LEGAL OPINION
Question: Apakah faktor sosiologis dapat dijadikan sebagai alasan pembenar dan pemaaf di mata hukum terhadap pelaku?
Brief Answer: Ketika seorang warga negara melakukan pelanggaran hukum, itu sudah menjadi “variabel determinan”. Perihal pelanggaran tersebut diamaafkan atau tidaknya oleh korban, hal tersebut belum pasti, sehingga disebut sebagai bergantung pada “variabel tidak terikat”.
Sebagai warga negara yang baik, seyogianya tidak melanggar hukum ataupun merugikan warga negara lainnya, dengan menyadari konsekuensi hukum dibalik resiko pelanggaran hukum, sehingga tidak pada tempatnya untuk mengandalkan maaf dari pihak korban ataupun alasan sosiologis lainnya sebagai pembenaran diri.
Berani berbuat, berani bertanggung-jawab. Berani melanggar hukum, berani untuk menerima konsekuensi hukumnya sebagai “variabel determinan”—demikian etos stelsel hukum yang ideal. Kita tidak dapat berasumsi atau berandai-andai pada “variabel bebas” yang belum pasti sifatnya.
PEMBAHASAN:
Istilah “pelanggaran berat” bukan hanya dapat terjadi dalam sengketa hubungan industrial konteks pekerja swasta. Ilustrasi konkret berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepegawaian aparatur sipil negara register Nomor 21 PK/TUN/2016 tanggal 7 Juni 2016, perkara antara:
- PAULUS ROBINSON BESI, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat; melawan
- BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN (BAPEK), selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat.
Berdasarkan Keputusan Bupati Alor tanggal 30 Juni 2007, Penggugat diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dalam pangkat Pengatur, golongan ruang II/c, ditugaskan pada Unit Kerja Kantor Kecamatan Alor Tengah Utara. Sengketa terjadi, ketika terbit Keputusan Bupati Alor tanggal 19 November 2008, yang menjatuhkan hukuman disiplin kepada Penggugat berupa Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Negeri Sipil, dengan alasan Laporan Hasil Pemeriksaan dari Kepala Inspektorat Daerah Kabupaten Alor, dengan pertimbangan:
a. Saudara Paulus Robinson Besi, telah melakukan hubungan layaknya suami istri dengan Saudari LR sampai melahirkan seorang anak laki-laki;
b. Atas perbuatan tersebut Saudara Paulus Robinson Besi tidak bersedia menikahi dengan Saudari LR karena alasan perbedaaan budaya, tidak ada rasa cinta lagi dan penghinaan dari keluarga perempuan;
c. Perbuatan Saudara Paulus Robinson Besi bertentangan dengan Pasal 14 Juncto Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Penggugat melakukan hubungan layaknya suami istri dengan Saudari LR sampai melahirkan seorang anak laki-laki, adalah benar sehingga dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Alor, Penggugat telah mengakui dengan sesungguhnya bahwa benar Penggugat telah melakukan perbuatan tersebut, namun Penggugat bersedia menikahinya, akan tetapi pernikahan tidak dapat dilaksanakan karena kemauan keluarga dari Saudari LR.
Justru Penggugat memiliki niat untuk menjadikan Saudari LR sebagai istri, sehingga pada saat Saudari LR dalam keadaan hamil dan tinggal di Atambua-Belu, pada tanggal 02 Mei 2007 Penggugat bersama orang tua dan keluarga ke Atambua-Belu, untuk melamar/meminang Saudari LR dan menjadikannya istri.
Namun setibanya di Atambua-Belu, orang tua dan keluarga Saudari LR tidak menerima/menolak lamaran Penggugat dan orang tua bersama keluarga, dengan cara tidak mempedulikan, selama satu hari sehingga Penggugat bersama orang tua dan keluarga terpaksa kembali ke Kalabahi-Alor, sesuai dengan Surat Ijin Peminangan dari Camat Alor Tengah Utara.
Niat baik Penggugat juga disampaikan oleh Penggugat di hadapan Aparat Pemerintah Ketua RW.02/RT.04, Kelurahan kalabahi Barat, pada tanggal 1 November 2007 ketika keluarga dari Saudari LR melaporkan Penggugat ke Aparat Pemerintah setempat, pada saat itu Penggugat dengan tegas menyatakan bersedia menikahi Saudari LR sebagai istri.
Sebagai upaya terakhir, untuk menjadikan Saudari LR sebagai istri, disampaikan oleh Penggugat di hadapan Aparat Pemerintah Ketua RW.02/RW.04, Kelurahan Kalabahi Barat pada tanggal 28 Mei 2009 pada saat itu Penggugat dengan tegas menyatakan bersedia menikah dengan Saudari LR karena Penggugat masih mencintainya, meskipun Penggugat telah diberhentikan dari Pegawai Negeri Sipil, namun Saudari LR bersama orang tuanya menolak/tidak bersedia menikah dengan Penggugat.
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil:
“Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah.”
Pasal 15 ayat (1) PP No. 45 Tahun 1990 :
“Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang ke dua/ke tiga/ke empat, dalam waktu selambat-lambatnya 1 tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.”
Menyimak norma Pasal 14 dan 15 PP No. 45 Tahun 1990 diatas, tampak tidak sinkron dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat karena Penggugat tidak pernah hidup bersama atau serumah dengan Saudari LR, tetapi kenyataan yang terjadi adalah antara Penggugat dengan Saudari LR terjadi hubungan layaknya suami istri yang akhirnya Saudari LR hamil dan selama masa kehamilannya ia berada di rumah orang tuanya.
PP No. 45 Tahun 1990 juga tidak diatur secara tegas jenis sanksi yang layak diberikan kepada Aparatur Sipil Negara yang melakukan pelanggaran Disiplin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 PP bersangkutan. Pada saat Keputusan Bupati Alor diterbitkan, Penggugat belum dan tidak pernah terikat dalam suatu perkawinan yang sah menurut Undang-Undang sehingga Penggugat keberatan telah dijatuhkan hukuman disiplin berat kepada Penggugat berupa Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Negeri Sipil.
PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, diatur tiga tingkatan hukuman disiplin yakni:
a. Hukuman disiplin ringan, yang terdiri dari teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis;
b. Hukuman disiplin sedang, terdiri dari penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;
c. Hukuman disiplin berat, terdiri penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk palin lama 1 (satu) tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipi.
Apabila benar Penggugat melakukan pelanggaran seperti yang dituduhkan Bupati Alor, seharusnya Bupati Alor memberikan hukuman disiplin ringan yang terdiri dari teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis, bukan justru memberikan hukuman disiplin berat kepada Penggugat berupa Pemberhentian, tanpa adanya tahapan-tahapan hukuman disiplin, bahkan tidak memberikan kesempatan kepada Camat Alor Tengah Utara selaku atasan langsung Penggugat untuk memberikan Pembinaan kepada Penggugat, demikian Penggugat mendalilkan.
Pemberhentian tersebut dinilai merugikan Penggugat sehingga Penggugat mengajukan keberatan administrasi kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (Tergugat) pada tanggal 10 Februari 2009. Namun sebagai tindak-lanjut, Tergugat menerbitkan Keputusan tertanggal 22 November 2010 tentang Penguatan Hukuman Disiplin terhadap Penggugat.
Terhadap gugatan sang mantan pegawai, terbit amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 21/G/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 28 November 2011 adalah sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan batal keputusan Tergugat Nomor 128/KPTS/BAPEK/2010 tanggal 22 November 2010 tentang penguatan hukuman disiplin atas nama Paulus Robinson Besi;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut keputusan Nomor 128/KPTS/BAPEK/2010 tanggal 22 November 2010 tentang penguatan hukuman disiplin atas nama Paulus Robinson Besi;
4. Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan yang baru tentang hukuman disiplin berupa penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun atas nama Paulus Robinson Besi NIP. 620041864;
5. Menyatakan gugatan Penggugat selain dan selebihnya dinyatakan ditolak.”
Dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 150 K/TUN/2012 tanggal 2 Mei 2012, sebagai berikut:
“MENGADILI :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN (BAPEK) tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 21/G/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 28 November 2011;
“MENGADILI SENDIRI :
- Menolak gugatan dari Penggugat.”
Sang mantan Pegawai Negeri Sipil mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa penerapan hukuman disiplin berat oleh Bupati Alor kepada Penggugat berupa Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil sesungguhnya tidak mempertimbangkan fakta dimana adanya itikat, kemauan dan niat tulus Penggugat untuk menikahi saudari LR dan itu juga harusnya menjadi pertimbangan Mahkamah Agung pada saat menjatuhkan keputusan kasasi.
Dimana terhadapnya alasan Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Judex Juris sudah benar dan tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata didalamnya, dengan pertimbangan:
- Bahwa alasan sosiologis tidak dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman disiplin terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/ Penggugat;
- Bahwa untuk pelanggaran disiplin berat yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali/ Penggugat sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil adalah adil apabila diberi sanksi pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri;
- Bahwa penjatuhan hukuman terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/Penggugat telah sesuai dengan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan dipandang pantas untuk dijatuhkan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/ Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
- Bahwa Novum yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali tidak bersifat menentukan, karena tidak dapat menghilangkan kesalahan yang telah diakuinya, sehingga tidak dapat membatalkan Putusan Judex Juris Kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PAULUS ROBINSON BESI, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PAULUS ROBINSON BESI tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.