Kepatutan dalam Konteks Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Hukum dari Hukum, Wajib Bersifat Logis
Question: Dalam praktik, terdapat 1001 jenis karakter kondisi dan keadaan yang tidak ter-cover oleh peraturan perundang-undangan. Tidak mungkin regulasi tertulis mengatur secara detail setiap karakter kejadian yang dapat terjadi dalam praktik, dengan segala kemungkinan modus yang dapat terjadi dan berkembang.
Penyusun peraturan juga tidak mungkin terpikirkan berbagai kejadian yang mungkin terjadi dalam praktik. Terhadap karakter kejadian yang tidak diatur secara demikian terinci dalam undang-undang, maka apa yang menjadi rambu utamanya bagi warga negara untuk menentukan sesuatu sikap, sebagai boleh atau tidaknya?
Brief Answer: Singkatnya, yang logis adalah “nafas” dari hukum. Sementara yang tidak logis, dapat dikategorikan sebagai tidak patut dimasukkan sebagai hukum. Sementara yang disebut dengan logis, artinya terdapat alasan yang memadai sebagai pertimbangannya ketika membuat suatu pilihan dalam setiap perbuatan dan hubungan hukum.
Secara falsafah, meski hukum tidak dapat melepaskan diri dari karakter prosedural, namun hukum tidak dapat dibenarkan untuk mengidentikkan diri dengan “keadilan prosedural”, karena manusia yang menjadi subjek hukum yang diaturnya bukanlah robot yang demikian mekanistis dimana harus mengingat seperangkat jutaan atau bahkan miliaran pasal dalam setiap gerak langkah dan nafasnya. Inflasi hukum akan menjelma sebagai petaka bagi peradaban manusia.
Sejatinya dimungkinkan bagi pemerintah dan jajaran kementeriannya untuk menerbitkan jutaan hingga miliaran undang-undang dan peraturan baru secara mendetail atas setiap sendi kehidupan sosial dan dinamikanya.
Namun alangkah sukarnya hidup dengan demikian prosedural, yang bisa jadi menjerat warga negara yang beritikad baik bahkan menyandera langkah pemerintah yang hendak bergerak progresif, karena bisa jadi, sebagaimana dikemukakan lewat tudingan Roberto Unger, bahwa “motif pembuat undang-undang patut diragukan”.
Maka untuk sendi-sendi yang demikian beragam karakteristiknya, cukuplah diserahkan kepada nilai-nilai kewajaran dan kepatutan dalam menilai sesuatu sebagai layak atau tidaknya lewat kacamata manusia berakal sehat (lepas dari anasir ideologi apapun, the pure theory of law), dengan berbagai faktor seperti apakah si pelaku telah penuh pertimbangan dan memiliki dasar alasan yang dapat dibenarkan—sehingga hukum tidak menjelma “benang kusut” yang demikian menggurita.
Bahkan, untuk sekaliber Sarjana Hukum kontemporer sekalipun, adalah mustahil untuk menguasai dan menghafal seluruh regulasi yang diterbitkan dalam satu negara. Kini, berbagai Sarjana Hukum mulai merasionalisasi dengan menekuni spesialisasi bidang hukum tertentu, tidak lagi secara generalisir. Adalah sangat berbahaya, mengandalkan nasib di tangan seorang profesi hukum yang menggeneralisir jasa layanan hukumnya.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai cerminan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 413 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 20 Juni 2016, perkara antara:
- PT. BANGUN PERKASA ADHITAMA SENTRA PLANT CITEUREUP, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- CICI SUHENDAR, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat bekerja pada Tergugat sejak tahun 2009. Sengketa timbul ketika Pengusaha menerbitkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi Penggugat pada tanggal 12 Agustus 2015. PHK yang dilakukan oleh Tergugat, adalah dengan alasan karena Penggugat dianggap melakukan kesalahan berat.
Sebagaimana yang sudah-sudah, kalangan Pekerja akan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dimana norma Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur kesalahan berat sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan selanjutnya dengan berdasar pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks) Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 dapat dilakukan setelah ada putusan Hakim Pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Note SHIETRA & PARTNERS: Putusan MK RI pada tahun 2003 tersebut sebagaimana dikutip sang Pekerja, penulis nilai sebagai lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi kalangan Pekerja. Mengapa? Karena putusan MK RI tersebut melahirkan harapan semu, bahwa kalangan Pekerja / Buruh dengan demikian menjadi “kebal hukum” karena diberikan imunitas sehingga “Pekerja tidak pernah dapat melakukan Pelanggaran Berat”. Persepsi demikian sungguh menjebak, dan menjadi bumerang.
Sang Pekerja oleh karenanya mendalilkan, hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dinyatakan tidak terputus dan terus berlanjut. Karena hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dinyatakan tetap berlanjut, maka Penggugat meminta kepada pengadilan agar Tergugat diperintahkan membayar hak upah Penggugat selama proses pemeriksaan perkara terhitung sejak upah bulan September 2015 sampai perkara ini mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 250/Pdt.Sus-PHI/2015/PN BDG., tanggal 2 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa dalam Surat Keputusan Tergugat Nomor ... tanggal 12 Agustus 2015 tentang Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat sejak tanggal 12 Agustus 2015 (Bukti P-2/T-10) tidak ada disebut alasan pemutusan hubungan kerja terhadap Penggugat karena Penggugat melakukan kesalahan berat akan tetapi jika dibaca bagian ‘menimbang’ surat pemutusan hubungan kerja tersebut yang menjadi alasan pemutusan hubungan kerja pada pokoknya adalah karena dalam masa berlaku Surat Peringatan III Penggugat kembali lagi melakukan kesalahan berupa melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan mengancam atasan Penggugat”;
“Menimbang, bahwa kemudian saksi ... menerangkan bahwa pada tanggal 4 Agustus 2015 saksi yang menangkap Penggugat, ketika itu Penggugat bersama temannya ada di ruang kerja karyawan yang bersebelahan dengan ruangan saksi, saksi mencium bau rokok lalu saksi melihatnya ternyata di dalam ruang itu ada Penggugat bersama Sudarma sedang merokok masih pada jam kerja, selanjutnya saksi mengetok kaca supaya mereka menghadap kepada saksi di jam istirahat dan setelah mereka menghadap, Penggugat membuka kalung besi dari lehernya kemudian dilingkari pada tangannya dalam keadaan emosi dan menunjuk kepada saksi mengancam dan mengatakan kepada saksi ‘awas ... jika jadi di pemutusan hubungan kerja, akan menjadi masalah pribadi’;
“Menimbang, maka menurut penilaian Majelis Hakim adalah hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dinyatakan putus sejak 1 Maret 2016 dengan mewajibkan Tergugat untuk membayar uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 kepada Penggugat;
“... maka berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) dan penjelasan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tergugat masih berkewajiban dan karenanya Majelis Hakim memerintahkan Tergugat untuk membayar upah Penggugat sejak September 2015 sampai dengan Februari 2016 sebesar 6 bulan x Rp2.990.000,00 (tujuh belas juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah), karenanya petitum angka 5 gugatan Penggugat dapat dikabulkan sebagian yaitu sampai bulan Februari 2016 dan menolak frase ‘sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap’;
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 1 Maret 2016;
3. Memerintahkan Tergugat untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian kepada Penggugat sejumlah Rp34.385.000,00 (tiga puluh empat juta tiga ratus delapan puluh lima ribu rupiah);
4. Memerintahkan Tergugat untuk membayar upah (proses) Penggugat sejumlah Rp17.940.000,00 (tujuh belas juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah).”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwasannya Tergugat sudah sering melakukan pembinaan berupa surat peringatan dengan harapan Penggugat bisa menghilangkan atau minimal mengurangi kebiasaannya merokok pada jam serta tempat yang dilarang.
Setelah dilakukan pemanggilan oleh atasan, Penggugat melakukan pengancaman sehingga agar tidak ditirukan oleh para pekerja lainnya yang akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Dimana terhadap dalil-dalil sang Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi dari Pemohon Kasasi serta kontra memori kasasi dari Termohon Kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran perjanjian kerja bersama, maka pemutusan hubungan kerja karena adanya pelanggaran sesuai ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Penggugat berhak atas kompensasi yang diatur dalam Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh Judex Facti;
- Bahwa namun demikian putusan Judex Facti perlu diperbaiki sepanjang mengenai pembayaran upah yang biasa diterima selama 6 (enam) bulan menjadi tidak diberikan dengan pertimbangan karena Penggugat terbukti merokok ditempat kerja yang dilarang dan melakukan pengancaman kepada rekan kerja sehingga beralasan kepada Penggugat untuk tidak diberikan upah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. BANGUN PERKASA ADHITAMA SENTRA PLANT CITEUREUP, tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 250/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 2 Maret 2016 yaitu mengenai upah yang biasa diberikan sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BANGUN PERKASA ADHITAMA SENTRA PLANT CITEUREUP, tersebut;
“Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 250/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 2 Maret 2016, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 1 Maret 2016;
3. Memerintahkan Tergugat untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian kepada Penggugat sebesar Rp34.385.000,00 (tiga puluh empat juta tiga ratus delapan puluh lima ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS :
Guna melakukan “uji moril” terhadap putusan dan ratio decidendi Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya, ajukanlah pertanyaan berikut: “Mahkamah Agung telah menolak memberikan Upah Proses meski sang Pekerja adalah Pekerja Tetap. Apakah putusan Mahkamah Agung telah keliru? Apakah ada alternatif rumusan amar putusan dan pertimbangan hukum yang lebih memadai? Apakah putusan yang sebaliknya akan menimbulkan moral hazard yang lebih besar?”
Jika pertanyaan tersebut berhenti tanpa mendapat perlawanan argumentasi secara berarti, berarti putusan tersebut telah lolos “uji moril”. Putusan yang mampu lolos “uji moril”, berarti putusan tersebut telah memadai dari segi kualitas, bobot pertimbangan, serta hubungan yang logis antara alasan, dasar hukum, dan konteks hukum yang ada.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.