Karakter Pekerjaan Penunjang Outsourcing

LEGAL OPINION
Question: Yang dimaksud dengan sifat atau jenis pekerjaan penunjang yang boleh dialih dayakan kepada perusahaan outsource, itu seperti apa ya maksud karakternya? Penunjang itu apa? Terus jika jadi pegawai outsource itu, apa selalu jadi pekerja kontrak artinya?
Brief Answer: Yang dimaksud dengan kegiatan “penunjang”, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan hukum ketenagakerjaan, dimaknai Mahkamah Agung RI sebagai: “Tidak menghambat produksi secara langsung, karena seandainya pun pekerja alih daya tidak hadir, keberlangsungan jalannya produksi tetap bejalan.”.
Namun pertanyaan utamanya, bila sang pekerja bagian “penunjang” ini, ditiadakan secara permanen, apakah perusahaan tetap dapat berjalan secara optimal?
Bagai sebuah komponen sistem kendaraan bermotor. Sekalipun tampak tidak signifikan, setiap komponen adalah bagian dari sistem itu sendiri, sekalipun ia hanya sebuah baut atau sebuah mur, bukan karburator—dimana setiap komponen memiliki fungsi, bukan hanya sekadar asesoris belaka. Memang, tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, namun produksi tidak akan berjalan secara lancar / optimal tanpa pekerja penunjang.
Jika kita secara definitif memaknai “tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”, maka tenaga-tenaga pada divisi HRD, keuangan, payroll, legal department, purchasing, call centre, kurir, resepsionis, asisten direktur, quality control, bahkan manajer, dan segala lini lain dalam asas pabrik maupun asas kantor, adalah penunjang sifatnya.
Selamanya, setiap perusahaan akan membutuhkan tenaga cleaning service. Selamanya pula, setiap pabrik akan membutuhkan tenaga security. Selamanya pula, setiap pekerja dengan jenis fungsi tertentu, adalah dibutuhkan dalam rangka kelancaran operasional kantor / pabrik. Untuk kantoran kecil, mungkin tidak dibutuhkan tenaga-tenaga tersebut. Namun untuk perusahaan skala besar, mungkinkah tanpa tenaga pengaman dan kebersihan?
Bila seorang pekerja diberi unsur perintah dan pekerjaan, maka sejatinya fungsi pekerjaan tersebut memang dibutuhkan demi jalannya operasional perusahaan. Contoh, para pegawai kantor tidak akan mampu bekerja secara optimal bila lingkungan kantor kotor dan tanpa tenaga pembersih.
Secara falsafah, yang betul-betul disebut fungsi pekerjaan penunjang, ialah tenaga spesialis, semisal mekanik pembersih Air Conditioner, atau ketika sebuah perusahaan membutuhkan tenaga audit profesional, maka dapat digunakan tenaga auditor dari kantor jasa akuntan publik independen. Namun bila sifat pekerjaannya ialah keseharian, maka dapatkah masih kita sebut sebagai “penunjang”?
Meski demikian, SHIETRA & PARTNERS akan mencoba mengarahkan fokus perhatian pada perlindungan hukum bagi Pekerja outsource dengan pihak perusahaan outsource itu sendiri.
Ketika jenis pekerjaan yang dialih-dayakan pada perusahaan outsource oleh perusahaan Pemberi Kerja / Pengguna Jasa outsource, bersifat tetap, maka hubungan industrial antara sang Pekerja dan perusahaan outsource wajib berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu—sehingga, yang dijadikan patokan utama ialah jenis pekerjaan yang dialihdayakan oleh pihak Pemberi Kerja.
Meski begitu, terbit pertanyaan lanjutan secara berantai: siapakah yang bertanggung jawab bila ternyata hubungan Pekerja dengan pihak perusahaan outsource hanya berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), sementara jenis pekerjaan yang dialih-dayakan Pemberi Kerja (pengguna jasa) adalah bersifat tetap?
PEMBAHASAN:
Terlepas dari cacatnya falsafah dibalik konsepsi “pekerjaan penunjang” yang hingga kini dianut rezim hukum ketenagakerjaan di Indonesia, SHIETRA & PARTNERS untuk itu akan merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 648 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 12 Januari 2016, perkara antara:
- PT. BANK SUMUT, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I; melawan
- HAKAMUDDIN HALIM, selaku Termohon Kasasi I dahulu Penggugat; dan
- PT. PURNA KARYA SEJAHTERA (PKS), selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat II.
Penggugat bekerja pada Tergugat I selama 18 tahun 6 bulan, yaitu sejak tahun 1996 sampai dengan 2014, sebagai Supir yang telah dilakukan secara terus-menerus atau tidak terputus-putus. Pada awalnya Penggugat mengajukan lamaran kerja kepada Tergugat I dan diterima sebagai pekerja honorer dengan status Pegawai Harian Lepas dan masa percobaan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan fakta hukum diatas, akan kita jumpai praktik “penyelundupan hukum” sebagaimana ternyata mampu mengecoh Mahkamah Agung dalam putusannya.]
Selanjutnya Tergugat I membuat kebijakan pengalihan pengelolaan tenaga kerja khususnya terhadap Pengawai Harian Lepas yang dilaksanakan oleh Yayasan Kesejahteraan Keluarga Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (YKK BPD SUMUT) dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan tenaga kerja untuk meningkatkan keuangan yayasan dan kesejahteraan karyawan Tergugat I.
Disebabkan perubahan perundang-undangan yayasan (Undang-Undang RI Nomor 28/2004 tentang Perubahan atas Undang Undang RI Nomor 16/2001 tentang Yayasan) yang melarang yayasan melakukan kegiatan usaha secara langsung, maka YKK BPD SUMUT dengan persetujuan Tergugat I membentuk suatu anak perusahaan ‘perseroan terbatas’ bernama: PT PURNA KARYA SEJAHTERA (Tergugat II) guna melanjutkan pengelolaan pegawai alih daya yang bekerja di tempat Tergugat I yaitu terhitung sejak tanggal 29 September 2008. [Note SHIETRA & PARTNERS: Fakta hukum kedua ini adalah inti dari sengketa.]
Tergugat II sebagai perusahaan yang melanjutkan pengelolaan pegawai alih daya, hanya menerima manajemen fee dari Tergugat I atas jasa  pengelolaan dimaksud, sedangkan mengenai proses lamaran kerja, seleksi, mutasi, pemberhentian, upah (gaji), pembayaran asuransi kerja serta pemberian jasa produksi dan tantiem untuk seluruh pegawai alih daya dipersamakan dengan pegawai tetap dan dilaksanakan sesuai ketentuan dari Tergugat I. [Note SHIETRA & PARTNERS: Fakta hukum ketiga, yang saling berkelindan guna menyingkap modus “penyelundupan hukum” ini.]
Pada tahun 2012, Tergugat I memberhentikan pemberian uang jasa produksi bagi pegawai alih daya sehingga pada tahun 2013 menimbulkan gejolak serta aksi untuk menuntut pengembalian hak jasa produksi tersebut, yang kemudian ditanggapi oleh Tergugat I dengan membuat kebijakan untuk melakukan pengangkatan seluruh pegawai alih daya menjadi pegawai tetap non karier yang selanjutnya disosialisasikan oleh manajemen Tergugat I dengan rencana realisasi per 1 Januari 2014.
Pada bulan Februari 2014, perwakilan pegawai alih daya mulai mempertanyakan realisasi kebijakan tersebut dan pada pertemuan kedua secara sepihak Tergugat I membatalkan kebijakan perubahan hubungan kerja dengan alasan bahwa kebijakan yang dijanjikan masih merupakan rencana bisnis perusahaan atau belum menjadi keputusan direksi serta komisaris PT. Bank Sumut, dan selanjutnya Tergugat I juga menyatakaan akan mengalihkan seluruh pegawai alih daya kepada perusahaan penyediaan jasa pekerja (outsourcing) lain dengan tender, karena perjanjian kerjasama dengan Tergugat II telah berakhir.
Disebabkan pembatalan perubahan status hubungan kerja dan pengalihan seluruh pegawai alih daya kepada perusahaan penyediaan jasa pekerja (outsourcing) pemenang lelang dengan syarat kembali membuat lamaran kerja, maka Serikat Pekerja Forum Komunikasi PT. PKS maupun Penggugat melakukan pencatatan perselisihan hubungan industrial tersebut di Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara.
Pada saat proses mediasi, Tergugat I melakukan intimidasi degan meminta kepada Tergugat II agar melakukan penarikan/pengurangan karyawan terutama atas nama Penggugat selaku ketua serikat pekerja dan beberapa pengurus Serikat Pekerja Forum Komunikasi PT. PKS yang selanjutnya diberhentikan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa memenuhi hak-hak Penggugat selaku pekerja.
Selanjutnya, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara menerbitkan Anjuran tertulis, yang menganjurkan, ‘bahwa supaya perusahaan pemberi pekerjaan (PT. Bank Sumut) dan Pekerja PT. Purna Karya Sejahtera yang ditempatkan di PT. Bank Sumut menyelesaikan perselisihan ini melalui Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan kepastian hukum.’
Penggugat berkeberatan pendapat Mediator Disnaker, terutama karena tidak mencantumkan ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana hubungan kerja pegawai alih daya secara terus menerus diperpanjang hingga belasan tahun tanpa pernah diangkat menjadi pegawai tetap (PKWTT) dimana Penggugat menuntut peningkatan hubungan kerja menjadi pegawai tetap non karier pada Tergugat I.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Medan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 70/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Mdn, tanggal 7 Juli 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa memperhatikan persoalan yuridis dalam perkara a quo bahwa kwalifikasi hubungan kerja yang menjadi objek perselisihan antara Tergugat II dengan Para Penggugat adalah PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi RI Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain;
“Menimbang, bahwa atas dasar dan pertimbangan itu, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tindakan Tergugat II yang mempekerjakan Penggugat berdasarkan PKWT dinyatakan tidak sah menurut ketentuan hukum yang berlaku;
“Menimbang, bahwa oleh karena tidak sah menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 59 ayat (1), (4) dan (7), maka hubungan kerja antara Tergugat II dengan Penggugat berubah dari PKWT menjadi PKWTT;
“Menimbang, bahwa hubungan kerja antara Tergugat I dan Tergugat II terhadap perjanjian kerja sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, tidak sesuai sebagaimana syarat dan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 19 Tahun 2012, dan oleh karenanya Penggugat dalam hal ini hubungan kerja dengan Tergugat II, maka akibat hukum dari pengakhiran hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II menjadi tanggung jawab Tergugat I, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa sebagaimana amanat ketentuan Pasal 151 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, oleh karenanya pemutusan hubungan kerja harus ditetapkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial dan harus disertai dengan kewajiban Tergugat I untuk membayar hak-hak Penggugat sesuai dengan Pasal 151 ayat (3) juncto Pasal 156 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa oleh karena Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa putusnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II merupakan konsekuensi logis dari tindakan Tergugat II yang mempekerjakan Penggugat dengan PKWT secara tidak sah, maka Majelis Hakim mewajibkan Tergugat I untuk membayar hak-hak Para Penggugat berupa pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);
“Menimbang, bahwa Tergugat I (in casu PT. Bank Sumut) dengan Tergugat II (in casu PT. Purna Karya Sejahtera) benar ada hubungan hukum yaitu hubungan kerja, dengan status Tergugat II perusahaan Penyedia Tenaga Kerja Alih Daya dan Tergugat I sebagai Perusahaan Pemberi Pekerjaan, yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud bukti T-1-1 identik dengan bukti T.II-1;
“Menimbang, bahwa Penggugat benar ada hubungan hukum yaitu hubungan kerja dengan Tergugat II, yang tertuang dalam Surat Perjanjian Kerja Nomor 343/PT.PKS/PK/2014, sebagaimana bukti P-7 yang diajukan Penggugat dan seterusnya;
“Menimbang, bahwa hubungan kerja antara Tergugat I dan Tergugat II, terhadap Perjanjian Kerja Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, tidak sesuai sebagaimana syarat dan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 19 Tahun 2012, dan oleh karenanya Penggugat dalam hal ini hubungan kerja dengan Tergugat II, maka akibat hukum dari pengakhiran hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II menjadi tanggung jawab Tergugat I, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa sebagaimana amanat ketentuan Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, oleh karenanya pemutusan hubungan kerja harus ditetapkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial dan harus disertai dengan kewajiban Tergugat I untuk membayar hak-hak Penggugat sesuai Pasal 151 ayat (3) juncto Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat II putus karena Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan;
- Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II berubah dari PKWT menjadi PKWTT, dan segala akibat hukum dari Pemutusan Hubungan Kerja menjadi tanggung jawab Tergugat I;
- Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat II terhadap Penggugat tidak sah karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 ayat (3) juncto Pasal 156 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
- Menghukum Tergugat I (in casu PT Bank Sumut) untuk membayar hak-hak Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah selama dalam proses yaitu sebagai berikut:
Pesangon, 2 x 9 x Rp2.845.368,00 = Rp51.216.624,00
Penghargaan masa kerja, 7 x Rp2.845.368,00 = Rp19.917.576,00
Penggantian hak, 15% x Rp71.134.200,00 = Rp10.670.130,00
Upah selama proses perkara 6 x Rp2.845.368,00 Rp17.072.208,00
Total keseluruhan hak-hak Para Penggugat sebesar Rp98.876.538,00 (sembilan puluh delapan juta delapan ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus tiga puluh delapan rupiah);
− Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Bank Sumut mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa, setelah meneliti secara saksama memori kasasi yang diterima tanggal 6 Agustus 2015 dan jawaban memori kasasi yang diterima tanggal 8 September 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena ternyata Judex Facti salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa terbukti dipersidangan bahwa pekerjaan-pekerjaan pada PT. Bank Sumut (Tegugat I/Pemohon Kasasi) yang diserahkan kepada PT. Purna Karya Sejahtera (Tegugat II/Temohon Kasasi II) tersebut adalah merupakan kegiatan penunjang secara keseluruhan karena dilakukan secara terpisah dari kegiatan utamanya dan dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari PT. Bank Sumut, dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat di Kantor-kantor Cabang maupun Kantor Cabang Pembantu PT. Bank Sumut tidak menghambat produksi secara langsung, karena seandainya pun Penggugat tidak hadir, keberlangsungan jalannya produksi tetap bejalan;
“Bahwa status hubungan kerja Penggugat adalah sebagai pekerja yang mempunyai hubungan kerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja yaitu PT. Purna Karya Sejahtera (Tegugat II/Temohon Kasasi II) bukan dengan Perusahaan Pemberi Kerja atau Pengguna Jasa Pekerja yaitu PT. Bank Sumut (Tegugat I/Pemohon Kasasi);
“Bahwa berdasarkan pertimbangan seperti tersebut diatas ternyata antara Penggugat (Termohon Kasasi I) tidak mempunyai hubungan kerja dengan PT. Bank Sumut (Tergugat I/Pemohon Kasasi), oleh karena itu PT. Bank Sumut (Tergugat I/Pemohon Kasasi) haruslah dibebaskan dari tuntutan/ gugatan Penggugat terhadapnya dan menolak gugatan Penggugat terhadap PT. Bank Sumut (Tegugat I/Pemohon Kasasi) tersebut; [Note SHIETRA & PARTNERS: “Tidak mempunyai hubungan kerja”, namun bagaimana mungkin, terhadapnya pihak Pekerja diberikan perintah serta pekejaan?]
“Menimbang, bahwa Penggugat hanya mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat II (PT. Purna Karya Sejahtera), dan oleh karena hubungan hukum tersebut diputuskan oleh Pengadilan terhitung sejak tanggal 7 Juli 2015, maka segala akibat hukum dari pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi tanggung jawab dari Tergugat II (PT. Purna Karya Sejahtera) untuk membayar semua hak-hak Penggugat, yaitu berupa : uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah proses selama 6 (enam) bulan, dengan perincian sebagai berikut:
- Uang pesangon (9 x Rp2.845.368,00) x 2 = Rp51.216.624,00
- Uang penghargaan masa kerja 7 x Rp2.845.368,00 = Rp19.917.576,00
- Upah selama proses perkara 6 x Rp2.845.368,00 = Rp17.072.208,00 [Note SHIETRA & PARTNERS: Dalam berbagai putusan Mahkamah Agung lainnya atas perkara serupa, PKWT yang dinyatakan demi hukum menjelma PKWTT, Pekerja dinyatakan tidak berhak atas Upah Proses mengingat keberlakuan norma Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Putusan ini menjadi cerminan bagaimana sistem manajemen putusan di lembaga MA RI masih diwarnai ketidakkonsistenan antar putusan. Bagaimana mungkin, putusan yang saling tidak konsisten, menghadirkan keadilan bagi pencari keadilan?]
- Jumlah keseluruhan adalah sebesar = Rp98.876.538,00 (sembilan puluh delapan juta delapan ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus tiga puluh delapan rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. BANK SUMUT tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 70/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn tanggal 7 Juli 2015 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BANK SUMUT tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 70/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn, tanggal 7 Juli 2015;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat I (PT Bank Sumut);
3. Membebaskan Tergugat I (PT. Bank Sumut) dari segala tuntutan/gugatan Penggugat;
4. Menyatakan Penggugat hanya mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat II (PT. Purna Karya Sejahtera);
5. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II putus karena putusan Pengadilan terhitung sejak tanggal 7 Juli 2015;
6. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat II dari PKWT berubah menjadi PKWTT, dan segala akibat hukum dari pemutusan hubungan kerja menjadi tanggung jawab dari Tergugat II (PT Purna Karya Sejahtera);
7. Menghukum Tergugat II (PT Purna Karya Sejahtera) untuk membayar hak-hak Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja tersebut, yaitu berupa: uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah proses selama 6 (enam) bulan, yaitu sebagai berikut:
- Uang pesangon (9 x Rp2.845.368,00) x 2 = Rp51.216.624,00
- Uang penghargaan masa kerja 7 x Rp2.845.368,00 = Rp19.917.576,00
- Uang penggantian hak 15% x Rp.71.134.200,00 = Rp10.670.130.00
- Upah selama proses perkara 6 x Rp2.845.368,00 = Rp17.072.208,00
Jumlah keseluruhan adalah sebesar = Rp98.876.538,00.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.