwa gaji Penggugat ditetapkan berdasarkan jumlah angkutan/rit-ritan atau borongan.
Pada bulan Agustus 2009, melalui bagian HRD, meminta Penggugat untuk menandatangani sebuah surat bila Penggugat ingin tetap dinyatakan bekerja pada perusahaan Tergugat. Jika tidak bersedia tandatangan akan diberhentikan karena dianggap mengundurkan diri.
Tanpa pikir panjang, Penggugat menandatangani surat dimaksud. Ternyata dikemudian hari, Penggugat mengetahui bahwa surat-surat tersebut adalah: 1). Surat Formulir Mitra Kerja tertanggal 20 Agustus 2009; dan 2). Surat Perjanjian Mitra Kerja tertanggal 25 Agustus 2011.
Perjanjian Mitra Kerja tersebut ternyata hanya sepihak oleh karena syarat-syarat atau isi dalam surat perjanjian dimaksud tanpa dilandasi adanya musyawarah terlebih dahulu antara pihak Penggugat selaku pekerja dengan Tergugat selaku pengusaha.
Penggugat sebenarnya telah diikutsertakan Jamsostek pada bulan September 2009, dan sebagai anggota Jamsostek tersebut semestinya Penggugat hanya berkewajiban membayar premi sebesar 2% dari gaji. Tetapi kenyataannya sampai dengan Desember 2012, Penggugat harus membayar seluruh jumlah premi Jamsostek yaitu 5,7 % dari gaji yang diakui oleh Tergugat, yaitu sesuai dengan data gaji yang dilaporkan Tergugat ke Jamsostek sebesar Rp161.382,80. Padahal, jumlah penghasilan Penggugat dan sopir-sopir truck Tergugat adalah berdasarkan jumlah angkutan/rit-ritan/borongan.
Sejak tahun 2006 Tergugat juga tidak pernah membayar THR Penggugat serta kepada para pekerja yang lainnya. Dengan adanya Surat Perjanjian Mitra Kerja tersebut, Tergugat menganggap Penggugat bukan sebagai karyawan, melainkan sebagai Mitra Kerja oleh karena Penggugat tidak pernah diberikan perintah kerja untuk mengangkut barang dengan demikian tindakan Tergugat tersebut adalah sebagai bentuk pemutusan hubungan kerja (PHK) maka Penggugat mengajukan
Setelah perselisihan berlanjut ke hadapan Dinas Tenaga Kerja, Tergugat pada tanggal 5 Februari 2013 mengajukan Gugatan Wanprestasi terhadap Penggugat ke hadapan Pengadilan Negeri Sidoarjo, register perkara Nomor: 25/Pdt.G/2013/PN.Sda.
Gugatan Tergugat terhadap Penggugat hanya akal-akalan Tergugat dengan tujuan untuk menyurutkan niat Penggugat untuk mengajukan gugatan perselisihan hak antara Penggugat dengan Tergugat ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dengan dalih seolah-olah Penggugat telah melakukan wanprestasi terhadap Tergugat yaitu tidak memenuhi isi Surat Perjanjian Mitra Kerja tanggal 25 Agustus 2009 karena Penggugat sebagai sopir mitra kerja tidak bersedia mengangkut barang sebanyak 4 (empat) rit Surabaya-Jakarta dalam satu bulan.
Padahal dalam Surat Perjanjian dimaksud tidak ada ketentuan berapa kali Penggugat berkewajiban untuk mengangkut barang dalam satu bulannya. Kewajiban terhadap Penggugat adalah mengangkut barang apabila diberi tugas oleh Tergugat, dengan upah rit-ritan/borongan, jika tidak ada perintah angkut barang maka tidak ada penghasilan bagi Penggugat.
Oleh karena itulah maka tidak adanya perintah dari Tergugat kepada Penggugat untuk mengangkut barang sejak September 2012 sampai gugatan ini diajukan adalah sebagai suatu PHK terhadap Penggugat—[Note SHIETRA & PARTNERS: Suatu argumentasi yang sejujurnya tidak dapat dibantah.]
Bila kita berpedoman pada dalil Gugatan Tergugat terhadap Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo, bahwa rata-rata jumlah trayek Penggugat adalah 4 (empat) rit/bulan, maka menjadi terang dan jelas bahwa unsur “perintah” bersifat permanen dan berkesinambungan disamping konkret sifatnya.
Pihak Pengusaha bukan hanya menyanggah, bahkan juga menggugat balik (rekonpensi) sang Pekerja, dimana terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan putusan Nomor 79/G/2013/ PHI.Sby., tanggal 12 Februari 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
DALAM KONVENSI
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI
- Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;
- Menyatakan bahwa hubungan hukum antara Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi bukan merupakan hubungan kerja sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menyatakan bahwa hubungan hukum antara Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi adalah hubungan kerjasama berdasarkan Surat Perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani oleh keduanya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 20 Maret 2014 dan kontra memori kasasi tanggal 16 April 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa tidak terbukti adanya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat, (hanya ada unsur pekerjaan dan upah tapi tidak ada unsur perintah karena walaupun Penggugat tidak masuk kerja tidak ada sanksi, hanya Penggugat tidak mendapat imbalan jasa pekerjaan pada hari tidak masuk tersebut) sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Bahwa keberatan-keberatan kasasi selebihnya hanya berupa pengulangan dari yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Sigit Suyadi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SIGIT SUYADI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.