Homologasi PKPU sebagai Kesepakatan yang Dipaksakan

LEGAL OPINION
Question: Bukankah yang dinamakan dengan kesepakatan, artinya bersepakat antara para pihak, dimana kesepakatan ini tidak dapat dipaksakan sifatnya? Bagaimana dengan putusan homologasi (perdamaian dalam PKPU), apakah mengikat juga bagi tiap-tiap kreditor meski terdapat kreditor yang tidak sepakat terhadap rencana perdamaian yang diajukan sang debitor?
Jika ada kreditor yang tidak mau berdamai dengan skema penawaran damai yang diajukan debitor, masak terikat juga pada putusan homologasi hanya karena mayoritas dari kreditor lainnya menyetujui proposal perdamaian yang diajukan sang debitor?
Brief Answer: Hingga saat ini, Undang-Undang tentang Kepailitan dan PKPU masih rancu perihal daya ikat putusan homologasi, apakah mengikat secara kolektif sebatas bagi kreditor tertentu yang menyetujui proposal perdamaian yang ditawarkan debitor (homologasi parsial), ataukah putusan homologasi berlaku secara umum (general) bagi seluruh kreditor (baik kreditor yang menyetujui perdamaian maupun kreditor yang menolak perdamaian).
Bila kita membuat suatu analogi, terdapat suatu kreditor yang tidak sempat mendaftarkan piutangnya saat rapat verifikasi piutang. Apakah artinya sang kreditor yang tidak sempat tampil tersebut, akan terikat pula pada putusan homologasi? Pada asasnya, kesepakatan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang tidak pernah bersepakat.
Jawabannya ialah: tidak. Namun, apakah artinya sang kreditor tersebut kehilangan hak tagih atas piutangnya? Jawabnya ialah: tidak juga demikian. Artinya, putusan homologasi sejatinya hanya berlaku dan mengikat sebatas bagi kreditor yang menyetujui dan menyepakati rencana perdamaian yang diajukan oleh sang debitor.
Sifat dari voting dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), tidaklah sama dengan konsep “pemilihan umum kepala daerah” guna memilih secara kolektif pemimpin daerah yang kewenangannya berlaku secara umum dan generalis.
Tujuan dan makna voting dalam proses rencana perdamaian dalam PKPU, hanyalah untuk menghasilkan atau tidaknya homologasi. Ketika mayoritas kreditor menyepakati perdamaian, homologasi tercipta, sehingga “PKPU sementara” masuk dalam kondisi “PKPU tetap” (selama maksimum 270 hari)—Hanya sebatas itulah, peran dan fungsi homologasi: semata untuk mencegah merosotnya PKPU jatuh menjadi kepailitan.
Namun, homologasi tidak dapat dimaknai mengikat ataupun mengatur piutang kreditor yang tidak sempat tampil dalam rapat kreditor maupun terhadap kreditor yang tidak pernah menyepakati rencana perdamaian yang diajukan sang debitor.
Untuk mencegah “keruhnya” konstruksi hukum yang dapat terjadi, menurut hemat SHIETRA & PARTNERS, seyogianya isi putusan homologasi tidaklah berupa reconditioning maupun restrukturisasi kredit, namun hanya diperkenankan sebatas rescheduling (alias penjadwalan ulang masa tagih kredit—tidak boleh berupa perubahan syarat dan besaran hak serta kewajiban yang berpotensi merugikan kreditor tertentu yang keberatan terhadap rencana perdamaian, semisal karena debitor hanya mengakui separuh kecil dari tagihan piutang sang kreditor yang dicatatkan saat rapat verifikasi piutang pada Pengurus PKPU, terutama jika kemudian homologasi dimaknai sebagai berlaku secara “umum” bagi seluruh kreditor termasuk bagi kreditor yang tidak menyepakati isi rencana perdamaian.
PEMBAHASAN:
Fakta empiris demikian dapat ditarik sebagai kesimpulan ketika kita menyimak putusan Mahkamah Agung RI sengketa homologasi register Nomor 688 K/Pdt.Sus-PKPU/2015 tanggal 27 November 2015, perkara antara:
- PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk., sebagai Pemohon Kasasi dahulu Kreditur Lain; melawan
1. MUHAMMAD TASMIN, S.H., dan RIZKY DWINANTO, S.H., M.H., Tim Pengurus PT. Kusumahadi Santosa; 2. PT. KUSUMAHADI SANTOSA, selaku Termohon Kasasi I, II semula (Debitur) Kurator dan Termohon PKPU; dan
- PT. AGANSA PRIMATAMA, sebagai Turut Termohon Kasasi semula Pemohon PKPU.
Pokok utama perkara ialah seputar Tim Pengurus telah melakukan proses pemungutan suara atas rencana perdamaian dimana hasil yang didapat atas pemungutan suara tersebut mayoritas Kreditur telah menyetujui proposal rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitur.
Bermula, sesuai dengan acara rapat Tim Pengurus dan Hakim Pengawas mempersilakan kepada Kreditur khususnya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., untuk menyampaikan tanggapannya terhadap proposal rencana perdamaian yang telah diterimanya pada rapat Kreditur sebelumnya pada tanggal 21 Januari 2015.
Tanggapan dari PT. Bank Negara Indonesia, adalah keberatan dengan proposal perdamaian dikarenakan jumlah tagihan yang diakui dan juga dijadikan dasar bagi proposal perdamaian tersebut tidak sesuai dengan tagihan yang diajukan pertama kali oleh pihak PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk.
Hakim Pengawas kemudian mengambil sikap untuk memulai voting tentang rencana perdamaian dikarenakan seluruh Debitur dan para Kreditur telah menyampaikan tanggapannya atas rencana perdamaian yang telah diajukan oleh Debitur.
Voting Rencana Perdamaian kemudian dilaksanakan, dan adapun hasil dari rapat pemungutan suara/voting Rencana Perdamaian PT. Kusumahadi Santosa (dalam PKPU) adalah sebagai berikut:
- Jumlah Kreditur Konkuren yang hadir dan berhak mengeluarkan suara yakni 6 Kreditur, yang menyetujui: 6 Kreditur, dan yang tidak menyetujui: 0 Kreditur, serta abstain: 0 Kreditur; dan:
- Jumlah Kreditur Separatis yang hadir dan berhak mengeluarkan suara yakni 2 Kreditur, yang menyetujui: 1 Kreditur, dan yang tidak menyetujui: 1 Kreditur, serta abstain: 0 Kreditur, sehingga: Dari total tagihan Kreditur Separatis yang berjumlah Rp359.262.027.982,- dengan jumlah suara 35.926, dimana untuk Kreditur yang setuju terhadap Proposal Perdamaian mempunyai tagihan sejumlah Rp309.983.023.962,- dengan jumlah suara 30.998  dengan presentase 86% dan untuk Kreditur (Bank BNI) yang tidak menyetujui mempunyai tagihan sejumlah Rp49.279.004.020,- dengan jumlah suara 4.928 dengan presentase 14%.
Sehingga sesuai ketentuan Pasal 281 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kuorum dan voting terpenuhi, Rencana Perdamaian diterima dan dikukuhkan Pengadilan Niaga lewat putusan homologasi.
Bank BNI mengajukan keberatan, sesuai dengan ketentuan Pasal 270 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pada tanggal 6 Januari 2015, Bank BNI telah mengajukan tagihan Bank BNI terhadap Debitur kepada Tim Pengurus disertai bukti-bukti pendukung atas tagihan tersebut, antara lain Perjanjian Kredit beserta seluruh perubahannya, Sertifikat, Akta Jaminan dan rincian hutang Debitur per tanggal 31 Desember 2014.
Pada tanggal 15 Januari 2015, Bank BNI telah datang memenuhi undangan rapat pra-verifikasi dari Tim Pengurus yang juga dihadiri oleh debitur, dimana pada kesempatan tersebut, Tim Pengurus menyampaikan telah menerima daftar tagihan Bank BNI terhadap Debitur.
Total kewajiban yang diakui oleh Debitur sebesar Rp49.279.004.020,- dengan nilai kurs rupiah dihitung pada hari putusan PKPU Sementara diucapkan, dimana USD 1 = Rp12.900,-. Bahwa terhadap tanggapan Debitur demikian, Bank BNI menyampaikan sikap tegas bahwa tagihan Bank BNI adalah sama seperti apa yang telah disampaikan kepada Tim Pengurus dan menolak perhitungan jumlah hutang yang disampaikan oleh Debitur.
Terhadap tagihan-tagihan dari Kreditur selain Bank BNI, Debitur langsung menyatakan mengakui dan menerima seluruh tagihan tersebut, sedangkan untuk tagihan Bank BNI, hanya diakui sebesar Rp49.279.004.020,- yang diperoleh dari hasil konversi mata uang pinjaman yang dilakukan sendiri oleh Debitur.
Bank BNI menyatakan keberatan dan membantah perhitungan jumlah hutang yang dilakukan oleh Debitur tersebut karena perhitungan dilakukan tanpa dasar yang jelas. Sehubungan dengan nilai dan/atau jumlah hutang yang berbeda dan tidak terdapat titik temu antara Bank BNI dengan Debitur, Tim Pengurus meminta waktu untuk memeriksa kembali dokumen-dokumen terkait baik dari Debitur maupun dari Bank BNI dan akan memutuskan jumlah tagihan yang akan diakui maupun dibantah sesuai dengan perhitungan dari Tim Pengurus pada tanggal 21 Januari 2015.
Tanggal 21 Januari 2015, Tim Pengurus memutuskan bahwa atas tagihan Bank BNI yang diakui adalah sebesar Rp49.279.004.020,- dan yang dibantah adalah sebesar Rp222.047.846.374,-. Suatu nilai yang sangat jauh signifikan, sehingga Bank BNI menolak dan menyatakan keberatan terhadap keputusan dari Tim Pengurus, karena penetapan jumlah tagihan Bank BNI yang diakui dan dibantah oleh Tim Pengurus tanpa didasari dengan perhitungan yang jelas dan tanpa memperhatikan dokumen-dokumen Perjanjian Kredit yang dibuat dan ditandatangani oleh Debitur di hadapan Notaris disamping telah diserahkan serta diverifikasi oleh Tim Pengurus.
Terkait penetapan jumlah tagihan yang masih dipersengketakan tersebut, Bank BNI telah meminta kepada Tim Pengurus untuk menunda pengesahan penetapan Daftar Tagihan Tetap (DPT). Namun terhadap permohonan tersebut, Tim Pengurus tidak mengabulkan dan tetap mensahkan DPT.
Terhadap DPT tersebut, Bank BNI telah menyatakan menolak dan keberatan, baik secara lisan didalam Rapat Verifikasi maupun secara tertulis dalam DPT Debitur, karena sangat merugikan Bank BNI.
Terhadap keberatan yang diajukan Bank BNI, Pengadilan Niaga Semarang kemudian menjatuhakn putusan Nomor 04/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Smg., tanggal 9 Februari 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam hubungan ini Debitur telah ternyata mengajukan rencana perdamaian kepada pihak Krediturnya, untuk mendapatkan persetujuan;
“Menimbang, bahwa rencana perdamaian yang diajukan oleh Pemohon / Debitur a quo, telah mendapatkan persetujuan dengan presentase 24% dari para Krediturnya sebagaimana ternyata pada hasil voting yang dipimpin oleh Hakim Pengawas pada tanggal 26 Januari 2015;
“Menimbang, bahwa atas dasar Mayoritas Kreditur menerima rencana perdamaian, maka status rencana perdamaian berubah menjadi Perjanjian Perdamaian;
“Menimbang, bahwa Perjanjian Perdamaian yang diterima oleh mayoritas Kreditur, dan telah ternyata ditandatangani oleh mayoritas Kreditur, Debitur dan diketahui oleh Hakim Pengawas dan Tim Pengurus, adalah Perjanjian Perdamaian tanggal 3 Februari 2015;
“Menimbang, bahwa dengan diterimanya Rencana Perdamaian a quo oleh mayoritas Kreditur, dan untuk kemudian menjadi Perjanjian Perdamaian, maka Hakim Pengawas melaporkannya kepada Majelis Hakim untuk dapat disahkan Perjanjian Perdamaian tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 285 ayat (1), (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;
“Menimbang, bahwa berpedoman ketentuan Pasal 285 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut, oleh karena ternyata mayoritas Kreditur menerima Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitur, maka Pengadilan wajib memberikan pengesahan perdamaian disertai alasan-alasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (3);
“Menimbang, bahwa ternyata dalam pemungutan suara (voting) tanggal 26 Januari 2015 yang dipimpin oleh Hakim Pengawas, Mayoritas Kreditur dapat menyetujui rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitur;
“Menimbang, bahwa Kreditur Separatis PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. melalui Kuasa Hukumnya telah mengajukan keberatan terhadap jumlah piutang/tagihan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., yang ditetapkan oleh pengurus PT. Kusumahadi Santosa (dalam PKPU) dalam perkara Nomor 04/Pdt.sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Smg., bahwa tagihan yang diakui adalah sebesar Rp49.279.004.020,- dan yang dibantah sebesar Rp222.047.846.374,- namun Hakim Pengawas dan Tim Pengurus tetap mengesahkan DPT PT. Kusumahadi Santosa;
“Menimbang, bahwa alasan yang dikemukakan oleh Kreditur Separatis dalam hubungannya dengan alasan penolakan Pengadilan untuk mengesahkan Perjanjian Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 285 ayat (2) huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, ternyata dalam persidangan tidak mendalilkan hal-hal tersebut, dengan bukti-bukti yang cukup sekalipun telah diberikan kesempatan untuk itu;
“Menimbang, bahwa oleh karena ternyata tidak terdapat alasan yang kuat untuk menyatakan menolak mengesahkan Perjanjian Perdamaian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 285 ayat (2) huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, maka dengan berpedoman ketentuan Pasal 285 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tersebut, Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian a quo;
MENGADILI :
I. Menyatakan sah Perjanjian Perdamaian tanggal 3 Februari 2015 yang telah disepakati oleh Debitur, dengan para Krediturnya yang terdiri dari: [Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan, Bank BNI tidak tercantum dalam list nama-nama kreditor dalam homologasi berikut.]
1. PT. Agansa Primatama;
2. PT. Multi Kimia Inti Pelangi;
3. Koperasi Karyawan Kusumahadi Santosa;
4. Koperasi Kusumaputra Santosa;
5. PT. Kusuma Dewa Santosa;
6. Sinoasi Holding Limited;
II. Menghukum Debitur dan para Kreditur untuk mentaati Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan;
III. Menyatakan imbalan jasa Tim Pengurus akan ditetapkan kemudian;
IV. Menghukum Debitur membayar biaya perkara.”
Bank BNI mengajukan upaya hukum kasasi, karena Bank BNI merupakan Kreditor Separatis yang tidak setuju pada proposal perdamaian, sehingga bila merujuk pada kaedah norma Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU:
(1) Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:
a. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditur Konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari Kreditur Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan
b. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditur tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.”
Dari ketentuan diatas, tampak bahwa rencana perdamaian dapat diterima apabila memenuhi empat persyaratan yaitu:
1) lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditur Konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditur, harus setuju;
2) Kreditur-kreditur Konkuren yang setuju sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, harus mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari Kreditur Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut;
3) lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditur Separatis yang hadir, harus setuju;
4) Kreditur-kreditur Separatis yang setuju sebagaimana dimaksud dalam angka 3 di atas, harus mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor (separatis) tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Keempat persyaratan diatas, merupakan syarat kumulatif dan mutlak, tidak bisa ditawar dan tidak dapat ditafsirkan lain dari apa yang tertulis. Faktanya, saat pelaksanaan Rapat Pemungutan Suara/Voting Rencana Perdamaian tanggal 26 Januari 2015, jumlah Kreditur Separatis dari Termohon Kasasi II yang hadir dan berhak mengeluarkan suara ada 2 (dua) Kreditur yaitu Pemohon Kasasi dan Sinoasia Holding Limited.
Pemohon Kasasi telah menolak Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh Termohon Kasasi II yang disampaikan secara langsung dalam rapat tersebut sedangkan Kreditur Separatis lainnya yaitu Sinoasia Holding Limited menyetujui Rencana Perdamaian.
Dengan ditolaknya Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Termohon Kasasi II oleh Pemohon Kasasi, maka syarat rencana Perdamaian dapat diterima berdasarkan persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditur Separatis atau yang piutangnya dijamin dengan agunan yang hadir, tidaklah terpenuhi, sehingga dengan demikian dengan sendirinya syarat untuk dapat diterimanya suatu rencana perdamaian sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 281 ayat (1) huruf b UU Kepailitan dan PKPU juga tidak terpenuhi, dan oleh karenanya tidak berdasar hukum untuk disahkan menjadi Perjanjian Perdamaian.
Dimana terhadap bukti-bukti argumentasi yuridis demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi dan jawaban-jawaban atas memori kasasi dihubungkan dengan putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, bahwa pokok perkara dalam permohonan a quo adalah keberatan 1 (satu) Kreditur Separatis terhadap putusan PKPU yang berisi pengesahan perdamaian (homologasi), atas putusan mana sesuai dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak ada upaya hukum apapun, sehingga sudah seharusnya keberatan Pemohon dalam perkara a quo ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 04/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Smg., tanggal 9 Februari 2015 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk., tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk., tersebut.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS: Bila terhadap pengesahan perdamaian tidak terbuka upaya hukum apapun, setidaknya masih tersedia langkah berliku semacam “gugatan lain-lain” ketika pada akhirnya nanti debitor jatuh pailit, maupun perlawanan (verzet) terhadap putusan homologasi. Ketika putusan yang telah secara jelas memiliki keliruan yuridis namun tidak terdapat langkah korektif, bukankah akan cukup fatalistis?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.