Exit Interview Konteks Ketenagakerjaan

LEGAL OPINION
Question: Di beberapa perusahaan, ada mekanisme prosedur berupa exit interview terhadap karyawan yang akan mengundurkan diri dari perusahaan ataupun yang akan diputus hubungan kerjanya. Bila karyawan mengikuti panggilan exit interview oleh pihak manajemen yang biasanya dilakukan oleh divisi HRD, apa diartikan sebagai karyawan yang bersangkutan menerima pemutusan hubungan kerja?
Brief Answer: Pekerja / Buruh dipastikan tidak akan mampu menolak perintah atasan untuk melaksanakan / memenuhi panggilan exit interview demikian, karena biasanya dilakukan sebelum Upah, pesangon, Uang Pisah, maupun surat keterangan pengalaman kerja diberikan.
Dalam praktik peradilan, exit interview tidak pernah dapat dimaknai sebagai penerimaan seorang Pekerja untuk di-putus hubungan kerjanya (PHK) dengan atau tanpa kompensasi. Karena pada prinsipnya, exit interview diprakarsai dan menjadi kepentingan pihak Pengusaha, bukan sebaliknya, sehingga tidak dapat dimaknai sebagai merugikan kepentingan pihak Pekerja.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru sengketa PHK register Nomor 18/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr tanggal 02 Juni 2016, perkara antara:
- YUNIRIUS GEA, sebagai Penggugat; melawan
- PT. FINANSIA MULTI FINANCE, selaku Tergugat.
Penggugat mulai bekerja pada Tergugat yang ditempatkan pada Kantor Cabang Pekanbaru mulai pada tanggal 07 Oktober 2010 dengan Jabatan sebagai Remedial, berdasarkan hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Sengkata bermula, ketika pada tanggal 07 April 2011, sang Pekerja diberhentikan (Pemutusan Hubungan Kerja) oleh Tergugat dengan alasan melanggar disiplin, memaksa pimpinan, serta tidak mentaati perintah yang diberikan Perusahaan.
Penggugat meminta kepada Tergugat untuk menjelaskan kesalahan Penggugat, dan Penggugat memohon bukti pelanggaran yang dilakukan Penggugat. Namun Pihak Tergugat tidak dapat menunjukkan kesalahan ataupun membuktikan kesalahan Penggugat.
Penggugat diberhentikan hanya secara lisan yang disampaikan oleh atasan Penggugat selaku Head Collection di ruangan kerjanya. Pada tanggal 09 April 2011, Penggugat kembali menemui atasan Penggugat untuk meminta kembali bekerja sebagaimana biasanya serta meminta menjelaskan pelanggaran Penggugat lakukan, namun pihak Tergugat bersikukuh bahwa Penggugat telah diberhentikan oleh Perusahaan, dan Tergugat mengintimidasi Penggugat lewat penyampaian Tergugat bahwa apabila Penggugat tidak puas atas PHK tersebut Tergugat menyuruh melaporkan hal tersebut ke pihak Dinas Tenaga Kerja.
Selama Penggugat bekerja pada Tergugat, Penggugat tidak pernah melakukan kesalahan baik secara ringan ataupun berat, serta tidak pernah menerima teguran lisan dari para atasan Penggugat terlebih mendapatkan teguran tertulis.
Penggugat dan Tergugat telah sepakat membuat Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang ditanda-tangani bersama, namun Penggugat tidak pernah diberikan salinan kontrak kerja dari Tergugat hingga sampai saat ini dan ketika Penggugat mempertanyakan hal tersebut, pihak Tergugat berdalih belum ditanda-tangani oleh Kantor Pusat Tergugat di Jakarta—wujud itikad tidak baik Tergugat.
Penggugat menyatakan, akan menerima PHK apabila pihak Tergugat menjelaskan serta dapat membuktikan pelanggaran yang telah Penggugat lakukan. Selanjutnya diadakan perundingan tripartit, dan dari hasil pertemuan tersebut pihak Pihak Disnaker Kota Pekanbaru menerbitkan Anjuran Tertulis pada tanggal 05 Juli 2011 dengan substansi agar perusahaan (Tergugat) membayarkan sisa upah kotrak kerja yang berjalan kepada Penggugat sesuai dengan ketentuan Upah Minimum Kota Pekanbaru selama 6 bulan (6 bulan Upah).
Namun hingga saat ini, pihak Tergugat belum melaksanakannya kepada Penggugat sebagaimana bunyi Anjuran Disnaker. Dimana terhadap gugatan sang Pekerja, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selain mengajukan jawaban dalam pokok perkara Tergugat juga telah mengajukan eksepsi tentang gugatan telah Daluwarsa (Lewat Waktu) karena Anjuran dikeluarkan oleh Dinas Tenaga Kerja adalah tanggal 05 juli 2011, sementara Gugatan di Penggugat diajukan pendaftaran adalah tanggal 08 Maret 2016, maka tentu saja batas waktu untuk mengajukan keberatan atas Anjuran telah lewat waktu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan oleh karnanya Tergugat meminta Kepada Majelis agar mengeluarkan putusan dalam bentuk putusan sela dan menolak gugatan Penggugat;
“Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Tergugat tersebut, Penggugat telah membantah dalam Repliknya yang menguraikan bahwa gugatan Penggugat belum Kedaluwarsa karena setahu Penggugat bahwa atas Anjuran yang dikeluarkan oleh Dinas Tenaga Kerja Pekanbaru tidak ada dijawab oleh Tergugat dan Penggugat lama menunggu jawaban Tergugat tetapi tidak pernah ada dan sampai sekarang Surat Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja yang dikeluarkan oleh Tergugat, tidak pernah diterima oleh Penggugat, dan Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat adalah secara lisan saja tanpa ada surat resmi;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim membaca dan mempelajari surat gugatan Penggugat, dan jika dikaitkan dengan hasil Uji materil Perundang-Undangan yaitu berupa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 bahwa gugatan yang dapat Kadaluarsa apabila menyangkut dengan Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 160 (3) yaitu Pekerja sedang menjalani proses pidana dan Pasal 162 yaitu jika Pekerja mengundurkan diri, dan Penggugat telah menguraikan kronologis kejadian dimana alasan Tergugat untuk memutus hubungan kerja terhadap Penggugat tidak jelas dan Penggugat bermaksud mau bekerja kembali namun tidak diperbolehkan oleh Tergugat, kategori perselisihan ini bukanlah masuk kepada ranah sedang menjalani proses pidana dan tidak pula masuk kategori Pekerja mengundurkan diri, oleh karena itu maka eksepsi Tergugat tentang gugatan daluwarsa harus dinyatakan ditolak;
“Menimbang, bahwa surat bukti T-1 berupa Surat Perjanjian Kontrak Kerja Nomor : 2764/FMF-HR/KKWT/X/10 yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat tanggal 07 Oktober 2010 jika dikaitkan dengan Pasal 1338 KUHPdt: ‘Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya’ maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat adalah merupakan Perjanjian Kerja waktu Tertentu (PKWT) terhitung sejak 07 Oktober 2010 sampai dengan 08 Oktober 2011 dengan rincian Upah Rp.750.000.-/bulan + Tunjangan jabatan Rp.275.000,-/bulan sehingga Upah pokok Penggugat yang dibayarkan oleh Tergugat adalah sebesar Rp.1.025.000,-
“Menimbang, bahwa besaran upah pokok yang dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar Rp.1.025.000.- sedangkan dikaitkan dengan Upah Minimum Kota Pekanbaru periode 2011 sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2010 adalah sebesar Rp.1.135.000,- Majelis Hakim berpendapat bahwa Perusahaan Tergugat telah salah dalam penerapan Upah Minimum Kota Pekanbaru sehingga Tergugat telah kekurangan bayar kepada Penggugat sebesar Rp.110.000/bulan pada saat pembayaran Gaji yang telah ditransfer oleh Tergugat kepada Penggugat;
“Menimbang, bahwa surat bukti T-2 berupa Surat Keterangan Pemutusan Hubungan Kerja, tertanggal 08 April 2011 yang ditandatangani oleh Eddy Suryadi selaku Branch Manager, dan disetujui oleh Sumardin Mendrova selaku Area Colletion Manager dan Robin Ginting selaku Regional Manager, dimana Pemutusan Hubungan Kerja tersebut terhitung sejak tanggal 07 April 2011;
“Menimbang, bahwa surat bukti T-3 berupa Surat Exit Interview, yang didalilkan Tergugat bahwa Penggugat telah setuju untuk menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Majelis berpendapat bahwa Exit Interview bukanlah merupakan pernyataan setuju dari Penggugat terhadap Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat, tetapi Exit Interview biasanya diartikan sebagai Wawancara Keluar, yang merupakan sarana Management untuk mengetahui perasaan Karyawan yang di PHK agar menjadi masukan kepada Management untuk menciptakan perbaikan-perbaikan kebijaksanaan bagi Management atau Pemilik Perusahaan;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti surat P-6, P-7 dan P-8 mengenai riwayat saldo Jaminan Hari Tua di Jamsostek atau sekarang disebut BPJS atas nama Penggugat, dimana Penggugat mendalilkan bahwa ada indikasi kekurangan penyetoran kewajiban Perusahaan Tergugat kepada Jamsostek, Majelis berpendapat bahwa terhadap hal ini perlu dilengkapi dengan Nota Pemeriksaan dari Pengawas Ketenagakerjaan setempat;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan surat bukti T-2 berupa Surat Keterangan pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat, dimana Tergugat memutus Hubungan Kerja dengan Penggugat terhitung sejak 07 April 2011 dan dalam surat tersebut pada alinea terakhir bahwa jelas tertulis ‘mengenai hak-hak yang bersangkutan akan diberikan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku di Perusahaan’, maka Majelis berpendapat bahwa Penggugat kurang aktif dalam upaya mengurus hak-hak dalam kasus PHK ini, namun hal tersebut tidak menghapus hak Penggugat untuk mendapatkan haknya tersebut.
“Menimbang, bahwa sesuai dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dimana : ‘Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja’, maka Majelis Hakim berpendapat dalam perkara ini, karena Pihak Tergugat yang mengakhiri hubungan kerja, untuk itu Tergugat diwajibkan membayar kepada Penggugat untuk sisa kontrak bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober sebesar 6 x Rp.1.135.000,- = Rp.6.810.000,- (Enam juta delapan ratus sepuluh ribu rupiah);
“Menimbang, bahwa hubungan kerja adalah berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan hak dari Penggugat hanya seperti yang tertera pada uraian diatas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Petitum (4) Pengugat tentang tuntutan upah agar dibayarkan Tergugat sejak 07 April 2011 sampai sekarang, tidak dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa Petitum (3) Penggugat, agar Tergugat membayarkan kerugian moril dan materil kepada Tergugat sebesar Rp.20.000.000,-. Dalam Pengadilan Hubungan Industrial bila di kaitkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, tidak mengenal gugatan tentang kerugian moril dan materil seperti dalil Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Petitum (3) tidak dapat dikabulkan;
M E N G A D I L I :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung mulai tanggal 08 Oktober 2011;
3. Memerintahkan Tergugat untuk membayar Hak-hak Penggugat secara tunai dan seketika dengan perhitungan sebagai berikut:
- Sisa Upah sampai akhir PKWT Rp6.180.000,-
- Kekurangan bayar Tergugat atas upah Pokok Penggugat sesuai UMK tahun 2011 sebesar 6 x Rp110.000,- = Rp660.000,-
Keseluruhan sebesar Rp6.840.000,-
4. Menolak Gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.