Duri dalam Daging Klausula Arbitrase

LEGAL OPINION
Question: Baru saya sadari, ada yang tidak beres dalam kerjasama bisnis dengan suatu pihak, justru ketika perjanjian kerjasama diantara kami telah selesai. Masalahnya, saya ingin tahu, pengadilan mana yang bisa saya masukkan gugatan, karena di kontrak kerjasama itu ada disebut soal arbitrase. Sementara kontrak itu kini sudah tidak lagi berlaku. Jadi bisa ke pengadilan negeri?
Brief Answer: Jika sengketa ialah perihal perikatan-perikatan yang terkandung di dalam perjanjian kontraktual perdata, dimana di dalam perjanjian tersebut tercantum pula klausula perihal pemilihan dispute settlement pada lembaga penyelesaian sengketa Arbitrase, baik arbitrase lokal maupun arbitrase asing, maka sekalipun perjanjian kontraktual tersebut kini telah berakhir atau bahkan diasumsikan batal, klausula perihal arbitrase tetap berlaku dan mengikat para pihak.
Oleh sebab itu, SHIETRA & PARTNERS selalu menyampaikan sebagai bahan pertimbangan kalangan pengusaha, agar hendaknya memperhatikan dengan matang keberadaan klausul tentang dispute settlement, apakah worthy atau tidaknya “pemilihan / kesepakatan” lembaga Arbitrase—yang dalam banyak kasus justru merugikan / kontraproduktif.
Dalam hubungan bisnis, antisipasi adalah hal yang penting, dimana pihak yang saling bekerja sama belum tentu akan selamanya beritikad baik, dimana kelemahan paling utama dari Arbitrase justru dimanfaatkan dengan baik oleh salah satu pihak untuk memberatkan pihak lainnya ketika hendak mengajukan sengketa.
Dalam praktik, telah terdapat ratusan perkara gugutan perdata di Pengadilan Negeri yang seketika pupus karena “terjegal” oleh keberadaan klausul Arbitrase dalam kontrak kerja sama—dengan kuantitas perkara serupa yang sangat masif.
Adalah tidak benar asumsi yang menyatakan bahwa kualitas putusan Pengadilan Negeri lebih rendah dari kualitas putusan para arbiter dalam forum Arbitrase lokal maupun asing. Kerap SHIETRA & PARTNERS jumpai pula putusan Arbitrase yang tidak kredibel dalam segi kualitas pertimbangan hukum serta amar putusan.
Kendala penguasaan ilmu dari latar belakang hakim pengadilan negeri, selama ini dapat diatasi dengan menghadirkan keterangan ahli saat proses acara pembuktian guna memberikan penjelasan teknis maupun disiplin ilmu non hukum kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus.
PEMBAHASAN:
Terdapat pengaturan yang bersifat konservatif dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagaimana tertuang dalam Pasal 10:
“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi; [Note SHIETRA & PARTNERS: Kecuali ketika novasi mencantumkan pilihan yurisdiksi pengadilan yang baru selain arbitrase, barulah klausula arbitrase benar-benar tertutup secara permanen keberlakuannya.]
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”
Ilustrasi konkret berikut menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa komersiel register Nomor 2973 K/Pdt/2011 tanggal 29 Juni 2012, perkara antara:
- PT. PROMEXX INTI CORPORATAMA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
1. LEE KUM KEE (INTERNATIONAL) LIMITED; 2. LEE KUM KEE Co. Ltd.; 3. PT SUKANDA DJAYA, sebagai Para Termohon Kasasi dahulu Tergugat; dan
- BADAN POM REPUBLIK INDONESIA, selaku Turut Termohon Kasasi semula Turut Tergugat.
Tergugat I adalah perusahaan produsen produk berupa saus dengan merk ‘Lee Kum Kee’, berkedudukan di Hongkong yang mengekspor barang-barang produksinya ke Indonesia. Untuk keperluan bisnis ekspor Tergugat I tersebut, pada tahun 1994 Tergugat I meminta kepada Penggugat untuk menjadi Distributor Tunggal di Indonesia.
Setelah diyakinkan oleh Tergugat I, Penggugat akhirnya setuju untuk menjadi Distributor Tunggal produk tersebut di Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari penunjukan tersebut, baru pada tanggal 1 Agustus 1994, Penggugat dan Tergugat I membuat Perjanjian Kedistributoran yang menunjuk Penggugat sebagai Distributor Tunggal untuk mendistribusikan dan memasarkan produk ke seluruh wilayah Indonesia.
Dalam Pasal 5 Perjanjian disebutkan bahwa perjanjian berakhir pada tanggal 31 Juli 1997. Meskipun faktanya perjanjian Kedistributoran telah berakhir pada tahun 1997, namun Tergugat I tetap melanjutkan perjanjian Kedistributoran tersebut dengan tetap mengirim dan menyuplai langsung produk untuk dipasarkan oleh Penggugat sampai dengan tanggal 31 Desember 1999.
Dengan kata lain selama kurun waktu sejak tanggal 1 Agustus 1997 sampai dengan 31 Desember 1999 Perjanjian Kedistributoran antara Penggugat dengan Tergugat I dilanjutkan tanpa adanya perjanjian tertulis yang baru ataupun perpanjangan dari perjanjian tertulis sebelumnya. [Note SHIETRA & PARTNERS: Secara doktrinal, yang benar ialah ‘ada’, yakni perpanjangan kontrak secara ‘diam-diam’.]
Dari sejak tahun 1994 hingga tahun 2003 Penggugat mendapat suplai langsung produk-produk dari Tergugat I. Namun setelah tahun 2003 dikarenakan pusat pemasaran produk Lee Kum Kee untuk daerah Asia Tenggara berada di Malaysia, maka berdasarkan surat tertanggal 11 Maret 2004 dengan subject: “Corporate Restructuring of Asia II Zone-Asean Countries” dari Tergugat I kepada Penggugat dan dilanjutkan dengan mengirimkan Novasi tertanggal 1 Mei 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa Tergugat I mengalihkan penyuplaian produk-produknya kepada Tergugat II, sehingga Penggugat mendapat suplai produk-produk langsung dari Tergugat II.
Adanya Novasi tanggal 1 Mei 2004 secara tidak langsung merupakan pengakuan Tergugat I mengenai masih berlanjutnya hubungan Kedistributoran dengan Penggugat meskipun tidak ada perjanjian tertulis antara Penggugat dengan Tergugat I.
Penggugat mengklaim berhasil meningkatkan penjualan produk saus merek ‘Lee Kum Kee’ di Indonesia. Untuk mengembangkan pemasaran produk, Penggugat memperluas jaringan pemasaran ke kota-kota besar di Indonesia sesuai permintaan Tergugat I, dimana Penggugat telah menghabiskan dana sebesar US$ 6,063,271.87 atau setara Rp. 45.499.737.477,00 demi meluaskan jaringan.
Atas kerja keras Penggugat untuk memasarkan produk ‘Lee Kum Kee’ di pasar Indonesia, Penggugat berhasil meningkatkan penjualan produk untuk setiap tahunnya, bahkan pada saat terjadi krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997-1998 yang menyebabkan penurunan penjualan, Penggugat berhasil lolos dari masa krisis tersebut dan tetap melakukan penjualan serta meningkatkan kembali penjualan Penggugat sebagai Distributor Tunggal yang ditunjuk oleh Tergugat I, disamping peran Penggugat yang telah melakukan promosi sebagai bentuk sosialisasi/pengenalan produk Tergugat I yang pada saat itu belum dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia.
Promosi tersebut itu sendiri menghabiskan anggaran Penggugat sebesar US$ 1,274,570.56 atau setara Rp 9.343.532.310,00. Sehingga melalui promosi tersebut, produk-produk Tergugat I kini dikenal oleh masyarakat Indonesia. Penggugat juga telah Mendaftarkan Produk Merek "Lee Kum Kee" kepada Turut Tergugat.
Oleh karena seluruh produk makanan yang beredar di Indonesia harus memenuhi ketentuan dan tata cara yang berlaku menurut hukum Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, maka Penggugat sebagai Distributor Tunggal di Indonesia, dengan biaya Penggugat sendiri telah mendaftarkan seluruh produk tersebut kepada Turut Tergugat dan telah mendapatkan nomor registrasi makanan luar negeri (ML).
Perjanjian Kedistributoran tertanggal 1 Januari 2000 antara Penggugat dengan Tergugat I, berakhir pada tanggal 31 Desember 2000 dan diperpanjang dengan perjanjian Kedistributoran tertanggal 1 Januari 2001 yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2002. Selanjutnya perjanjian Kedistributoran dilanjutkan atas dasar saling percaya kedua pihak.
Dan hasil penjualan produk dalam kurun waktu tersebut (2003-2006) jauh meningkat dibanding pada masa perjanjian sebelumnya. Selama hubungan Kedistributoran berlangsung sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, Penggugat sebagai Distributor Tunggal produk saus merek ‘LEE KUM KEE’ belum pernah sekalipun mendapat teguran ataupun peringatan baik dari Tergugat I maupun dari Tergugat II mengenai kinerja Penggugat dalam mendistribusikan dan memasarkan produk.
Akan tetapi secara mendadak dan sepihak, Tergugat II memutuskan hubungan Kedistributoran dengan Penggugat dan menyatakan memberhentikan pengiriman produk-produknya kepada Penggugat dengan surat tertanggal 9 April 2007 : Termination Of Distributorship Of Lee Kum Kee Products, diikuti dengan pemberitahuan melalui surat tertanggal 11 April 2007 : Stop Supply Of Lee Kum Kee Products dari Tergugat II kepada Penggugat.
Tindakan pemutusan hubungan Kedistributoran secara mendadak dan sepihak tanpa alasan yang jelas oleh Tergugat II, dinilai merugikan Penggugat karena selain Penggugat tidak mendapatkan lagi suplai produk, masih banyak produk saus yang belum terjual senilai Rp. 325.734.201,- sehingga Penggugat menderita kerugian.
Sebagai akibat sampingan lainnya dari pemutusan hubungan Kedistributoran secara mendadak dan sepihak tersebut, Penggugat harus mengeluarkan biaya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan-karyawan yang bekerja pada Penggugat sebesar Rp.553.544.626,-.
Tidak sampai disitu, setelah terjadi pemutusan hubungan Kedistributoran, Penggugat menemui adanya usaha-usaha yang dilakukan oleh Tergugat II dengan pihak lain untuk memasukkan dan memasarkan produk-produk tersebut secara ilegal ke Indonesia dengan menggunakan nomor ML milik Penggugat.
Atas adanya usaha untuk mendistribusikan dan menjual produk saus secara ilegal di Indonesia, Penggugat telah mengirimkan surat kepada Turut Tergugat tertanggal 8 Mei 2007 perihal: Mohon untuk tidak memberikan Nomor Pendaftaran Produk-Produk Merek ‘Lee Kum Kee’ kepada Pihak Lain (selain daripada Penggugat).
Akan tetapi ternyata Turut Tergugat tetap memberikan Nomor pendaftaran Produk-Produk Merek ‘Lee Kum Kee’ kepada pihak lain dan hal itu dinilai merugikan Penggugat sebagai pihak yang masih mempunyai permasalahan hukum dengan Tergugat I dan Tergugat II.
Penggugat juga telah mengirimkan surat kepada Dirjen Bea dan Cukai tertanggal 31 Mei 2007 dan 1 Agustus 2007 Perihal Mohon untuk dapat melakukan pengawasan terhadap pihak-pihak lain (selain daripada Penggugat) yang mencoba memasukkan produk tersebut ke Indonesia melalui pasar gelap.
Menurut informasi yang Penggugat dapatkan, disaat belum ada penyelesaian masalah antara Tergugat I dan Tergugat II dengan Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II secara diam-diam telah menunjuk Tergugat III sebagai pengganti Penggugat untuk menjadi Distributor Tunggal produk-produk (Saus) yang memakai merk ‘Lee Kum Kee’, padahal saat itu pun Tergugat III telah mengetahui adanya pemutusan hubungan Kedistributoran kepada Penggugat secara mendadak dan sepihak oleh Tergugat II.
Tujuan pemasaran produk di Indonesia adalah untuk jangka panjang, terbukti dari permintaan Tergugat I dan Tergugat II pada Penggugat untuk mendirikan jaringan pemasaran di Indonesia, dan bahkan pada awalnya Tergugat I lah yang telah meminta sendiri kepada Penggugat untuk mau menjadi distributor di Indonesia, akan tetapi kemudian hubungan Kedistributoran diputuskan secara mendadak dan sepihak, sebagai itikad sewenang-wenang.
Agak naif ketika Penggugat mendalilkan, walaupun perjanjian kedistributoran telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2002 akan tetapi hubungan Kedistributoran tetap dilanjutkan, maka perjanjian Kedistributoran berlaku untuk jangka waktu yang tidak tertentu, akan tetapi kemudian Tergugat I dan Tergugat II memutuskan perjanjian Kedistributoran secara mendadak dan sepihak, dan memindahkan perjanjian Kedistributoran pada Tergugat III tanpa ada penyelesaian permasalahan terlebih dahulu dengan Penggugat.
Meski telah ditegur, Tergugat III tetap tidak menghentikan tindakan pendistribusian dan penjualan produk, sehingga Penggugat mengklaim bahwa para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sementara pihak Tergugat dalam dalilnya, merujuk pada Putusan MA RI No. 1715 K/Pdt/2001, tertanggal 12 Desember 2001 dalam perkara antara PT. Jaya Supllies melawan PT. Bukit Sanur dan Odeco Mining dan Engineering Limited, yang kaidah hukumnya menyatakan sebagai berikut:
“Arbitrase sebagai ‘Extra Yudicial’ yang lahir dari ‘Klausula Arbitrase’ dalam suatu perjanjian mempunyai legal effect yang memberikan kewenangan absolut kepada Badan Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasar atas asas hukum ‘pacta sunt servanda’.
“Dengan demikian, Badan Arbitrase sebagai ‘Badan Extra Yudicial’ menggeser kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Badan Peradilan Negara untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut.”
Dengan demikian, maka Perjanjian Arbitrase yang terkandung di dalam Klausula 12 Perjanjian kedistributoran antara Penggugat dan Tergugat tertanggal 1 Januari 2001 meniadakan wewenang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, juga terkait keberlakuan Konvensi New York mengenai Pengakuan dan Pemberlakuan Keputusan Arbitrase Luar Negeri yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1981.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan sela, sebagaimana putusan No. 249/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 5 Mei 2010, dengan amar sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa eksepsi Tergugat adalah tepat dan beralasan;
2. Menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan putusan No. 609/PDT/2010/PT.DKI tanggal 27 Januari 2011.
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa suatu hubungan dagang dalam hal ini hubungan antara pemilik dengan agen atau distributor akan terjadi bila diikat oleh suatu perjanjian, sebagaimana fakta hukum membuktikan terjadinya hubungan dagang antara Penggugat dengan Tergugat karena adanya perjanjian tanggal 1 Januari 2001;
- Secara faktuil terbukti pula secara nyata, sejak perjanjian tersebut pihak Penggugat telah menjadi agen/distributor Tergugat untuk produk-produknya;
- Bahwa secara faktuil pula perjanjian distributor tersebut telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2002, dan tidak diperpanjang lagi;
- Maka dengan demikian hubungan hukum keagenan antara kedua belah pihak telah berakhir pula, sehingga kalaupun pihak Tergugat mengalihkan keagenannya kepada pihak lain bukanlah suatu tindakan melawan hukum;
- Bahwa terlepas dari fakta diatas apabila mengacu pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase akan diuraikan sebagai berikut:
- Bahwa apabila Penggugat menganggap masih ada hubungan keagenan dengan pihak Tergugat sebagaimana yang dituntut dalam perkara ini maka pengaturan dalam Pasal 12 perjanjian 1 Januari 2001 harus pula menjadi acuan karena sesuai ketentuan Pasal 10 huruf h Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, berakhirnya atau batalnya suatu perjanjian pokok i.c. hubungan keagenan tidak menghapus adanya klausula arbitrase itu;
- Maka dengan demikian sengketa dalam perkara ini harus diajukan di Arbitrase Hongkong, bukan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. PROMEXX INTI CORPORATAMA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. PROMEXX INTI CORPORATAMA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.