Modus Mandatory Convertible Bond dalam Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Saat ini debitor sedang terkena PKPU oleh seorang kreditor. Esok, rencananya akan dibahas usulan perdamaian oleh pihak manajemen debitor, dengan menawarkan agar piutang-piutang kami untuk diserahkan kepada mereka dimana sebagai penggantinya kami selaku kreditor akan diberikan porsi saham pada perusahaan debitor ini. Ada resiko hukum tidak, untuk kedepannya?
Brief Answer: Sebaiknya tawaran tersebut ditolak, karena pernah terjadi modus yang menggunakan mekanisme mandatory convertible bond, dimana saat debitor masuk dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara, debitor mengajukan proposal perdamaian, yang pada pokoknya menawarkan agar piutang-piutang para kreditor dialih-wujudkan atau dikonvensi menjadi kepemilikan saham pada perseroan (debitor).
Ketika proposal perdamaian disepakati sebagian besar kreditor, terjadi perdamaian (homologasi), dan perusahaan debitor kembali beroperasi dimana piutang para kreditor berubah menjadi bentuk saham pada perseroan (debitor). Para kreditornya kini beralih wujud sebagai pemegang saham.
Tidak lama kemudian, dengan alasan merugi, sang debitor justru setelahnya mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri. Alhasil, kreditor yang kini telah menjelma sebagai pemegang saham, tidak lagi dapat mengajukan tagihan sebagai kreditor.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi modus tingkat tinggi berikut menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS, sebagaimana dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara kepailitan register Nomor 459 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 28 Agustus 2015, perkara antara:
- BUDI PRIHANTORO, dan HARIADI SOEPANGKAT, selaku Presiden Komisaris / Komisaris Utama dan Komisaris PT. Mandala Airlines, sebagai Para Pemohon Kasasi; terhadap
- PT. MANDALA AIRLINES, selaku Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit.
Bidang usaha Pemohon adalah menyelenggarakan angkutan udara niaga berjadwal (pesawat penumpang komersiel). Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Pemohon mengalami pasang-surut dan berulang kali menghadapi kesulitan-kesulitan keuangan mengingat begitu ketatnya persaingan transportasi umum angkutan udara niaga di Indonesia.
Perhatikan manuver bisnis berikut: Tanggal 13 Januari 2011, Pemohon pernah mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utang Pemohon kepada para kreditur ketika itu.
Atas permohonan PKPU, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh karenanya menerbitkan Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST., tanggal 17 Januari 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011 tertanggal 20 Juli 2011 yang mengabulkan permohonan PKPU Pemohon.
Dalam jalannya proses PKPU, Pemohon mengajukan rencana perdamaian pada tanggal 18 Februari 2011 kepada para kreditur ketika itu. Adapun pada pokoknya rencana restrukturisasi yang ditawarkan dalam Rencana Perdamaian tersebut adalah pelaksanaan konversi atas utang-utang Pemohon kepada para kreditur konkuren menjadi kepemilikan saham pada Pemohon ketika itu, dan diikuti dengan masuknya investor strategis sebagai salah satu pemegang saham dari Pemohon.
Rencana Perdamaian tersebut kemudian disetujui oleh sebagian besar kreditur Pemohon ketika itu sehngga disahkan berdasarkan Penetapan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST., yang diucapkan dalam persidangan tanggal 2 Maret 2011 sebagai “Pengesahan Perdamaian”.
Menindak-lanjuti Pengesahan Perdamaian, Pemohon telah memenuhi seluruh kewajiban kepada para kreditur konkuren dengan melakukan konversi utang-utang Pemohon kepada para kreditur konkuren ketika itu menjadi kepemilikan saham dalam perusahaan Pemohon.
Setelah selesainya proses PKPU, Pemohon kemudian melanjutkan kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia. Meski pada gilirannya Pemohon sempat melanjutkan kembali kegiatan usahanya, namun Pemohon tetap mengalami kesulitan finansial (keuangan) dan tidak mampu untuk membayar utang-utang Pemohon kepada para kreditur yang timbul setelah selesainya proses PKPU, sebagaimana tercermin dalam laporan keuangan per tanggal 31 Desember 2013 yang telah diaudit.
Bahkan, Pemohon tidak pernah memperoleh keuntungan atau mendekati untung pada kuartal operasi manapun. Hal ini telah memberikan dampak yang besar terhadap kemampuan financial Pemohon. Adapun hal-hal yang menyebabkan kesulitan keuangan dan ketidakmampuan Pemohon untuk melunasi utang-utangnya kepada para kreditur adalah:
(i) Biaya yang besar yang timbul untuk perawatan (maintenance) pesawat-pesawat milik pihak ketiga yang digunakan oleh Pemohon berdasarkan perjanjian leasing;
(ii) Kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar pesawat sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang;
(iii) Infrastruktur airport yang belum memadai untuk menyokong operasi penerbangan domestik Pemohon yang berkesinambungan;
(iv) Slot yang terbatas pada bandar udara-bandar udara utama yang kemudian membatasi skala operasi ekonomi perusahaan;
(v) Penumpukan biaya-biaya operasional yang terakumulasi dalam waktu yang panjang sehingga mencapai jumlah yang sangat besar;
(vi) Depresiasi mata uang Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat, dimana sebagian besar atau hampir seluruh biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Pemohon menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Untuk mengantisipasi kesulitan keuangan, Pemohon telah berusaha keras untuk mengurangi biaya dengan cara mengurangi jumlah armada dari 9 menjadi hanya 5 pesawat dan berikutnya hingga 4 pesawat. Pemohon selanjutnya juga telah berusaha meningkatkan pendapatan dengan mengkombinakasikan penerbangan international dan domestik serta memperkenalkan rute yang lebih populer seperti Hongkong ke Denpasar.
Namun demikian ternyata dengan berlanjutnya over-kapasitas disektor penerbangan Indonesia, Pemohon terus menghadapi tekanan dari sisi bisnis dan selanjutnya Pemohon tidak dapat meningkatkan pendapatan dibandingkan dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan. Kerugian terus berlanjut tanpa dapat dihindari.
Sebagai dampak dari kesulitan finansial yang dialami, Pemohon melakukan penghentian kegiatan usaha per tanggal 1 Juli 2014, meski perizinan dari otoritas masih aktif dan berlaku.
Penghentian kegiatan usaha ini dilakukan dengan segera oleh Pemohon mengingat kerugian usaha yang besar dan dengan tujuan untuk mengurangi penambahan beban finansial Pemohon karena jika Pemohon tidak melakukan penghentian kegiatan usaha, maka dikhawatirkan akan memperburuk kondisi keuangan Pemohon dengan bertambahnya beban biaya operasional dan biaya-biaya lainnya.
Terhadap permohonan pernyataan pailit dari Pemohon, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 48/Pdt.Sus/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.,tanggal 9 Februari 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa oleh karena ... , seorang Advokat, dan permohonan pailit didaftarkan di PN. Niaga Jakarta Pusat tertanggal 09 Desember 2014 serta Surat Kuasa dari Paul Rombeek selaku direktur PT. Mandala Airlines ditandatangani tertanggal 06 November 2014 maka untuk mencabut surat kuasa harus berasal dari orang yang memberi kuasa atau harus melalui RUPS yang benar jika sekiranya Pemohon Keberatan mendalilkan Paul Rombeek sebagai direktur telah mengundurkan diri;
“Menimbang, bahwa fakta dipersidangan tidak ada surat bukti berupa RUPS yang baru yang dapat melemahkan RUPS Akta Nomor 24 tanggal 11 Agustus 2014 tersebut;
MENGADILI :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon tersebut;
2. Menyatakan Pemohon PT. Mandala Airlines Pailit dengan segala akibat hukumnya;
3. Menunjuk ... Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas;
4. Mengangkat ... sebagai kurator yang terdaftar pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Nomor. ... tertanggal ... sebagai kurator dalam kepailitan ini;
5. Menetapkan imbalan jasa (fee) kurator akan ditetapkan kemudian setelah kurator selesai melaksanakan tugasnya.”
Dewan Komisaris PT. MANDALA AIRLINES mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum terkait dengan kewenangan anggota komisaris dalam melakukan pengurusan PT. Mandala Airlines karena posisi direktur lowong dan belum ada penggantian direksi baru berdasarkan keputusan rapat Umum Pemegang Saham.
Pengadilan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi terkait dengan adanya kewenangan Komisaris (Pemohon Kasasi) untuk bertindak atas nama perseroan PT. Mandala Airlines dan melakukan pengurusan perseroan karena adanya kekosongan jabatan direktur PT. Mandala Airlines.
Faktanya, sejak 17 Desember 2014, posisi direksi PT. Mandala Airlines telah lowong dengan adanya pengunduran diri dari Paul Rombeek. Pengadilan Niaga Jakarta sama sekali tidak mempertimbangkan bukti-bukti tersebut, padahal secara nyata dan tegas disebutkan adanya pengunduran diri Paul Rombeek sebagai direktur PT. Mandala Airlines—sehingga ketika Komisaris menghadap ke persidangan guna meminta dicabut permohonan pailit, semestinya kepailitan tidak terjadi.
Bila kita merujuk Pasal 107 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, jabatan direksi dapat berakhir karena adanya pengunduran diri tanpa harus melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), selengkapnya berbunyi:
“Dalam anggaran dasar diatur ketentuan mengenai:
a. Tata cara pengunduran diri anggota Direksi;
b. Tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong; dan
c. Pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara.”
Pejelasan Pasal 107 huruf a UU Perseroan Terbatas:
“Tata cara pengunduran diri anggota Direksi yang diatur dalam anggaran dasar dengan pengajuan permohonan untuk mengundurkan diri yang harus diajukan dalam kurun waktu tertentu. Dengan lampaunya kurun waktu tersebut, anggota Direksi yang bersangkutan berhenti dari jabatannya tanpa memerlukan persetujuan RUPS.”
Dengan demikian Komisaris (Pemohon Kasasi) memiliki kewenangan melakukan pengurusan PT. Mandala Airlines karena terjadi kekosongan posisi seluruh anggota direksi, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Anggaran Dasar Perseroan:
“Jika oleh sebab apapun semua jabatan anggota Direksi lowong, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya lowongan harus diselenggarakan RUPS untuk mengisi mengangkat anggota Direksi yang baru dan Perseroan untuk sementara waktu diurus oleh anggota Dewan Komisaris.”
Pasal 118 UU Perseroan Terbatas:
(1) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu; [Note SHIETRA & PARTNERS: Dewan Komisaris, artinya bersifat kolegial-kolektif. Sementara dalam Anggaran Dasar perseroan kasus diatas, hanya ditentukan oleh cukup oleh anggota Dewan Komisaris.]
(2) Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku semua ketentuan menqenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga.”
Dengan adanya kekosongan anggota direksi, Pemohon Kasasi mengambil-alih seluruh wewenang direksi untuk melakukan pengurusan PT. Mandala Airlines, sebelum adanya atau ditunjuknya direksi baru berdasarkan RUPS. Namun Pengadilan Niaga justru mengabaikan kewenangan Pemohon Kasasi selaku Komisaris PT. Mandala Airlines dalam melakukan pengurusan pada saat Paul Rombeek mengundurkan diri, sampai adanya keputusan pengangkatan direksi baru dalam RUPS.
Pemberian wewenang kepada direksi (Paul Rombeek) pada Akta Nomor 24 tanggal 11 Agustus 2014, karena pada saat itu direksi perseroan masih dijabat oleh Paul Rombeek. Akan tetapi sejak tanggal 17 Desember 2014, Paul Rombeek yang telah memberikan kuasa kepada pengacaranya untuk mengajukan pailit, telah mengundurkan diri dan tidak lagi mempunyai kewenangan untuk melanjutkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai direksi PT. Mandala Airlines.
Dengan adanya pengunduran diri dan berakhirnya kewenangan Paul Rombeek sebagai direktur dimana belum ada direktur baru yang ditunjuk oleh RUPS, maka sesuai dengan Anggaran Dasar PT. Mandala Airlines jo. Pasal 107 dan Pasal 118 UU Perseroan Terbatas, Pemohon Kasasi sah mengambil alih pengurusan PT. Mandala Airlines dan mencabut surat kuasa yang telah diberikan oleh Paul Rombeek kepada pengacara, maka secara yuridis sang pengacara tidak lagi memiliki wewenang untuk tetap melanjutkan proses permohonan kepailitan terhadap perseroan.
Secara jelas anggota direksi yang mengundurkan diri berhenti dari jabatannya tanpa memerlukan persetujuan RUPS, seperti halnya jabatan direksi yang berakhir karena meninggalnya sang pejabat—juga tidak disyaratkan keputusan RUPS, karena RUPS tidak dapat menghalangi pejabat direksi yang hendak mengundurkan diri ataupun meninggal dunia.
Paul Rombeek dalam hal ini memberikan kuasa kepada pengacaranya dalam jabatannya sebagai direktur PT. Mandala Airlines. Artinya, apabila jabatan direktur tersebut berakhir (karena pengunduran diri) maka secara yuridis Paul Rombeek tidak memiliki wewenang lagi untuk melakukan pengurusan perseroan setelah pengunduran diri, termasuk mencabut kuasa yang telah diberikannya kepada sang pengacara.
Pencabutan kuasa harus dilakukan oleh pengurus selanjutnya, dalam hal ini karena pengurusan sementara diambil-alih oleh Pemohon Kasasi sebagai komisaris berdasarkan kewenangannya sebagaimana diberikan dalam Anggaran Dasar PT. Mandala Airlines, maka pencabutan kuasa terhadap sang pengacara adalah sah dan mengikat, sehingga dengan serta-merta sang pengacara telah kehilangan kewenangannya untuk bertindak atas nama PT. Mandala Airlines dalam melanjutkan proses pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.
Dimana terhadap argumentasi sang Komisaris Perseroan yang dapat dibenarkan secara yuridis-formil, Mahkamah Agung gagal membuat pertimbangan yang matang, dengan menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 16 Februari 2015 dan kontra memori tanggal 2 Maret 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa putusan dan pertimbangannya sudah tepat dan benar yaitu menyatakan Pemohon Pailit dengan segala akibat hukumnya, putusan mana telah sesuai dengan hasil pemeriksaan dalam persidangan yang menunjukkan bahwa secara sederhana Pemohon dapat membuktikan dalil permohonannya yaitu bahwa Pemohon tidak mampu membayar hutangnya kepada lebih dari 1 (satu) kreditor meskipun telah diusahakan selama periode berlakunya PKPU, hutang mana telah dapat ditagih, oleh karenanya sudah benar persyaratan Pailit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah terpenuhi, sehingga sudah selayaknya putusan Judex Facti dalam perkara a quo dikuatkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 48/Pdt.Sus/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 9 Februari 2015, dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi : Budi Prihantoro, S.H., dan Hariadi Soepangkat tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: BUDI PRIHANTORO, S.H., dan HARIADI SOEPANGKAT, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.