Kekuatan Semantik yang Bekerja Dibalik Hukum

ARTIKEL HUKUM
Seseorang yang sarjana hukum yang berpraktik, namun tidak memahami dengan baik afeksi (emotional quotient), emotional prediction, serta pemahaman paling dasar dalam keterampilan disiplin ilmu psikologi, adalah petaka dan penyebab demikian tidak terarahnya praktik berhukum di Indonesia. Artikel singkat ini mencoba untuk mengungkap beberapa fakta faktual yang, semoga dapat turut dicerna oleh pembaca dari kalangan awam hukum—terutama bagi mereka yang hendak menempuh pendidikan tinggi hukum di Tanah Air.
Prinsip ini berlaku dengan penekanan lebih bagi kalangan sarjana hukum yang telah (terlanjur) berprofesi sebagai seorang pendidik / dosen pada bangku pendidikan tinggi hukum (pedagogi yang memanusiakan para calon sarjana hukum), kalangan regulator (penyusun legislasi yang humanis karena disusun untuk mengatur seorang manusia, bukan seorang robot yang mekanistis), serta kalangan hakim (yang memutus sengketa suatu perkara pidana maupun perdata dimana sang hakim seyogianya tidak menggunakan selera pribadi ketika memutus dengan mengatasnamakan independensi hakim).
Perihal kekuatan dibalik suatu penggunaan “kata” (berasal dari akar kata “semantic”) serta merangkai suatu kata-kata membentuk suatu kalimat dengan makna tertentu, selalu memiliki variasi, yang oleh seorang yang kurang memiliki kecerdasan emosi, akan tampak kongruen / sebangun—namun bagi mereka yang lebih peka, yang terjadi adalah sangat signifikan.
Sebagai contoh, pernahkah Anda menyimak berbagai lontaran ucapan seseorang, baik di radio, televisi, atau di keseharian, dimana sang pembicara selalu menggunakan kata (pilihan yang terjadi di balik proses alam bawah sadar sang pembicara): “Saya”, “saya”, dan “saya”?
Dalam berbagai kasus tersangka tindak pidana korupsi yang terjaring oleh penegak hukum, setelah penulis cermati, ternyata benarlah, kata-kata yang paling kerap terlontar dari seorang pelaku kejahatan “kerah putih” (white collar crime), ialah dicirikan dengan dilontarkannya kata-kata “saya” sebagai ciri khas dalam berbagai kalimat yang mereka lontarkan.
Saya ... , saya ... , saya ... .”—susunan semacam ini merupakan hal yang unik dan terpola, sehingga menyerupai ilmu graphologi (seni membaca karakter lewat membaca tulisan tangan dan tanda-tangan milik seseorang dengan tingkat keakurasian yang sangat tinggi serta telah digunakan secama masal oleh FBI di Amerika Serikat dalam grafologi forensik).
Kecenderungan menggunakan frasa “saya” dalam setiap lontaran diskusi ataupun dialog, menunjukkan pola ciri “self”-sentris. Untuk menguji seberapa tajam ataukah tumpulnya, daya afeksi dan emotional prediction Anda, perhatikan kedua pola variasi kalimat berikut:
- “Saya ingin ke kantor, hari ini. Saya sedang perlu mengerjakan sesuatu di sana. Saya akan kontak Bapak lagi setibanya di sana.”
- “Hari ini saya perlu ke kantor, sedang ada yang perlu saya kerjakan di sana. Bapak akan saya kontak lagi setibanya di sana.”
- “Hari ini ke kantor, saya. Sedang ada yang perlu dikerjakan di sana. Nanti kita kontak lagi ya, Pak, setelah tiba di sana.”
Tes sederhana ini, akan menggambarkan potensi bakat paling mendasar yang perlu dimiliki oleh seorang sarjana hukum: kepekaan semantik. Bila Anda merasa tiada yang salah dengan variasi kalimat pertama, maka penulis rekomendasi pada Anda untuk tidak menekuni profesi hukum.
Seorang sarjana hukum, memiliki syarat utama bukanlah daya memori yang tinggi—suatu salah kaprah yang bahkan masih dipertahankan sebagian besar kalangan psikolog “ketinggalan zaman” ketika melakukan tes potensi bakat. Hanya seorang sarjana hukum “bodoh” yang hanya membuang-buang waktu dengan mencoba untuk menghafal miliaran pasal dalam undang-undang yang akan berubah beberapa tahun kemudian—dimana salah kaprah ini diteruskan pula oleh sebagian besar kaum dosen pengajar di bangku perkuliahan terhadap para peserta didik yang dituntut untuk menghafal undang-undang dan teori.
Seorang sarjana hukum, perlu memiliki kepekaan terhadap detail komposisi susunan pemilihan kata, inilah yang kemudian dikenal dengan “daya peka semantis”. Selain kemampuan untuk menyusun rangkaian / untaian kata-kata membentuk kalimat yang memiliki daya penetrasi emosional dan psikologis, tuntutan paling utama dari kalangan sarjana hukum ialah “daya peka semantis”.
Penulis menjumpai banyak diantara kalangan praktisi sarjana hukum, yang memiliki daya afeksi dan emotional prediction yang sangat memprihatinkan (tanpa bermaksud untuk melebih-lebihkan), namun duduk memangku jabatan strategis dibidang hukum, sebagai profesi pengacara, hakim, bahkan legislator.
Kini, penulis akan menyinggung beberapa aspek terkait sematik dalam tataran implementasi hukum. Regulator di daerah, dalam menyusun Peraturan Daerah (Perda), perlu mempertimbangkan faktor psikologis masyarakat dan sosial yang secara de facto, majemuk.
Ketika seorang regulator gagal memahami fakta tersebut, bahkan menyesahkan Perda Syariah, sebagai contoh, sejatinya merongrong wibawa Pancasila yang mengakui kebhinekaan dengan semboyan sakralnya: Bhineka Tunggal Ika.
Ketika Patrialis Akbar masih menjabat sebagai Hakim Konstitusi RI sebelum tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memutus permohonan uji materiil terkait Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, telah menghapus frasa “dapat” dalam sebuah pasal Tipikor, sehingga potential loss kini tidak lagi dapat dituntut oleh penyidik maupun jaksa penuntut.
Sang Hakim Konstitusi, memutus sejatinya untuk dirinya sendiri. Terbukti, Patrialis Akbar melontarkan kalimat berikut saat diwawancarai oleh pers: “Saya tidak pernah menerima uang, demi Tuhan.”
Pernahkah juga terpikirkan oleh para Hakim Konstitusi lainnya yang turut mengamputasi UU Tipikor, bahwa frasa “dapat” dalam UU Tipikor adalah jantung dari hukum Tipikor? Frasa “dapat”, memberi kewenangan bagi KPK untuk melaksanakan fungsi preventif, dengan mencegah kerugian negara terjadi—karena ketika kerugian negara telah terjadi, sangat sukar untuk memulihkannya. Pidana uang pengganti tidak menjamin pengembalian kerugian keuangan negara. Frasa “dapat” adalah penyokong utama delik pidana percobaan yang juga dianut oleh UU Tipikor.
Alhasil, saat ini KPK lebih banyak menunggu secara pasif, hingga negara jatuh sebagai korban, menunggu terjadinya kerugian negara dahulu, baru beraksi. Ketika KPK justru bergerak cepat, menciduk rencana busuk para tikus-tikus intelektual, sejatinya kerugian negara tidak akan terjadi, sehingga para tikus tersebut akan bebas, meski kerugian negara dipastikan akan terjadi bila tidak dicegah KPK.
Frasa “dapat”, tampak sepele, namun mengubah secara kontras dan signifikan tatanan wajah penegakan hukum anti korupsi di negeri ini. Sama halnya ketika Pemerintah Pusat diamputasi kewenangannya untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota, bahkan Perda Provinsi, menjadi konsep “Negara KESATUAN Republik Indonesia” hanya tinggal sekadar nama.
Ilustrasi lain, regulasi baik undang-undang maupun peraturan presiden terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menggunakan frasa “wajib menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional.” Titik, tidak disertai escape clause untuk mengakomodasi aspirasi rakyat yang diatur—seakan masyarakat umum bukanlah konstituen yang memiliki kepentingan terhadap regulasi yang bersangkutan.
Pertanyaannya, bila JKN memang memiliki niat baik untuk melindungi rakyat, maka tidak menjadi sifatnya untuk bertentangan dengan kepentingan dan kehendak rakyat itu sendiri. JKN adalah “hak”, dimana “hak tidak pernah dapat dipaksakan”. Namun apa yang kemudian terjadi?
Berbagai kalangan buruh melayangkan protes, karena kini terjadi downgrade, dari yang sebelumnya diberikan oleh pengusaha berupa perlindungan polis asuransi swasta dengan coverage yang lebih tinggi dari standar JKN, namun kini para kalangan buruh kecewa karena selain Upah mereka dipotong berdasarkan persentase, kalangan buruh mendapati diri mereka perlu menelan pil pahit. Pengusaha pun tidak bisa bersuara, meski memiliki niat baik terhadap para buruhnya, karena mendapat ancaman dari pihak otoritas bila tidak tunduk untuk menyertakan para pekerjanya pada JKN.
Dapatkah pihak pekerja memilih berdasarkan kebebasan berkontrak dengan pengusaha agar tidak terjadi downgrade demikian? Sayangnya, dengan alasan bahwa regulasi yang ada tidak menyertakan embel-embel “kecuali bila pekerja telah memiliki perlindungan asuransi dengan kualitas yang lebih baik atau kecuali bila pekerja memilih untuk berlindung pada asuransi yang berstandar lebih baik dari JKN.”—menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk bersikap layaknya “diktator” penjaga moril yang namun tidak bermoral.
Tanpa bermaksud untuk berpanjang lebar, penulis akan mengungkapkan sebuah “rahasia” yang biasanya penulis gunakan ketika menilai taraf pemahaman seorang sarjana hukum di Indonesia mengenai ilmu hukum, untuk menilai apakah gelar kesarjanaan hukum yang telah dikantunginya, akan membawa mara bahaya bagi masyarakat, atau justru sebagai oase sumber pencerahan intelektual hukum bagi masyarakat luas, silahkan untuk mengikuti tes semantik sederhana berikut:
“Menurut Anda, apakah yang dimaksud dengan ilmu hukum?
a. Ilmu tentang peraturan perundang-undangan;
b. ilmu tentang prediksi.”
Bila Anda memberi pilihan pada opsi jawaban (a), maka sejatinya Anda telah membuang-buang waktu, sebab undang-undang bukan monopoli seorang sarjana hukum. Undang-undang adalah milik dan dapat dibaca oleh seorang anak usia Sekolah Dasar sekalipun.
Bila Anda memandang remeh opsi jawaban (b), dengan berkata bahwa “saya tidak pernah pakai prediksi-prediksian segala ketika menggugat”, sejatinya Anda adalah sumber mala petaka bagi praktik hukum, cenderung menyesatkan klien, karena Anda akan menjadi seorang pen-ju-di yang mengajak klien untuk berspekulasi dengan hukum.
Bagaimana mungkin seorang pen-ju-di akan mampu menghadirkan kebenaran dan menegakkan keadilan, selain hanya berpragmatis diri dengan menjadi seorang “tukang” hukum yang ber-ju-di dengan hukum?
Rata-rata, bila tidak dapat disebut sebagai mayoritas, kalangan sarjana hukum bahkan praktisi hukum di Indonesia, yang memandang remeh fungsi tingkat prediktabilitas paling minimun dalam hukum sebagai peran dasar tegaknya keadilan bagi masyarakat.
Keadilan, tidak pernah ada tanpa kepastian hukum, dimana hakim pemutus bebas memutus berdasarkan selera pribadi, bahkan menyimpangi preseden / yurisprudensi yang telah ada sebelumnya. Alhasil, masyarakat umum bahkan seorang sarjana hukum sekalipun, hanya dapat “meraba-raba” terhadap praktik yang akan terjadi kini dan dikemudian hari.
Sama seperti ketika seorang Doktor atau Profesor Hukum di Indonesia, bahkan rata-rata masyarakat awam di Indonesia, yang memandang remeh penulis yang hanya bergelar Sajana Hukum, namun mengapa tiada satupun yang mampu memberi respon, ketika penulis hanya memberi jawaban singkat:
Menurut Anda, apakah kebenaran dan keadilan, adalah monopoli seorang Doktor atau Profesor hukum? Bahkan kebenaran dan keadilan, bukanlah monopoli seorang Sarjana Hukum.”
Mengapa Anda masih terus saja membaca berbagai publikasi dan buku-buku terbitan penulis yang hanya menyandang gelar Sarjana Hukum, sementara di luar sana membanjiri jutaan karya tulis dari ratusan kalangan Doktor dan Profesor Hukum di Tanah Air? Mengapa juga Anda mau menghabiskan waktu Anda yang berharga untuk membaca artikel ini? Sayangnya, penulis hanyalah merupakan seorang calon Magister Hukum dari Universitas Kehidupan.
Hukum itu polos, namun tidak naif. Demikianlah kerap kali penulis utarakan, untuk kita renungkan bersama. Bahasa adalah keterampilan sekaligus ilmu pengetahuan tertua di dunia. Peradaban bermula sejak peralihan zaman prasejarah. Maka, bisa kita katakan pula, seni semantik sama tuanya dengan ilmu bahasa itu sendiri. Tidak terkecuali ilmu hukum.
Mereka yang meremehkan kekuatan sebuah “kata” sebagai medium komunikatif dan persuatif, akan termakan oleh kekuatan “semantik”. Mereka yang sembarang melontarkan “kata”, tanpa memperhatikan dengan saksama kata-kata yang telah dilontarkan olehnya, sama artinya membuka ruang untuk bermasalah secara sosial maupun secara hukum.
Sama seperti ketika hakim pemutus gagal untuk mencermati terlebih untuk mampu membuat pertimbangan berikut, “Apakah Basoeki Tjahaja Poernama telah menista Muslim, ataukah Al-quran yang telah menyebut-nyebut nama Yahudi dan agama Nasrani secara tidak hormat? Bagaimana jika kita balik keadaannya, Alkitab menyebut-nyebut nama agama Islam secara tidak patut dan mengkafir-kafirkan para pemeluknya?”—putusan telah berkekuatan hukum tetap, dimana sang mantan Gubernur DKI Jakarta divonis pidana 2 tahun penjara. Mungkinkah, kelima orang hakim pemutus, memutus demi kepentingan pribadi agama sang hakim? Mungkinkah Anda berpendapat lain?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.