Kecerdasan Membaca Situasi, Konteks Ketenagakerjaan

LEGAL OPINION
Ketika Sengketa Antar Pekerja Menjelma Sengketa Bilateral Pekerja dan Pengusaha
Question: Pertikaian antar pegawai, maka itu menjadi permasalahan pribadi para pegawai, bukankah begitu? Apa dapat dibenarkan bila justru manajemen yang memberi saya surat peringatan dengan tuduhan sudah memfitnah pegawai lain sehingga dianggap mengganggu ketertiban tempat kerja?
Brief Answer: Secara langsung, sengketa antara satu Pekerja dengan Pekerja lain, memang tampak seperti sengketa pribadi antara masing-masing Pekerja. Namun mengingat sengketa tersebut dalam lingkup lingkungan kerja, maka mau tidak mau akan tersangkut paut pula dengan kepentingan Pengusaha.
Maka dari itu perlu dilihat derajat karakteristiknya dari sengketa “pribadi” antara para Pekerja, apakah membawa pengaruh / dampak signifikan terhadap pihak Pengusaha. Bila tiada dampak signifikan, tidaklah dapat pihak manajemen memaksakan hukuman disiplin kepada sang Pekerja terlebih pemutusan hubungan kerja (PHK), karena konflik sosial wajar terjadi dalam lingkungan sosial, tidak terkecuali benturan dalam lingkungan kerja.
Hanya saja perlu kita cermati, bahwa bersengketa antara individu satu dan individu lain yang masih dalam status Pekerja, tidak sebebas pertikaian pribadi bebas diluar hubungan kerja, sehingga perlu dipertimbangkan apakah potensi sengketa dapat bersiko membawa pengaruh buruk terhadap status pekerja sang Pekerja terhadap pihak Pengusaha.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 348 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 31 Mei 2016, perkara antara:
- PT. AFFINITY HEALTH INDONESIA (RS PREMIER BINTARO), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- LINDA MARIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa rumah sakit. Tergugat bekerja pada Penggugat sejak tanggal 26 Februari 2001, dengan jabatan terakhir sebagai Senior Perawat. Di lingkungan kerja Penggugat, berlaku Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. Affinity Health Indonesia periode 2012-2014 yang mengatur syarat-syarat kerja yang merupakan hasil perundingan dan kesepakatan antara PT. Affinity Health Indonesia dengan pihak Serikat Pekerja, yang telah terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja c.q. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Tanggal 10 Maret 2014, karyawan Penggugat yang bernama Iwan Gunawan yang menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja, mengadu kepada HRD Manager perihal adanya berita yang dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik Sdr. Iwan Gunawan. Informasi tersebut dituangkan melalui sosial media internet oleh Tergugat yang juga merupakan Sekretaris Serikat Pekerja (dari serikat lainnya).
Pesan yang dikirimkan melalui sosial media oleh Tergugat, dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik Sdr. Iwan Gunawan dalam kaitannya dengan isu perundingan PKB tahun 2008 yang telah lampau dan rencana perundingan tahun 2014 dimana Tergugat tidak lagi memenuhi syarat menjadi Tim Perunding.
Tindakan Tergugat menulis berita negatif terkait dengan managemen dan Sdr. Iwan Gunawan di sosial media, mengakibatkan timbulnya keresahan berupa kecurigaan diantara karyawan pada lingkungan kerja, karena berita tersebut terkait dengan managemen dan organisasi/serikat pekerja lain yaitu SPTP Karyawan Rumah Sakit Premier Bintaro yang diketuai oleh Sdr. Iwan Gunawan, sedangkan Tergugat adalah pengurus Serikat SBSI 1992.
Dalam rapat, saat Group HRD Manager bertanya kepada Tergugat dengan maksud melakukan verifikasi terhadap validitas kebenaran pengaduan dari Sdr. Iwan Gunawan terkait dengan tulisan Tergugat di sosial media, Tergugat tidak bersedia menjawab dan menyatakan hak pribadi Tergugat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Tergugat dinilai telah keliru menyatakan dirinya memiliki hak untuk “tidak menjawab” sebagai hak pribadi, mengingat hal tersebut karena berita/informasi yang Tergugat tulis dalam sosial media nyata-nyata merupakan informasi/pemberitaan negatif tentang Penggugat dan organisasi/serikat pekerja lain, sehingga hal tersebut berkaitan dengan hubungan industrial dan bukan merupakan urusan pribadi.
Tanggal 17 Maret 2014, Sdr. Iwan Gunawan mengirimkan surat kepada HRD Manager disertai bukti untuk menguatkan pengaduannya pada tanggal 10 Maret 2014, sedangkan Tergugat tidak kunjung memberikan bukti untuk membantah laporan dari Sdr. Iwan Gunawan.
Perbuatan Tergugat oleh karenanya dinilai tidak mencerminkan perilaku karyawan yang wajib memelihara suasana kerja yang baik, saling menghormati antara sesamanya dan saling bantu dalam tugas sehari-hari, sebagaimana diatur dalam PKB PT. Affinity Health Indonesia Periode 2012–2014.
Pekerja harus berusaha sungguh-sungguh untuk mengadakan dan memelihara hubungan baik dengan sesama Pekerja, atasan, bawahan dan pimpinan Perusahaan, sebagaimana juga telah diatur dalam PKB. Lebih jauh lagi, PKB telah menetapkan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 43 Ayat (11):
“Seluruh Pekerja/Buruh baik anggota maupun bukan anggota dilarang: Merusak/merugikan nama baik Perusahaan.”
Pasal 51 Ayat (2, g):
“Pelanggaran yang dikenai sanksi Pemutusan Hubungan Kerja: Pekerja melakukan pelanggaran-pelanggaran berat, yaitu:
- Melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat menimbulkan keonaran atau keresahan di lingkungan perusahaan”
- Melakukan tindakan baik disengaja atau tidak, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat merusak / merugikan / mencemarkan nama baik perusahaan.”
Tanggal 3 April 2014, diadakan pertemuan antara Penggugat dengan Tergugat guna membahas tindakan Tergugat menulis berita negatif terkait dengan managemen dan Serikat Pekerja lain di sosial media. Dalam pertemuan tersebut disimpulkan bahwa tindakan Tergugat merupakan pelanggaran kategori berat yang dapat dikenakan sanksi berupa PHK.
Oleh karena tulisan Tergugat tidak berisikan kebenaran serta telah meresahkan Penggugat dan Pekerja lain merupakan pelanggaran kategori berat yang dapat dikenakan sanksi PHK, maka Penggugat memutuskan memberikan sanksi PHK terhadap Tergugat.
Sehubungan dengan proses PHK masih berlangsung, maka Penggugat melakukan skorsing terhadap Tergugat melalui surat skorsing tanggal 28 April 2014. Skorsing berlaku sejak tanggal 1 Mei 2014 sampai dengan proses legalisasi Pemutusan Hubungan Kerja selesai.
Tanggal 7 Mei 2014, Penggugat mencatatkan perselisihan hubungan industrial tentang PHK ke Dinas Tenaga Kerja Tangerang Selatan. Namun pada saat bersamaan, pada tanggal 6 Mei 2014 Tergugat menyampaikan pemberitahuan aksi mogok kerja dengan jumlah massa 500 orang mulai tanggal 14 Mei 2014 dengan tuntutan mempekerjakan dirinya kembali, mem-PHK Sdr. Iwan Gunawan dan disertai 8 tuntutan lain yang tidak pernah dirundingkan secara bipartit sebelumnya dengan Penggugat.
Aksi mogok kerja tersebut dinilai menimbulkan keresahan di lingkungan kerja Penggugat dan mengganggu ketertiban umum, mengingat Penggugat sebagai Rumah Sakit wajib melayani kepentingan umum, sehingga ancaman aksi mogok kerja oleh Tergugat dengan massa 500 orang wajib direspon sangat serius oleh Penggugat agar tidak mengganggu pelayanan publik.
Pelanggaran PKB dan aksi mogok kerja Tergugat telah meresahkan dan tidak dapat lagi ditolerir sehingga ditindaklanjuti dengan mediasi di Disnaker Tangerang Selatan pada tanggal 3 Juni 2014, 17 Juni 2014, 2 Juli 2014, 11 Agustus 2014, dan 12 Februari 2015.
Selanjutnya hingga 7 bulan kemudian tidak ada kejelasan tindak lanjut mediasi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja oleh mediator Disnaker karena adanya masalah administrasi, sehingga pada bulan Januari 2015 Penggugat terpaksa menunda pembayaran gaji Tergugat.
Tanggal 12 Februari 2015, perundingan tripartit antara Penggugat dengan Tergugat dilaksanakan kembali dengan melibatkan mediator dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Banten, namun mediasi tersebut gagal mencapai kesepakatan sehingga mediator Disnaker Tangerang Selatan menerbitkan Anjuran tertulis tanggal 20 Februari 2015, dengan substansi:
1) Bahwa hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan sosial di perusahaan sudah tidak tercapai maka dianjurkan agar pihak perusahaan PT. Affinity Health Indonesia mengakhiri hubungan kerja dan kepada pekerja (Sdri. Lindan Maria) diberikan pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2) Hak-hak lain yang berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja yang belum diberikan kepada pekerja harus segera diselesaikan;
3) Agar kedua belah pihak memberikan jawaban atas anjuran tersebut diatas selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran ini.”
Penggugat menyatakan Menolak Anjuran tersebut, dengan merujuk pada PKB PT. Affinity Health Indonesia Periode 2012–2014, yang mengatur sebagai berikut:
“Pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan berat berhak atas uang penggantian hak dan uang pisah sebesar 50 (lima puluh) persen dari Pasal 54 ayat (3) dan atau hak-hak lain sesuai keputusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).”—[Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan ketika Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, tidak mengakui Pasal PKB tersebut yang hanya memberi Pekerja yang di-PHK karena Pelanggaran Berat dengan konpensasi berupa “Uang Pisah” semata.]
Tindakan Tergugat menulis berita negatif terkait dengan managemen dan Sdr. Iwan Gunawan yang notabene adalah ketua serikat pekerja lain di sosial media, dinilai telah mengakibatkan timbulnya keonaran dan keresahan di lingkungan kerja Penggugat. Perbuatan Tergugat yang melakukan mogok kerja dengan massa 500 orang untuk membela kepentingan diri pribadi Tergugat juga merupakan bentuk penyalahgunaan kedudukan dan jabatan sebagai pengurus Serikat Pekerja sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan Penggugat kepada Tergugat.
Oleh karena Penggugat sudah hilang kepercayaan terhadap Tergugat, maka apabila hubungan kerja tetap dilanjutkan akan menimbulkan ketidakharmonisan kerja serta menimbulkan preseden yang buruk bagi Penggugat maupun pekerja lainnya, serta akan mengganggu ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha (industrial peace). Maka demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum, Penggugat mengajukan gugatan Perselisihan Hubungan Industrial.
Terhadap gugatan pihak Rumah Sakit, Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang, kemudian menjatuhkan putusan Nomor 19/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Srg., tanggal 30 September 2015, dengan pertimbangan serta amarnya sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa jika dicermati isi Perjanjian Kerja Bersama Periode 2012 sampai 2014 Pasal 51 ayat (2) g angka (16) mempunyai kesamaan dengan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu putusan hubungan kerja dengan alasan melakukan kesalahan berat dimana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi sejak adanya putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 012/PUU-l/2003, itu artinya tidak bisa lagi menjadi alasan melakukan pemutusan hubungan kerja sebelum tindak pidana yang dilakukan diputus dan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan dan terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum atau berkekuatan hukum tetap;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat belum berakhir dan masih berlanjut;
3. Menghukum Penggugat untuk memanggil Tergugat bekerja kembali dengan jabatan dan posisi semula dan memerintahkan Tergugat untuk segera melapor bekerja kembali sejak putusan ini dibacakan;
4. Menghukum Penggugat untuk membayar upah dari Tergugat sejak bulan Januari sampai September total seluruhnya jika dihitung yaitu Rp5.713.287,00 X 9 = Rp51.419.583,00 (lima puluh satu juta empat ratus sembilan belas ribu lima ratus delapan puluh tiga rupiah) dan upah setiap bulannya sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap;
5. Menghukum Penggugat membayar Tunjangan Hari Raya Tergugat Tahun 2015 sebesar satu bulan upah yaitu Rp5.713.287,00 (lima juta tujuh ratus tiga belas ribu dua ratus delapan puluh tujuh rupiah).”
Pihak rumah sakit mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 29 Oktober 2015 dan jawaban memori kasasi tanggal 18 Desember 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Judex Facti kurang mempertimbangkan alat bukti para pihak karena ternyata Tergugat telah menuduh Pekerja lain (Pengurus Serikat Pekerja) menerima uang Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dari Penggugat berkaitan dengan perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB);
2. Bahwa Tergugat tidak dapat membuktikan tuduhannya yaitu Penggugat memberikan uang sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) kepada pekerja lain, karena itu tindakan Tergugat tersebut bertentangan dengan kepatutan sehingga beralasan diterapkan ketentuan Pasal 161 juncto Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan demikian hak-hak Tergugat sebagai berikut:
- Upah Pesangon : 9 x Rp5.713.287,00 =Rp51.419.583,00
- Upah Masa Kerja : 5 x Rp5.713.287,00 =Rp28.566.435,00
- Uang Penggantian Hak : 15%x Rp79.986.018 =Rp11.997.902,00
- Tunjangan Hari Raya 2015 =Rp5.713.287,00
Jumlah =Rp97.697.207,00 (sembilan puluh tujuh juta enam ratus sembilan puluh tujuh ribu dua ratus tujuh rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. AFFINITY HEALTH Indonesia (RS PREMIER BINTARO) tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Nomor 19/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Srg., tanggal 30 September 2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. AFFINITY HEALTH September (RS PREMIER BINTARO) tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Nomor 19/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Srg., tanggal 30 September 2015;
MENGADILI SENDIRI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran kerja;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus terhitung sejak diucapkan oleh Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang;
4. Menghukum Penggugat membayar upah skorsing sampai dengan putusan perkara ini diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial;
5. Menghukum Penggugat membayar kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Tergugat sejumlah Rp Rp97.697.207,00 (sembilan puluh tujuh juta enam ratus sembilan puluh tujuh ribu dua ratus tujuh rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.