Apakah BUMN dapat di-PTUN-kan?

LEGAL OPINION
Telaah Sempurna Fungsi Preseden: Mencegah Disparitas Antar Putusan
Question: Memang bisa, jika ada institusi BUMN yang dianggap cidera janji oleh pihak rekanan, keputusan pejabat BUMN itu digugat ke PTUN dengan alasan modal BUMN bersumber dari negara, memakai anggaran negara untuk membuka proses tender pengadaan barang dan jasa, serta keuangan negara untuk membiayai operasional BUMN bersangkutan?
Brief Answer: Sebagai ilustrasi lewat analogi, Mahkamah Agung RI (MA RI) dalam yurisprudensi tetapnya telah menyatakan bahwa Surat Keputusan Jadwal Lelang Eksekusi Jaminan Kebendaan maupun Risalah Lelang yang diterbitkan Kantor Lelang Negara, bukanlah objek Tata Usaha Negara yang dapat diajukan gugatan ke muka Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena dianggap murni semata perihal hubungan kontraktual perdata.
Maka, bila kita taat asas, sejatinya keputusan bisnis yang dijalankan lembaga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang keputusan niaganya berpulang kepada kebijaksanaan internal pengurus berdasarkan asas bussiness judgement rule yang menjadi ciri utama entitas bisnis, sejatinya terhadap setiap aspek perikatan perdata, tender pengadaan jasa/barang, atau hubungan hukum lainnya yang terbit dari kebijakan BUMN/D, tidak tunduk pada yurisdiksi PTUN, namun menjadi ranah perdata murni yang dapat diajukan sengketa ke hadapan Pengadilan Umum—alias bukan kompetensi absolut PTUN.
Pada prinsipnya PTUN dibentuk, bila kita merujuk pada falsafah awal pendiriannya, ialah untuk mengontrol kebijakan pemerintah dibidang layanan (hukum) publik. Maka yang saling berhadapan ialah warga negara versus negara (pemerintah)—oleh sebab itu, dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tidak dikenal mekanisme rekonpensi.
Sementara dalam konteks entitas bisnis (bukan entitas layanan publik), yang terjadi ialah hubungan kontruksi hukum “bussiness to bussiness”—tidak ada sangkut paut dengan kebijakan pelayanan publik. Yang ada ialah entitas bisnis terhadap entitas bisnis, murni kontraktual perdata.
Bila pelayanan publik bersifat monopolistik aparatur sipil negara (ASN), sehingga warga negara yang tidak diberikan pelayanan sebagaimana mestinya atau ketika publik ditelantarkan, maka publik tidak dapat mencari tempat pelayanan lain (karena sifat monopolistik ASN).
Oleh karena itulah, sipil diberikan hak oleh Konstitusi, untuk mengajukan gugatan ke hadapan PTUN guna menghadapi sikap lalai / abai / sewenang-wenang ASN maupun pejabat negara—sebagai implementasi asas negara berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Sehingga untuk itu, perlu ditelaah, yang menjadi pokok keputusan suatu instansi negara maupun instansi BUMN/D, ialah semata bersifat perdata kontraktual, ataukah mengandung unsur hukum publik.
Jika murni hanya memasuki ranah perdata, semisal suatu kantor kementerian membeli segalon air mineral dari pihak sipil, maka tidak dibayarnya pembelian tersebut bukanlah masuk dalam ranah PTUN untuk mengadili.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, dapat SHIETRA & PARTNERS jadikan cerminan putusan Mahkamah Agung RI sengketa “murni bisnis yang dipaksakan menjadi sengketa TUN”, sebagaimana register Nomor 181 PK/TUN/2016 tanggal 15 Desember 2016, perkara antara:
- EXECUTIVE VICE PRESIDENT LOGISTIK PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO), sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu selaku Tergugat; melawan
- PT. BAJATRA, selaku Termohon Peninjauan Kembali semula Penggugat.
Sengketa yang sesungguhnya sederhana ini, tidak disangka dapat menjadi demikian berlarut-larut, bahkan “diujung tanduk”, sehingga cukup menegangkan untuk kita simak jalannya perkara. Yang menjadi objek gugatan, adalah Surat Keputusan Executive Vice President Logistik PT. Kereta Api Indonesia, perihal Blacklist PT. Bajatra selaku Rekanan PT. Kereta Api Indonesia—dimana Penggugat memaknai jabatan Vice President Logistik PT. Kereta Api Indonesia sebagai sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang transportasi darat.
Penggugat dengan demikian merujuk Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mengatur:
“Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.”
Oleh karenanya Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara, dengan (secara salah kaprah) merujuk pada Putusan Nomor 07/G/2013/PTUN-JKT dalam perkara sengketa Tata Usaha Negara antara Impran Ashadi dkk melawan Kepala Daerah Operasi (Kadaop) I Jakarta PT. Kereta Api Indonesia (Persero), dimana yang menjadi objek gugatan ialah keputusan perihal Pengosongan Pembongkaran Bangunan/Kios.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 255 K/TUN/2005 tanggal 6 Desember 2006 dalam perkara sengketa Tata Usaha Negara antara Aries Adhi Widodo melawan Tim Pertimbangan Kepegawaian (TPK) PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. dimana yang menjadi objek gugatan adalah Surat Keputusan PT. Bank Mandiri tentang Pemberhentian Pegawai.
Blacklist PT. Bajatra selaku rekanan PT. Kereta Api Indonesia mengakibatkan Penggugat tidak lagi diperkenankan mengikuti pengadaan barang/jasa dilingkungan PT. Kereta Api Indonesia untuk selamanya baik secara langsung maupun sebagai pendukung.
Penggugat merupakan Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang penyedia barang / jasa yang menyediakan barang / pekerjaan konstruksi/jasa konsultan / jasa lainnya. Penggugat merupakan rekanan Tergugat yang mengikuti dan menjadi salah satu peserta lelang berupa tender Pekerjaan Sinyal Telekomunikasi Dari Stasiun Araskabu Menuju Bandara Kualanamu Medan. Adapun surat keputusan Tergugat, menyebutkan:
“Dengan dinyatakan diblacklist maka kepada saudara, perusahaan saudara termasuk pengurus:
a. Tidak diperkenankan mengikuti pengadaan barang/jasa di lingkungan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk selamanya baik secara langsung maupun sebagai pendukung;
b. Dengan dinyatakan Blacklist ini, tidak menggugurkan masalah hukum yang sedang berjalan;
c. Apabila ada perjanjian/kontrak atau proses pengadaan yang berhubungan dengan butir 3 di atas, akan segera dilakukan pemutusan perjanjian dan apabila belum menjadi kontrak akan digugurkan dalam proses pengadaan.”
Yang menjadi dasar pertimbangan Tergugat mem-blacklist Penggugat, yakni:
a. Pernyataan dalam pakta integritas tidak sesuai dengan kenyataan (KKN);
b. Melakukan kerjasama dengan PT. Giwin Inti untuk mengatur pengadaan sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat (mempunyai hubungan istimewa);
c. Saudara Abdul Kodir selaku pemegang saham dan Direktur I PT. Bajatra yang beralamat Jalan Brig. Jend. Katamso Gang Tangsi Nomor 49 Medan sama persis dengan alamat Sdr. Kiandy selaku Pemegang Saham dan Komisaris PT. Giwin Inti dan Saudara Henry PT. Madaco Wijaya;
d. Adanya sanksi denda kepada perusahaan saudara untuk pekerjaan stasiun tiga gajah baru yang sampai saat ini tidak diselesaikan.”
Sebagai akibat dari blacklist tersebut, Penggugat tidak diperkenankan mengikuti pengadaan barang/jasa di lingkungan PT. Kereta Api Indonesia untuk selamanya baik secara langsung maupun sebagai pendukung. Tenggang waktu tanpa adanya batas waktu yang dijatuhkan Tergugat kepada Penggugat dinilai bertentangan dengan Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 5 Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam, yang mengatur:
“Sanksi daftar hitam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa larangan untuk mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa di seluruh K/L/D/I selama 2 (dua) tahun kalender.”
“Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berwenang menetapkan daftar hitam terhadap penyedia barang/jasa dan/atau penerbit jaminan pada penyelenggaraan pengadaan barang/jasa di K/L/D/I.”
Dengan demikian yang berhak memberikan sanksi Blacklist atau daftar hitam adalah pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bukan executive vice President Logistik PT Kereta Api Indonesia (Persero), sehingga Tergugat tidak mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan.
Dalam tanggapannya, Tergugat membantah dengan merujuk pada kaedah Pasal 2 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, diatur bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
Tergugat diangkat berdasarkan Keputusan Direksi PT. Kereta Api Indonesia, bukan berdasarkan persetujuan Badan Kepegawaian Negara (BKN) melainkan berdasarkan kebijakan internal PT. Kereta Api Indonesia sendiri dan tidak digaji berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melainkan dari anggaran keuangan PT. Kereta Api Indonesia yang terpisah dari Anggaran Negara.
Karena PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mendasarkan dirinya pada peraturan korporasi dan bermaksud untuk menjalankan BUMN sesuai dengan tata kelola perusahaan yang sehat, maka segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Tergugat merupakan tindakan hukum korporasi, atau dalam kata lain tindakan tersebut adalah tindakan hukum perdata (entitas bisnis).
Tergugat juga mengkutip pertimbangan Majelis Hakim dalam Perkara Nomor 07/G/2013/PTUN.BJM, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari seluruh uraian pertimbangan diatas, maka Majelis Hakim berpendapat tindakan Tergugat dalam melaksanakan pengadaan jasa kontraktor pengerjaan pembangunan perluasan gedung kantor Bank BTN Kantor Cabang Banjarmasin adalah tindakan yang didasarkan pada tindakan-tindakan hukum korporasi atau dalam kata lain, tindakan hukum tersebut adalah tindakan hukum perdata, sehingga segala surat keputusan yang dikeluarkan atas dasar kaidah hukum korporasi atau perdata adalah juga surat keputusan yang bersifat perdata.”
Karena pengelolaan BUMN tersebut berdasarkan kaidah-kaidah hukum korporasi dan karenanya merupakan tindakan hukum perdata, maka segala surat keputusan yang dikeluarkan atas dasar kaidah hukum korporasi adalah surat keputusan yang bersifat perdata, dan karenanya tidaklah termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sehingga dengan demikian layaklah apabila yang berwenang memeriksa perkara ini adalah Pengadilan Negeri.
Terhadap gugatan Penggugat, yang kemudian menjadi amar Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor 74/G/2014/PTUN-BDG, tanggal 6 Januari 2015, adalah sebagai berikut:
MENGADILI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Keputusan Executive Vice President Logistik PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) Nomor ... tanggal ... , perihal Blacklist PT. Bajatra selaku Rekanan PT. Kereta Api Indonesia (Persero);
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Executive Vice President Logistik PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) Nomor ... tanggal ... , perihal Blacklist PT. Bajatra selaku Rekanan PT. Kereta Api Indonesia (Persero).”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 88/B/2015/PTTUN.JKT. tanggal 10 Juni 2015, sebagai berikut:
Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor 74/G/2014/PTUN-BDG tanggal 6 Januari 2015 dengan tambahan pertimbangan hukum.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 528 K/TUN/2015 Tanggal 19 November 2015, sebagai berikut:
“Bahwa putusan Judex Facti sudah benar dan tidak salah menerapkan hukum, karena Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku in casu Pasal 2 huruf b Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 4 ayat (6);
MENGADILI :
Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi: Executive Vice President Logistik PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO), tersebut.”
PT. Kereta Api Indonesia mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan argumentasi bahwa salah satu aturan yang memuat term and condition berkaitan dengan Lelang Pekerjaan yang harus ditaati oleh Penggugat adalah Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), dimana RKS tersebut merupakan dokumen lelang yang berisi mengenai hak dan kewajiban serta persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua peserta lelang dalam rangka mengikuti kegiatan lelang pekerjaan. Poin 4 Huruf (h) RKS terdapat pengaturan:
“Rekanan (perusahan maupun pemiliknya) akan dikenakan sanksi Blacklist sesuai dengan ketentuan pengadaaan barang dan jasa lain yang berlaku di PT. Kereta Api Indonesia (Persero) apabila melakukan pemalsuan dokumen dikenakan sanksi selamanya.”
Dalam prosesnya, semua peserta lelang pekerjaan diberikan kesempatan untuk menyatakan setuju atau tidak setuju, menyampaikan tambahan, keberatan terhadap RKS di atas melalui forum yang disebut dengan aanwijzing (penjelasan administrasi dan teknis pekerjaan lelang).
Selain harus tunduk pada RKS, Penggugat selaku peserta Lelang Pekerjaan Sintel juga harus mematuhi pakta integritas yang ditandatangani Penggugat pada tanggal 9 Januari 2012, dimana dalam ketentuan pakta integeritas terdapat ketentuan:
1. Tidak akan melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
2. Melaporkan kepada pihak berwajib/berwenang, apabila mengetahui ada indikasi KKN didalam proses pengadaan barang/jasa ini;
3. Berjanji akan melaksanakan tugas secara bersih, transparan dan profesional dalam arti kata mengerahkan segala kemampuan dan sumberdaya secara optimal untuk memberikan hasil kerja terbaik dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan / kegiatan ini;
4. Apabila melanggar hal-hal yang telah dinyatakan dalam pakta integritas ini, bersedia dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi serta dituntut ganti rugi dan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
RKS dan pakta integritas di atas seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari kegiatan lelang pekerjaan yang masuk dalam ranah keperdataan, sehingga apabila dalam prosesnya, Penggugat tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RKS dan Pakta Integritas, maka hal itu dapat dianggap sebagai bentuk dari pelanggaran kesepakatan yang masuk dalam lingkup hukum perdata.
Kaedah demikian tertuang sebagaimana putusan kasasi perkara Tata Usaha Negara No. 547/K/TUN/2015 Tanggal 23 Desember 2015 dalam perkara antara PT. Madaco Wijaya selaku Penggugat melawan Executive Vice President Logistik PT. KAI—sehingga menjadi aneh ketika Mahkamah Agung menyimpangi preseden yang telah ada.
Perkara ini secara substantif juga serupa dengan karakter putusan kasasi perkara Putusan No. 528 K/TUN/2015 tanggal 19 November 2015 dalam perkara PT. Bajatra selaku Penggugat melawan Executive Vice President Logistik PT. KAI selaku Tergugat, dimana yang membedakan hanya pada nomor surat keputusan dan pihak yang dituju dalam objek sengketa, yaitu pada Surat Keputusan Vice President Logistik PT. KAI Nomor PL.105/V/6/KA-2014 pihak yang dituju adalah PT. Bajatra, sedangkan pada surat Vice President Logistik PT. KAI Nomor PL.105/V/7/KA-2014 pihak yang dituju adalah PT. Madaco Wijaya.
Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 547 K/TUN/2015 dapat disimpulkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang berisi tentang Blacklist atau pemutusan hubungan kerja sebagai rekanan PT. KAI yang disebabkan karena suatu proses pelelangan dalam pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan oleh PT. KAI adalah perbuatan hukum perdata, sehingga hanya dapat diperiksa dan diputus oleh Peradilan Umum, bukan PTUN. Pasal 2 Huruf (a) UU PTUN menyebutkan secara tegas, bahwa:
“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Perbuatan Hukum Perdata.”
Ketentuan yang menyatakan bahwa pelelangan dalam penyediaan barang dan jasa, pemutusan hubungan kerja sebagai rekanan merupakan lingkup perdata, juga dinyatakan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 447K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002, yang pada pada pokoknya menyatakan bahwa:
Kewenangan Negara harus pula dengan melihat pada materi persoalan yang diminta diselesaikan atau diputus oleh Badan Peradilan. Jika Persoalan yang diajukan oleh Penggugat adalah menyangkut persoalan-persoalan tentang aspek-aspek keperdataan, seperti peralihan piutang (cessie) atau keberatan/ketidakcocokan jumlah hutang yang ditagihkan atau harus dibayar, pelelangan dalam penyediaan barang dan jasa, pemutusan hubungan kerja sebagai rekanan, dan sebagainya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang demikian tidaklah termasuk Keputusan Tata Usaha Negara, dan lebih bersifat Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU PTUN.”
Berdasarkan yurisprudensi diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan mengenai pelelangan dalam penyediaan barang dan jasa dan pemutusan hubungan kerja sebagai rekanan yang dilakukan oleh Badan / Pejabat Tata Usaha Negara merupakan perbuatan atau tindakan yang dikualifikasi sebagai perbuatan hukum perdata.
Oleh karena itu, jika terjadi sengketa yang diakibatkan oleh tindakan atau keputusan Pejabat / Badan Hukum Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan terkait hal-hal tersebut, seharusnya sengketa tersebut tidak bisa diperiksa dan diadili oleh PTUN.
Seperti yang terungkap dalam persidangan, bahwa objek perkara adalah terkait dengan adanya kegiatan pelelangan dalam pengadaan barang dan jasa sinyal telekomunkasi dari Stasiun Araskabu menuju Bandara Kualanamu yang diadakan oleh Tergugat.
Artinya, adanya objek sengketa disebabkan karena adanya kegiatan pengadaan barang dan jasa. Jika sebelumnya tidak ada Pengadaan Barang dan Jasa, maka tidak mungkin terbit objek sengketa. Dengan demikian objek sengketa mempunyai keterkaitan erat sebagai satu rangkaian kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa yang diadakan oleh Tergugat.
Konteks pemutusan kerja sama adalah hubungan privat (hubungan keperdataan) antara PT. KAI dengan pihak rekanan, sehingga apabila dihubungkan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 447/K/TUN/2000, maka seharusnya masuk dalam ranah perdata yang hanya dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, Tergugat meminta konsistensi Mahkamah Agung terhadap berbagai preseden / yurisprudensi sebelumnya, salah satunya ialah Putusan MA RI No. 547/K/TUN/2015 tanggal 23 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa objek sengketa perihal Blacklist atau pemutusan hubungan kerja PT. Madaco Wijaya sebagai rekanan PT. KAI merupakan ranah hukum perdata tersebut dapat dijadikan pertimbangan hukum dan diterapkan pula dalam memeriksa perkara ini.
Disamping itu, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Nomor 7 tahun 2011 tentang petunjuk teknis operasional daftar hitam, tidak dapat diberlakukan terhadap perkara ini, sebab fakta-fakta persidangan yang menunjukkan tidak terbukti sama sekali bahwa pembiayaan Pengadaan Barang dan Jasa yang menyebabkan terbitnya objek sengketa kepada Penggugat dananya baik sebagian maupun sepenuhnya berasal dari APBD/APBN. Pasal 2 huruf (b) Perka LKPP Nomor 7/2011 menyebutkan:
“Ruang lingkup peraturan kepala ini meliputi penyedia barang/jasa dan/atau penerbit jaminan yang terlibat dalam:
a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.
b. Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.”
Ketentuan diatas jelas dan terang mengatur bahwa Perka LKPP Nomor 7 Tahun 2011 hanya berlaku dan dapat diterapkan kepada pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan oleh BUMN / BUMD yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya berasal dari APBN / APBD. Artinya, jika kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh BUMN / BUMD, pembiayaannya tidak berasal dari APBN/APBD maka Perka LKPP Nomor 7/2011 tersebut secara hukum tidak berlaku untuk diterapkan dalam kegiatan barang dan jasa.
Oleh karena pembiayaan kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa yang dilakukan oleh Terggugat tidak berasal dari APBN / APBD, maka sesuai dengan Pasal 2 Perka LKPP Nomor 7/2011, ketentuan tentang Blacklist (daftar hitam) sebagai rekanan BUMN sebagaimana diatur dalam Perka LKPP Nomor 7/2011 tidak dapat diterapkan dan diberlakukan untuk menilai apakah objek sengketa bertentangan dengan Perka LKPP Nomor 7/2011 atau tidak.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan Peninjauan Kembali adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata dapat dibenarkan. Putusan Judex Juris salah menerapkan hukum, karena subtansi perkara a quo adalah masalah keperdataan, artinya Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa lahir berdasarkan perbuatan Hukum Perdata karena antara Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali mempunyai hubungan keperdataan berdasarkan Surat Nomor 006/BJT/SU/I/2012 tanggal 9 Januari 2012 yang diterbitkan oleh Termohon Peninjauan Kembali sehingga berdasarkan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara;
“Bahwa untuk menghindari disparitas putusan terhadap kasus posisi yang sama dengan perkara Kasasi Tata Usaha Negara Nomor 547 K/TUN/2015 dan Nomor 589 K/TUN/2015, yang pada hakekatnya menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: EXECUTIVE VICE PRESIDENT LOGISTIK PT. KERETA API Indonesia (PERSERO);
“Menimbang, bahwa oleh karena itu Putusan Mahkamah Agung Nomor 528 K/TUN/2015. Tanggal 19 November 2015 tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: EXECUTIVE VICE PRESIDENT LOGISTIK PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO), tersebut;
“Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 528 K/TUN/2015. tanggal 19 November 2015;
MENGADILI KEMBALI :
Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Note SHIETRA & PARTNERS:
Putusan diatas adalah salah satu contoh konkret, bagaimana suatu pihak yang menggugat justru telah membuka aib dirinya sendiri. Menggugat tidak pernah dimaknai sebagai hakim (pengadilan) akan selalu berpihak kepada pihak yang aktif menggugat. Gugatan secara serampangan, selalu akan berbuntut pada “mencemarkan nama baik sendiri”.
Perkara diatas juga menjadi cerminan sempurna fungsi dan peran utama preseden dalam membentuk kepastian hukum, dimana peran sentral preseden/yurisprudensi dalam praktik peradilan demikian sangat signifikan dan elementer. Preseden adalah “jaring pengaman” (safety nett) dari praktik-praktik judicial corruption.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.