LEGAL OPINION
Asas Nebis In Idem Tidak Dapat Menyentuh Rezim Kepailitan
Question: Dulu sekali, pernah ada gugatan pailit terhadap sebuah perusahaan oleh suatu pihak, namun pengadilan menolak untuk mempailitkannya. Kini perusahaan yang sama itu, ada hutang yang belum juga dilunasi kepada pabrik saya. Apa artinya perusahaan itu sudah tidak boleh dipailitkan oleh saya?
Brief Answer: Meski Undang-Undang tentang Kepailitan tidak mengatur secara tegas, hanya secara sumir menyatakan diakuinya hukum acara perdata dalam HIR/Rbg, namun kaedah yurisprudensi yang dibentuk oleh putusan pengadilan menyatakan: Kepailitan tidak mengenal asas “nebis in idem”, sehingga terhadap debitor yang sama, dapat diajukan pailit oleh pihak manapun sekalipun berkali-kali, tanpa suatu limitasi—bahkan tidak tertutup kemungkinan diajukan pailit oleh pihak kreditor yang sama.
PEMBAHASAN:
Kepailitan adalah instrumen hukum yang cukup unik, terutama bila dikaitkan dengan asas “nebis in idem” yang melarang putusan vonis ganda terhadap suatu subjek, objek, dan pokok perkara yang sama, namun karakter dalam kepailitan ternyata memiliki daya lentur margin yang lain dari sengketa hukum lainnya, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepailitan register Nomor 480 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 tanggal 28 November 2014, perkara antara:
- PT. MULTI STRUCTURE, sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Termohon Pailit; terhadap
- PT. HIDUP BARUNA, selaku Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Pemohon Pailit.
Pemohon mendalilkan adanya kewajiban Termohon kepada Pemohon karena adanya hubungan hukum berupa perjanjian Sewa Compactor Padfoot, dimana Pasal IV Ayat (3) Perjanjian Sewa 6 unit Smooth Drum Compactor tanggal 8 Desember 2009, pembayaran dilakukan 30 hari kalender sejak invoice diterima dan nyatakan lengkap oleh Termohon.
Dengan demikian jumlah tagihan Pemohon yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Termohon, ialah sebesar Rp725.678.216,67. Pemohon telah berkali-kali mencoba menagih Termohon sejak tahun 2010 untuk melunasi utangnya, baik melalui surat maupun dengan mendatangi langsung ke alamat Termohon, akan tetapi Termohon hingga kini belum juga memenuhi kewajibannya.
Dengan demikian status utang Termohon kepada Pemohon, ialah dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya kepada Para Pemohon sejak tahun 2010. Sementara dalam bantahannya, pihak Termohon berkilah, bahwa perkara tersebut masih dengan pembuktian yang tidak sederhana karena Jumlah Utang antara Pemohon dan Termohon masih belum signifikan dan perlu dibuktikan lagi mengenai besaran jumlah utang.
Termohon mendalilkan pula, permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon adalah Nebis In Idem dengan alasan hukum Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon, subyeknya sama, obyeknya sama dan Kualifikasinya sama dengan permohonan Pemohon tanggal 21 November 2013 dalam register Nomor 60/Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, dalam perkara PT. Hidup Baruna sebagai Pemohon Pailit terhadap PT. Multi Structure sebagai Termohon Pailit, yang telah diputus pada tanggal 20 Januari 2014 dan telah mempuyai kekuatan hukum tetap dengan amar sebagai berikut: “Menolak Permohonan Pemohon.”
Mengingat putusan tersebut telah mempuyai kekuatan hukum yang tetap, karenanya permohonan Pemohon tidak lagi dapat diajukan karena Nebis In Idem. Permohonan yang diajukan oleh Pemohon (PT. Hidup Baruna) adalah Nebis In Idem, mengingat Pemohon dalam Perkara ini pada hakekatnya juga sama dengan Permohonan Pailit Perkara Nomor 07/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst yang telah diputus pada tanggal 7 April 2014 yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan amar: “Menolak Permohonan Para Pemohon.”
Terhadap permohonan pernyataan pailit Pemohon, Pengadilan Niaga Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 13/Pdt.Sus-Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 12 Juni 2014, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam Kepailitan tidak dikenal adanya asas nebis in idem, jatuh waktu, atau tidak ada Kreditur lain mungkin tidak dapat dibuktikan, akan tetapi pada perkara berikutnya adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan juga adanya Kreditur lain sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mungkin dapat dibuktikan, selain itu dalam Kepailitan bentuknya adalah permohonan bukan bentuk gugatan, sehingga akan selalu dapat diajukan permohonan lagi walaupun dalam permohonan sebelumnya sudah pernah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak seluruh permohonan Pemohon.”
Baik Pemohon maupun sang Termohon Kasasi secara paralel saling mengajukan upaya hukum kasasi—meski tampak aneh ketika Termohon turut mengajukan kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
- Bahwa alasan-alasan dalam memori kasasi dari Pemohon Kasasi I (PT. Hidup Baruna) tersebut tidak dapat dibenarkan dan Judex Facti telah tepat dan benar dalam pertimbangannya karena perjanjian antara PT. Multi Structure dan PT. Hidup Baruna adalah perjanjian sewa Compactor padfoot dan bukan perjanjian kredit/hutang piutang sehingga bila salah satu pihak tidak dapat memenuhi / membayar harga sewa maka tidak serta merta dapat mengajukan permohonan pailit tapi diperlukan pembuktian melalui mekanisme persidangan perkara perdata umum terlebih dahulu;
- Bahwa sedangkan mengenai permohonan pemeriksaan kasasi pihak PT. Multi Structure mengenai pertimbangan hukum Judex Facti terkait eksepsi yang diajukannya, menurut pertimbangan Majelis Kasasi, pertimbangan hukum Judex Facti mengenai eksepsi dimaksud telah tepat dan benar, karena dalam permohonan pernyataan pailit dapat saja terjadi pihak-pihaknya berbeda dalam setiap pengajuan permohonan pernyataan pailit dimana kreditur dapat lebih dari satu dan masing-masing kreditor tersebut dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit secara sendiri-sendiri sehingga komposisi pihak setiap pengajuan perkara dapat saja menjadi berbeda-beda dan tidak tunduk dalam rezim nebis in idem;
- Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II: PT. Hidup Baruna maupun oleh Pemohon Kasasi I: PT. Multi Strukcture tersebut harus ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I: PT. MULTI STRUCTURE dan Pemohon Kasasi II: PT HIDUP BARUNA tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: PT. MULTI STRUCTURE dan Pemohon Kasasi II: PT. HIDUP BARUNA tersebut.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS:
Sama saja dengan keanehan terhadap Upah kalangan Pekerja / Buruh yang tertunggak, tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung bagi sang Pekerja untuk secara serta-merta mempailitkan sang Pengusaha, tapi harus didahului gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Barulah jika Pengusaha lalai menunaikan isi putusan, status Pekerja baru dapat dikategorikan sebagai “kreditor”.
Keanehan baru dapat kita jumpai ketika sang Pengusaha telah jatuh pailit atau permohonan kreditornya, maka para Pekerja tidak perlu terlebih dahulu menggugat, namun berhak untuk langsung (seketika itu juga) mendaftarkan tagihan Upah tertunggak dalam kategori sebagai “Kreditor Preferen” tanpa disyaratkan bukti putusan PHI.
Sama anehnya dengan pihak pemberi sewa manapun yang mendapati pihak penyewa yang belum membayar biaya sewa namun ternyata sudah jatuh pailit, tidak perlu baginya untuk terlebih dahulu menggugat ke Pengadilan Negeri, namun mereka berhak untuk seketika mendaftarkan piutang dan akan dimasukkan dalam kategori “Kreditor Konkuren”—karena, bagaimanapun, sewa-menyewa dilandasi oleh kontraprestasi berupa nominal uang yang dinyatakan secara tegas dalam kontrak sewa, bukan konstruksi hukum berupa barter seperti dalam hubungan hukum tukar-menukar barang yang tidak dapat dinilai secara sederhana nilai ke-ekonomisannya.
Dari dua contoh sederhana ini, bukankah sudah dapat melukiskan, betapa lembaga kepailitan adalah lembaga yang paling aneh tapi nyata dalam konsep hukum niaga—setidaknya untuk menggambarkan, betapa tidak sederhananya proses kepailitan yang ternyata penuh liku dan prosedur yang dilanggar sendiri saat rapat verifikasi / pencocokan piutang. Sebuah standar ganda, dapat kita katakan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.