Interpretatio Cessat in Claris, Interpretation est Perversio

LEGAL OPINION
Question: Sebetulnya apakah undang-undang sudah mengatur rincian jenis pekerjaan apa saja yang dapat diberlakuan terhadap Pekerja Kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), atau sama sekali tidak diatur secara jelas dan tegas, sehingga sepenuhnya jadi kewenangan hakim untuk memutuskan?
Brief Answer: Ada disebutkan, namun masih menjadi bahan perdebatan—alias sumir—bahkan dalam tataran praktik di Mahkamah Agung RI sendiri, atas pertanyaan demikian (yang sebenarnya sangat sederhana), realitanya masih simpang-siur antar Hakim Agung. Tidak mengherankan bila terdapat disparitas antar putusan kasasi meski terbit dari institusi Mahkamah Agung yang sama.
Itu jugalah sebabnya, hukum di Indonesia amat sangat sukar diprediksi bahkan oleh kalangan sarjana hukum senior sekalipun, karena sistem hukum Indonesia tidak mengakomodasi derajat paling minimum sekalipun daya prediktabilitas dalam hukum, sebagai akibat “independensi hakim yang didudukkan diatas kepastian hukum”—menjadikan hukum di Indonesia, tanpa bermaksud berlebihan, bagaikan menjelma “bola liar” yang tidak tentu arah dan tujuannya.
Terkadang, dapat kita jumpai sebuah peraturan mengandung aturan dengan bunyi yang sangat tegas. Namun, dalam praktiknya aturan tersebut hanya “macan kertas” yang “ompong” (atau dibiarkan “ompong”).
Terkadang pula, suatu peraturan dibiarkan “tidak tegak”, namun dalam kesempatan lain “ditegakkan” dengan demikian sadistiknya—sehingga menjelma wujud “jebakan” mental bagi masyarakat yang berasumsi bahwa peraturan tersebut telah tidak efektif sehingga boleh dilanggar.
Demikianlah, “hukum (yang telah menjelma) sebagai komoditas” yang dapat “disetel” oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Tiada yang lebih mengerikan bagi masyarakat daripada menjadi warga negara pengemban hukum pada negara yang tidak menawarkan tingkat paling minimum akan kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan asas legalitas—namun sepenuhnya menjadi bergantung pada selera “politis”, dan selera sang hakim pemutus itu sendiri.
Dalam realita praktik berhukum di Indonesia, secara apatis, kita tidak lagi berbicara mengenai “apa itu hukumnya”, namun “apa selera hakim pemutus”. Setelah ribuan putusan Pengadilan Hubungan Industrial hingga Mahkamah Agung Republik Indonesia telah penulis teliti dan kupas, namun hingga saat ini penulis semakin tidak mampu lagi menjawab pertanyaan yang sederhana tersebut. ironis, namun itulah yang perlu penulis akui secara terbuka, apa adanya. Selebihnya, adalah bergantung pada selera sang hakim.
PEMBAHASAN:
Dalam teori ilmu hukum, terdapat adagium yang berbunyi: “Jika teks atau redaksi undang-undang telah jelas dan terang benderang, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas, berarti penghancuran hukum. Interpretatio cessat in claris, interpretation est perversio.” (Varia Peradilan, Nomor 335 Oktober 2013, halaman 197).
Namun pertanyaan sejujurnya yang perlu kita ajukan ialah, adakah bunyi peraturan perundang-undangan yang betul-betul sudah jelas dan tidak multitafsir? Adakah bahasa tertulis yang telah lengkap dan sempurna sehingga tidak mengundang multi penafsiran? Dapatkah kita melarang masyarakat untuk membuat penafsiran berbeda? Bila memang multitafsir, mengapa kita “paksakan” untuk diasumsikan “mono-tafsir”?
Bahasa tertulis, telah mengeliminir bahasa tubuh (body language) ketika dijadikan sarana komunikasi. Bahasa lisan pun, sekalipun disertai bahasa tubuh, mengandung kelemahan laten. Terlebih perihal keterbatasan perbendaharaan kosakata yang tidak mungkin mampu mewakili berbagai aspek kehidupan sosial, perasaan, ataupun faktor-faktor abstrak metafisika.
Khusus untuk membahas hal tersebut, SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 661 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 16 Maret 2016, perkara antara:
- PT. TAI ELECTRONIC INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi semula sebagai Tergugat; melawan
1. EKO PRAMUDIANTO, 2. JEFRI ARIYANT, dan 3. EKA HENDAYANA, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Eko Pramudianto mulai bekerja di PT Tai Electronic Indonesia sejak tahun 2003, dibagian coating yang merupakan bagian dari suatu proses produksi, dengan jabatan operator.
Jefri Ariyanto mulai bekerja sejak tahun 2008 dibagian forming yang merupakan bagian dari suatu proses produksi, dengan jabatan operator. Sementara Eka Hendayana mulai bekerja sejak tahun 2010 dibagian coating yang merupakan bagian dari suatu proses produksi, dengan jabatan operator.
Namun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dibuat antara Tergugat dengan Para Penggugat ternyata tidak sah, karena pekerjaan yang dikerjakan oleh Para Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap dan pekerjaan tersebut merupakan bagian dari suatu proses produksi yang tidak digantungkan/berdasarkan adanya kondisi tertentu/keadaan tertentu.
Penggugat menilai, regulasi yang ada telah mengatur secara “jelas dan tegas” mengenai persyaratan dan pembatasan pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan oleh pekerja dengan sistem perjanjian kerja tertentu, dengan demikian secara “demi hukum” PKWT menjelma sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Tergugat bergerak dibidang pembuatan resistor sejak pertama didirikan sampai dengan saat ini tetap memproduksi resistor, dengan demikian produksi tersebut bersifat tetap oleh karenanya pekerja yang dipekerjakan dalam proses produksi merupakan pekerjaan yang bersifat tetap yang hanya dapat diadakan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap bukan pekerjaan tambahan, yang tidak habis karena waktu dan merupakan pekerjaan utama yang membuat barang baku menjadi barang jadi yaitu resistor yang merupakan produksi utama perusahaan Tergugat.
Pada bagian produksi terdiri dari beberapa bagian, dimana bagian yang satu dengan bagian yang lain saling berkaitan sehingga dapat menghasilkan sebuah resistor secara utuh. Eko Pramudianto dan Eka Hendayana bekerja pada departemen produksi bagian coating yang bertugas untuk memberikan warna pada pesistor yang merupakan unsur pokok dalam resistor dimana warna tersebut dimaksudkan untuk menilai toleransi resistor bersangkutan.
Sementara Jefri Ariyanto bekerja pada Departemen Produksi bagian forming yang bertugas membentuk kaki-kaki resistor yang merupakan unsur pokok dalam resistor. Dalam susunan organisasi perusahaan yang memproduksi suatu barang, maka departemen produksi merupakan unsur yang paling utama sebagai tombak dalam memproduksi suatu barang sehingga adalah logis bila bagian produksi ditetapkan sebagai pekerjaan yang bersifat tetap.
Pekerja dengan demikian merujuk kaedah norma Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dimana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan, pasal yang sama akan membuahkan hasil penafsiran yang berbeda pada tingkat Mahkamah Agung)
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.”
Senyatanya pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat bukanlah pekerjaan yang sifatnya sementara dan pekerjaan tersebut telah lebih dari 3 (tiga) tahun dikerjakan di perusahaan Tergugat, hal tersebut terlihat secara nyata sejak perusahaan Tergugat berdiri hingga sampai saat ini, perusahaan Tergugat masih tetap memproduksi resistor sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap yang tidak dapat diadakan dengan menggunakan PKWT sebagaimana telah disebutkan oleh Pasal 59 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Oleh karenanya, pihak Pekerja mendalilkan, status hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat berubah demi hukum menjadi Pekerja Tetap sejak adanya hubungan kerja, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003.
Disamping itu, pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat di departemen produksi pada bagian coating dan forming bukanlah pekerjaan tambahan melainkan pekerjaan pokok/utama dalam memproduksi resistor, sehingga tidak dapat diadakan dalam bentuk PKWT.
Sebagaimana juga ditegaskan oleh Kepmenaker Nomor 100 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) dan (2), PKWT hanya untuk melakukan pekerjaan tambahan, bahwa senyatanya pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan pokok/utama yang bersifat tetap, maka PKWT yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat adalah demi hukum berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
PKWT hanya dapat diberlakukan bagi pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, dan ternyata pada bagian coating tidak dapat selesai dalam waktu 3 (tiga) tahun, hal tersebut telah terbukti sejak tahun 2003 di bagian coating oleh karenanya PKWT yang dibuat antara Tergugat dengan Penggugat adalah demi hukum beralih menjadi PKWTT—[Note SHIETRA & PARTNERS: berubah demi hukum menjadi PKWTT terhitung sejak dimulainya hubungan kerja pertama kali, ataukah terhitung sejak pelanggaran oleh Pengusaha terjadi? Ini jugalah ketidakjelasan yang masih jauh dari kata jelas].
Perselisihan pemutusan hubungan kerja ini timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat, disaat ketentuan peraturan perundang-undangan sudah menyatakan PKWT demi hukum berubah menjadi PKWTT, ternyata Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja, secara sepihak, lisan dan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dengan alasan habis kontrak.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Klas IA Bandung kemudian menjatuhkan Putusan yang “fenomenal” sebagaimana register Nomor 71/Pdt.Sus.PHI/2015/PHI/PN.Bdg. tanggal 6 Juli 2015 yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pekerjaan yang dikerjakan oleh Penggugat Eko Pramudianto di bagian coating, Penggugat Jefri Ariyanto di bagian forming, dan Eka Hendayana di bagian coating adalah pekerjaan yang bersifat tetap;
3. Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat antara Tergugat dengan Para Penggugat tidak sah dan batal demi hukum;
4. Membatalkan pemutusan hubungan kerja yang telah dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat dengan alasan habis kontrak;
5. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang telah dilakukan secara sepihak oleh Tergugat kepada Penggugat Eko Pramudianto sejak tanggal 15 Nopember 2012, Penggugat Jefri Ariyanto sejak tanggal 9 Oktober 2012, dan Penggugat Eka Hendayana sejak tanggal 11 Januari 2013 tidak sah dan batal demi hukum;
6. Menyatakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang telah dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat tanpa ada penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum;
7. Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dengan Para Penggugat tidak terputus sejak tanggal 24 November 2011 untuk Penggugat Eko Pramudianto, dan sejak tanggal 2 Desember 2010 untuk Penggugat Jefri Ariyanto, serta sejak tanggal 11 Juli 2011 untuk Penggugat Eka Hendayana;
8. Memerintahkan Tergugat untuk tetap membayar upah kepada Para Penggugat setiap bulannya sebesar ketentuan upah minimum yang berlaku di Kabupaten Bekasi;
9. Memerintahkan Tergugat untuk tetap membayar upah kepada Para Penggugat setiap bulannya selama hubungan kerja belum terputus yaitu kepada Penggugat Eko Pramudianto sejak November 2012 sampai dengan Maret 2015 sebesar 28 bulan X Rp1.715.000,00 = Rp49.735.000,00 (empat puluh sembilan juta tujuh ratus tiga puluh lima ribu rupiah), dan kepada Penggugat Jefri Ariyanto sejak Oktober 2012 sampai dengan Maret 2015 sebesar 29 bulan X Rp1.715.000,00 = Rp51.450.000,00 (lima puluh satu juta empat ratus lima puluh ribu rupiah), serta kepada Penggugat Eka Hendayana sejak Januari 2013 sampai dengan Maret 2015 sebesar 26 bulan X Rp1.715.000,00 = Rp46.305.000,00 (empat puluh enam juta tiga ratus lima ribu rupiah);
10. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara sebesar Rp46.305.000,00;
11. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mendalilkan bahwa projek yang diusahakan pihak Pengusaha bersifat temporer sifatnya, sebagaimana:
a. surat perjanjian pembelian komponen antara CV Mitra Western Electronics dan PT. Tai Electronic Indonesia dengan waktu perjanjian selama 3 tahun;
b. surat perjanjian jual beli part antara PT Indonesia Nippon Seiki dan PT. Tai Electronic Indonesia dengan waktu perjanjian selama 2 tahun;
c. surat perjanjian jual beli part antara PT. Haengsung Raya Indonesia dan PT. Tai Electronic Indonesia dengan waktu perjanjian hanya selama 2 tahun.
Dimana terhadap keberatan sang Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 10 Agustus 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 26 Agustus 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa terbukti Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Tergugat tidak dapat membuktikan jenis pekerjaan coating dan foming tersebut sifatnya tidak tetap;
“Menimbang, bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk Penggugat I diperpanjang lebih dari satu kali dan untuk Penggugat II melebihi satu tahun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang keduanya. Namun demikian Hakim Agung anggota Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H.,M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan keberatan dari Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah salah dan keliru serta tidak tepat dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya;
“Bahwa jenis pekerjaan PKWT yang dikerjakan oleh Termohon Kasasi tidak dapat dikatakan bukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh pekerja dengan status PKWT, karena jenis pekerjaan tidak menentukan sifatnya terus menerus, semua pekerjaan dapat dilakukan jika akan dibuat status PKWT tetapi harus memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yaitu yang dipersyaratkan :
a. Pekerjaan yang sekali selesai/atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun;
c. Pekerjaan yang sifatnya musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan;
“Sehingga PKWT yang dibuat oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah sah dan memenuhi ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003;
“Bahwa PKWT pertama berdasarkan bukti tertulis telah berakhir demi hukum, dan setelah tiga puluh hari Termohon Kasasi melamar kembali menjadi PKWT, setelah itu pun PKWT berakhir demi hukum;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. Tai Electronic Indonesia tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. TAI ELECTRONIC INDONESIA tersebut.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS :
Bila terdapat pihak-pihak yang mengaku sebagai sarjana hukum, menyatakan bahwa kepastian hukum terkandung dalam peraturan perundang-undangan, maka penulis akan menyatakan “tidak sependapat”. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, tidak mengenal konteks, dan hanya sebatas tekstual yang belum tentu relevan terhadap kontekstual—bahkan bisa jadi tidak cocok untuk diimplementasi dalam praktik.
Peraturan perundang-undangan dibentuk secara deduktif (kaedah umum generalisasi ke kasus konkret implementasi), bukan induktif (dari kasus konkret yang kemudian dikristalisasi menjadi norma hukum). Terkecuali sistem hukum case law yang murni penarikan norma secara induktif sehingga melekat konteks sebagai satu kesatuan utuh yang terpola. Penarikan hukum secara deduksi, tidak pernah berangkat dari realita fakta faktual yang empirik, namun berdasarkan suatu asumsi abstrak yang tidak “berpijak pada bumi”.
Sehingga, satu-satunya kaedah norma hukum yang memiliki karakter kontekstual, hanyalah yurisprudensi / preseden. Dalam preseden, terkandung konteks yang mengiringi atau melengkapi kaedah tekstual dalam berhukum—yang saling berkomplomenter.
Namun disayangkan, sistem hukum di Indonesia sama sekali tidak memandang penting peran dan fungsi preseden, sehingga kerap dijumpai inkonsistensi antar putusan, bahkan antar putusan yang terbit dari tubuh institusi Mahkamah Agung RI.
Meski demikian, dalam teori ilmu penafsiran hukum, terdapat pedoman yang berbunyi sebagai berikut: ketika timbul dua atau lebih penafsiran atas suatu kaedah hukum, maka penafsiran yang dipilih haruslah penafsiran yang memberi keuntungan bagi pihak yang lebih lemah (affirmative action).
Bila hukum tertulis memang mampu menutup rapat celah multitafsir dalam implementasinya, mengapa sejak UU Ketenagakerjaan dibentuk dan diberlakukan secara efektif sejak tahun 2003, masih tetap saja terjadi inkonsistensi antar putusan, bahkan terjadi dissenting opinion diantara kalangan hakim pemutus itu sendiri?
Bukankah dengan demikian kita berhak untuk merasa ragu, atas kepastian hukum yang ditawarkan bahasa hukum tekstual yang tidak mengenal konteks? Bukankah, kita akan lebih ragu lagi, ketika seorang hakim menyatakan bahwa suatu kaedah norma tertulis telah jelas sehingga tiada lagi ruang multitafsir, meski, senyatanya terbuka ruang interpretasi bila saja kita mau sedikit lebih kreatif?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.