Keadilan Vs. Kepastian Hukum, Konteks Pidana

LEGAL OPINION
Question: Dalam praktik dan teori ilmu hukum, antara “kepastian hukum” dan “keadilan” selalu dibenturkan, seakan keduanya tidak bisa dipersatukan, bagai air dan minyak. Memang apa mungkin, ada keadilan bila tidak ada kepastian hukum? Bukankah kesewenang-wenangan terbit justru karena ada celah tiadanya kepastian hukum? Bukankah celah untuk sewenang-wenang merupakan ketidakadilan? Bukankah judicial corruption justru terjadi akibat celah tiadanya kepastian hukum yang dapat diberikan oleh negara?
Brief Answer: Bismar Siregar, Hakim Agung RI periode tahun 1984 s/d tahun 2000, pernah menyampaikan bahwa: “Seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut dengan kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.”
Jika menilik pada pernyataan diatas, tentunya tampak seakan keadilan yang merupakan sesuatu hal yang amat abstrak adalah lebih tinggi derajatnya dari kepastian hukum yang sifatnya dapat dipetakan dan diprediksi. Mungkin, negeri Indonesia terlampau mengagungkan “keadilan”, sehingga mulai memusuhi “kepastian hukum”—sesuatu yang abstrak ketimbang apa yang telah pasti.
Yang terjadi kemudian, tiada satupun preseden dan yurisprudensi (dalam arti yang sesungguhnya) dimiliki oleh praktik peradilan bahkan hingga di Mahkamah Agung di Indonesia. Semua berhulu pada “selera” dan itikad baik hakim yang berkuasa penuh untuk memutus.
Tanpa kita sadari, seburuk-buruknya kepastian hukum yang rigid, namun bila sama sekali tanpa “pegangan” karena hukum tidak lagi memiliki daya prediktabilitasnnya, bukankah akan menjadi lebih mengerikan dan menjelma hukum yang “liar”? Inikah, wajah hukum yang hendak kita tawarkan? Tampaknya, pertanyaan inilah yang paling tepat untuk mewakili jawaban terhadap pertanyaan klise diatas.
Sebagai contoh, bila seseorang melakukan serangkaian penganiayaan, yang tanpa disadari menyebabkan korbannya meninggal / tewas, mungkin adalah kurang adil bagi pelaku bila didakwakan telah melakukan tindak pidana “pembunuhan”, bahkan dituntut pembunuhan secara berencana.
Namun ketika kita melihat seluruh rangkaian penganiayaan sebagai sebuah satu-kesatuan proses, tidak secara parsial, kita akan mendapati bahwa demi kepastian hukum, kematian yang tidak wajar hanya dapat disimpulkan sebagai disebabkan oleh tindak pidana pembunuhan, jika bukan pembunuhan yang direncanakan.
Bagaimana mungkin, serangkaian penganiayaan berbuntut pada kematian didakwa dan divonis sebagai bersalah melakukan “tindak pidana pembunuhan berencana”? Hukum itu keras, demikianlah negara melindungi warga negaranya dengan sebentuk kepastian hukum.
PEMBAHASAN:
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal azas Legalitas “Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang merupakan jiwa dari kaedah Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memiliki makna: Tidaklah dapat seseorang warga negara dipidana, kecuali atas perbuatan yang sebelumnya telah dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan.
Azas tersebut, menurut sejarah, dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach, yang mengandung tiga prinsip dasar:
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang);
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana);
- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada);
Adagium tersebut mengandung sebentuk semangat kepastian hukum, karena menganjurkan supaya : (teori yang penulis kutip dari argumentasi Jaksa Penuntut Umum perkara 1359/PID.B/2014/PN.Jkt Pst)
a. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
b. Deangan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
c. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Hukum tidak bersifat fatalistis, dalam arti seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak selalu dapat dipidana, karena bergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang itu tidak cukup dilakukannya perbuatan yang diancam pidana saja, tetapi juga harus terdapat sikap batin (niat) berupa kesalahan yang memiliki dua derajat: salah dalam bentuk “sengaja” (dolus), dan salah dalam gradasi “lalai / alpha” (culpa)—sehingga “ketidaktahuan” ataupun “lalai” bukanlah alasan pembenar ataupun pemaaf.
Prinsip diatas merupakan asas dalam hukum pidana yang dianut secara universal, yaitu “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (actus non facit reum, nisi mens sit rea), sebagaimana diakui lewat Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 6 ayat (2) yang mengatur:
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang dan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.:
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan fisik dikenal dengan istilah actus reus, sedangkan kondisi niat / sikap batin dari pelaku perbuatan diistilahkan sebagai mens rea. Kesalahan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Schuld”, yang mempunyai makna sebagai kesengajaan (dolus/opzet) dan kealpaan (culpa).
“Kesalahan” yang oleh Utrecht dinyatakan bahwa, pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:
a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat;
b. Suatu sikap psykhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yakni: i. Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan ii. Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin);
c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat.
 Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal berbagai macam faset kesenggajaan, antara lain:
- Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain;
- Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu;
- Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya;
- Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang;
- Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akibat. Misalnya meracuni sumur;
- Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya;
- Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini);
Disamping itu, Kesenggajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd). Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Untuk adanya kesengajaan jenis ini, diperlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana;
2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos). Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum. Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia menganut doktrin “fiksi hukum”, bahwa “seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada”.
Menurut yurisprudensi, bentuk kesengajaan dapat terlihat sebagai contoh: “Melakukan penusukan dengan menggunakan pisau besar terhadap perut korban yang menyebabkan kematiannya dapat diambil kesimpulan bahwa ia telah menghendaki kematian korban.” (HR.29-07- 1937,1938,No.869).
Menculik seseorang, untuk kemudian disetrum, dianiaya, dan disumpal mulutnya, apakah adil dipidana sebagai pembunuhan berencana? Mungkin bukan pembunuhan-lah yang diinginkan para pelakunya, namun itulah hukuman yang akan dijatuhkan jika korban sampai meninggal dunia.
 ilustrasi berikut mungkin tepat sebagai cerminan, sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perkara pidana pembunuhan berencana register Nomor 1359/PID.B/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 2 Desember 2014, dimana kedua orang Terdakwa didakwakan telah bersama-sama dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, alias melanggar pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan kualifikasi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu;
3. Merampas nyawa orang lain;
4. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta melakukan.
Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa yang mendalilkan bahwa alat penyetrum merk TAZER yang ada dalam mobil tempat korban diculik, bukan sengaja disiapkan sebagai alat untuk membunuh korban, sebab alat tersebut memang ada dalam mobil sebagai alat pengamanan diri dalam perjalanan.
Untuk membantah dalil Penasihat Hukum Terdakwa, Penuntut Umum menggunakan penafsiran a contrario, yakni apabila alat penyetrum merk TAZER yang ada dalam mobil memang ada dalam mobil sebagai alat pengamanan diri dalam perjalanan, yang menjadi pertanyaannya: apakah korban dianggap membahayakan Terdakwa, sehingga harus digunakan pada saat bertemu dengan korban—justru kian memperkuat keyakinan akan tuduhan unsur “DENGAN RENCANA LEBIH DAHULU” karena penggunaan alat penyetrum tersebut telah bertentangan dengan tujuan dipersiapkannya alat tersebut di dalam mobil Terdakwa.
Dimana terhadap tuntutan Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa untuk mengetahul apakah ada perencanaan terlebih dahulu dalam dakwaan Primair sebagaimana yang diisyaratkan oleh Pasal 340 KUHP, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh perbuatan terdakwa, yaitu sebagai berikut:
1. Antara timbulnya niat dengan pelaksanaan perbuatan terdakwa terdapat cukup waktu bagi terdakwa untuk berpikir dengan tenang tentang bagaimana cara atau rangkaian perbuatan yang akan dilakukannya untuk pelaksanaan dan niatnya untuk menghilangkan nyawa korban;
2. Dalam rangkain perbuatan terdakwa terdapat tindakan-tindakan persiapan untuk melakukan perbuatan pembunuhan;
3. Terlihat dengan jelas dan tegas tentang cara kerja untuk melakukan perbuatan pembunuhan secara sistematis dan terarah dengan baik pada bagian vital tubuh korban.
“Menimbang, bahwa karena korban berteriak setelah disetrum dibagian perutnya oleh terdakwa Hafitd, maka Assyifa (pelaku lainnya) menarik korban sampai terduduk di lantai mobil Kia Visto adalah agar tidak terdengar dan terlihat orang luar;
“Menimbang, bahwa dari postur tubuh korban dibanding tubuh terdakwa Hafitd yang gemuk dan tinggi besar adalah tidak seimbang, apalagi dikeroyok oleh dua orang dimana posisi korban duduk di lantai terjepit jok, bahu terjepit jok sehingga tidak bisa bergerak, sedangkan kedua tangan diikat oleh Assyifa dengan mempergunakan gesper milik Assyifa, maka yang dapat dilakukan korban dalam melakukan perlawanan hanyalah berteriak, dan menahan efek sakit dari akibat setrum hanya bisa menendang-nendang pintu;
“menimbana, bahwa posisi terdakwa menginjak leher korban dengan menggunakan kaki kiri, terdakwa tahu bahwa bagian leher adalah daerah yang fatal bagi tubuh manusia;
“Menimbang, bahwa dengan menggunakan alat setrum akan mengakibatkan rasa sakit dan akibatnya menghancurkan organ tubuh didalam dimana alat tersebut disetrumkan;
“Menimbang, bahwa korban, dalam posisi duduk di lantai yang terjepit, sudah meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat baik kepada terdakwa Hafitd maupun Assyifa, bahkan korban merendahkan dirinya dengan mengatakan dirinya hamil diluar nikah, agar diberi rasa kasihan, namun kekerasan tetap berlangsung;
“Menimbang, bahwa, selanjutnya terdakwa Hafitd mengemudikan mobilnya ke arah Taman Mini dan sesampainya di Taman Mini Square terdakwa Hafitd memutar mobilnya kembali ke arah Jakarta Pusat namun sesampainya di jembatan Cawang korban bergerak-gerak sehingga terdakwa kemudian menghentikan mobilnya dan menyetrum korban sebanyak 3 (tiga) kali dengan menggunakan alat setrum ke arah dada korban sebanyak 2 (dua) kali dan ke perut korban sebanyak 1 (satu) kali;
“Menimbang, bahwa oleh karena korban terus berteriak meminta tolong sehingga Assyifa kemudian menggeledah tas korban dan mengambil tisu milik korban, serta menyerahkannya ke korban sambil mengatakan, ‘lo sumpel tuh mulut lo jangan banyak ngomong lagi.’ namun korban menjawab, ‘kegedean Sif tisunya, gw sobek-sobek gw makan aja.’;
“Menimbang, bahwa pada saat korban sudah duduk di dalam mobil, terdakwa Hafitd menyetrum perut dan kaki korban, mencekik korban dengan tangan, mencekik dengan mempergunakan kaki kiri, memukuli dengan mempergunakan tangan, sedangkan Assyifa telah menarik rambut korban sampai korban terduduk dilantai bawah mobil terjpeit diantara jok belakang dan jok depan, Assyifa memukuli, memerintahkan untuk telanjang memasukkan kertas koran kedalam mulut korban, menarik kepala dengan mempergunakan tali tas, pada saat bersamaan terdakwa menginjak leher korban, Assyifa memukulkan kepala korban dengan sepatu, hingga menyebabkan korban lemas dan meninggal dunia;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan keputusan sesuai perundang-undangan yang berlaku, Majelis Hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan yang ada pada diri terdakwa ;
Hal-Hal yang memberatkan :
- Terdakwa berbelit belit dalam memberikan keterangan di persidangan;
- Perbuatan terdakwa telah menghilangkan nyawa korban;
- Perbuatan terdakwa sangat sadis untuk dilakukan oleh seorang remaja; [Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan, hakim justru menilai umur pelaku bukan sebagai unsur meringankan. Apakah adil, menyegel permanen identitas sang pelaku remaja dengan sejarah sebagai kriminil pelaku ‘pembunuh berencana’ alih-alih sebagai ‘penganiaya berujung kematian’? Kepastian hukum menyatakan secara tegas: demikianlah adanya.]
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa menyesali perbuatannya;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan, terdakwa AHMAD IMAM AL HAFITD alias ASO Bin SUMANTRI OWNIE (dan terdakwa wa ASSYIFA RAMADHANI binti IWAN SULAEMAN dalam berkas terpisah) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana ‘PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DILAKUKAN BERSAMA SAMA’;
2. Menjatuhkan, pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama ... tahun;
3. Menetapkan, bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya;
4. Memerintahkan, agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.