Ambivalensi Upah Buruh Tertunggak Sebagai Kreditor

LEGAL OPINION
Question: Kalangan buruh dari suatu perusahaan, kan digaji dengan sejumlah nominal uang. Jika ternyata perusahaan tersebut menunggak utang dari seorang kreditor, juga ternyata gaji para buruhnya tersebut tidak dibayar, apa bisa perusahaan ini dipailitkan oleh kreditornya dengan bukti-bukti keadaan demikian?
Brief Answer: Meski memang upah kalangan pekerja / buruh berupa nominal uang, yang bila upah tersebut tertunggak menjadikan posisi seorang pekerja / buruh dikategorikan sebagai “Kreditor Preferen Teristimewa” yang melahirkan hak bagi kalangan pekerja untuk seketika itu juga mencatatkan piutangnya saat rapat verifikasi / pencocokan piutang ketika perusahaan tempat mereka bekerja jauh pailit ataupun PKPU, namun anehnya, khusus ketika debitor hendak dipailitkan, status Upah tertunggak sang pekerja belum diakui ataupun dikategorikan sebagai “kreditor”.
Jangankan kreditor yang hendak mengajukan pailit terhadap debitornya dengan mengajukan bukti belum terbayarnya Upah dari pekerja / buruh pihak perusahaan debitor, bahkan kalangan pekerja itu sendiri tidak dapat secara serta-merta mengajukan pailit terhadap kalangan pengusaha sekalipun telah secara terang dan nyata pihak pengusaha menunggak upah para pekerjanya—kecuali telah terbit putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang menyebutkan sejumlah nominal kewajiban pihak pengusaha.
Inilah salah satu kerancuan praktik litigasi pada Pengadilan Niaga yang perlu diketahui oleh kalangan kreditor, yang hingga kini sukar dipahami, karena ketika debitor jatuh dalam pailit / PKPU, para pekerja dapat seketika mengajukan klaim piutang upah yang tertunggak tanpa disyaratkan adanya penetapan PHI.
Singkat kata, ketika debitor / pengusaha belum jatuh dalam keadaan pailit maupun PKPU, maka status Upah tertunggak dari kalangan pekerja, belum dikategorikan sebagai “kreditor”. Namun, ketika sang pengusaha telah jatuh dalam keadaan pailit ataupun PKPU, maka secara serta-merta kalangan pekerja dapat mendaftarkan piutang Upahnya yang tertunggak dan dikategorikan sebagai “Kreditor Preferen”. Penulis menyebutnya sebagai, standar ganda dalam Pengadilan Niaga.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, SHIETRA & PARTNERS untuk itu akan merujuk pada putusan Pengadilan Niaga Medan perkara kepailitan register Nomor 05/Pailit/2013/PN.Niaga/Mdn tanggal 24 September 2013, perkara antara:
- PT. BANK BUKOPIN, sebagai Pemohon Pailit; melawan
- PT. ANGSANA AGRO ANDALAN, selaku debitor sebagai Termohon Pailit.
Meski permohonan Bank Bukopin agar debitornya dijatuhkan dalam keadaan pailit terbilang ganjil, oleh sebab fasilitas kredit telah terjamin agunan kebendaan yang sewaktu-waktu dapat di-parate eksekusi ketika sang debitor wanprestasi, dimana terhadapnya Majelis Hakim kemudian membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa tidak terselesaikannya pelunasan utang Termohon tersebut, Pemohon telah melayangkan Surat Peringatan hingga ke III, namun Termohon juga tidak menyelesaikannya sehingga pada tanggal 30 Juni 2013, Total kewajiban Termohon kepada Pemohon atas utang pokok, berikut bunga dan denda tertanggal 8 Juni 2013 menjadi Rp.68.652.837.265,50;
“Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan bahwa Termohon sebagai Debitor yang memiliki 2 (dua) atau lebih Kreditor, hal mana ternyata dari Surat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Barat tertanggal 19 Juni 2013 yang ditujukan kepada Termohon perihal tunggakan pembayaran upah tenaga kerja kepada 6 (enam) orang tenaga kerja, berdasarkan uraian dan alasan tersebut maka Pemohon didalam perkara ini agar Termohon dinyatakan Pailit telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan;
“Menimbang bahwa atas dalil Pemohon tersebut, Termohon membenarkan adanya hutang kepada Pemohon sesuai Perjanjian Kredit dengan Pemohon, sebagaimana telah disepakati bersama tersebut, namun Termohon membantah dalil Pemohon yang menyatakan bahwa hutang-hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
“Bahwa disamping hal tersebut Termohon juga membantah dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Termohon mempunyai hutang terhadap 2 (dua) kreditur yaitu Gaji 6 (enam) orang buruh dan juga hutang kepada CV. Dea Karya Utama berupa pembayatan Jual beli atas batu koral dan solar sejumlah Rp.15.000.000,-;
“Bahwa menurut Termohon belum ada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang menetapkan bahwa Termohon mempunyai kewajiban hutang atas gaji buruh tersebut, dan hutang kepada CV. Dea Karya Utama yang disebutkan oleh Pemohon tersebut tidak berdasar sama sekali karena Termohon telah melaksanakan kewajibannya tersebut kepada CV. Dea Karya Utama bahkan telah terjadi kelebihan pembayaran yang diberikan Termohon sejumlah Rp.2,572.125,-, sehingga karenanya menurut Termohon, Permohonan Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima atau harus ditolak untuk seluruhnya;
“Menimbang bahwa Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan: Debitor yang mempunyai dua atau lebih Keditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun satu atau lebih kreditornya;
“Menimbang bahwa selanjutnya berdasarkan uraian dalil-dalil baik yang dikemukakan oleh Pemohon maupun jawaban dan sanggahan yang disampaikan oleh Termohon seperti tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa hal-hal yang harus dipertimbangkan dan diselesaikan didalam perkara ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah: Apakah benar Termohon memiliki Utang yang telah Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih terhadap Pemohon, dan apakah terbukti Termohon sebagai Debitor yang memiliki 2 (dua) atau lebih Kreditor;
“Menimbang bahwa tentang adanya utang Termohon kepada Pemohon tidaklah dibantah oleh Termohon, sehingga secara hukum dalil yang tidak dibantah adanya berati mengakui kebenarannya sehingga tentang adanya utang Termohon kepada Pemohon tersebut tidak dipermasalahkan lagi, namun yang harus dipertimbangkan adalah apakah benar utang Termohon kepada Pemohon tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih;
“Menimbang bahwa dari bunyi Pasal 2 Perjanjian dimaksud dalam bukti P-3 tersebut diatas tertulis jatuh tempo pembayaran untuk Fasilitas Kredit Investasi adalah 108 bulan yang berakhir pada 18 Desember 2015, sedangkan untuk Fasilitas Kredit Modal Kerja (Bukti P-4) yang ditindak-lanjuti dengan Akte Notaril No.1 Tertanggal 26 Januari 2010 (bukti P-6), dimana pada pasal 7 dicantumkan bahwa Hutang pokok berikut bunga uang dan biaya-biaya lainnya harus dibayar lunas oleh Pihak Pertama kepada ‘Bank’ selambat-lambatnya dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak akta ditanda-tangani dan harus dibayar lunas selambat-lambatnya pada tanggal 26 Januari 2012;
“Menimbang bahwa Fasilitas Kredit Investasi tersebut menurut Pemohon benar jangka waktunya akan berakhir pada tanggal 18 Desember 2015, namun Pemohon mendalilkan bahwa menurut Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU adalah : Kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan karena pengenaan sanksi atau benda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau Majelis arbitrase;
“Bahwa menurut Pemohon kewajiban pembayaran utang dimaksud demi hukum telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh karena adanya percepatan waktu penagihan sesuai dengan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU tersebut dan juga telah disepakati oleh kedua pihak sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 5 butir a Perjanjian Kredit dimaksud (bukti P-3). Terbukti dari adanya Surat Peringatan I, II, III yang ditujukan oleh Pemohon kepada Termohon sebagaimana bukti P-9, P-10, dan P-11, hal mana tidak dibantah oleh Termohon tentang keberadaan surat tersebut;
“Bahwa didalam Pasal 5 Perjanjian Kredit Investasi Bukti (P-3) telah ditentukan bahwa : ‘Jumlah yang dihutang atau sisanya setelah dicicil ditambah dengan bunganya dapat ditagih dengan sekaligus dengan tidak mengindahkan peraturan pembayaran yang telah ditetapkan: a. jika Pihak pertama tidak membayar bunga uang dan angsuran pokok tersebut 2 (dua) bulan berturut-turut dan atau tidak memenuhi salah satu dari kewajiban-kewajibannya yang telah ditetapkan; ... dst sampai dengan f.’;
“Menimbang bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal tersebut diatas dengan menghubungkannya dengan aturan yang ada dan praktek perbankan yang berlaku dan disepakati oleh para pihak;
“Menimbang bahwa Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan bahwa : Si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan;
“Menimbang bahwa ketentuan tersebut mengandung arti bahwa apabila setelah lewatnya waktu yang ditentukan dalam surat teguran itu ternyata debitor juga belum melunasi utangnya, maka debitor dianggap lalai yang berarti utang debitor telah dapat ditagih, meskipun utang tersebut belum jatuh tempo;
“Bahwa dalam kredit perbankan klausul tersebut disebutkan dengan istilah events of default dan klausul tersebut lazim dicantumkan dalam perjanjian dimana dengan adanya klausul tersebut memberikan hak kepada Bank untuk menyatakan debitor in-default atau cedera janji karena salah satu peristiwa (event) yang tercantum dalam events of default itu terjadi. (Prof. Dr .Sutan Remy Syahdeini ,SH, dalam buku Hukum Kepailitan);
“Dan terbukti bahwa Termohon belum membayarkan kewajibannya pada bulan Maret 2011, April 2011, dan Mei 2001 sebagaimana Termohon telah diberi tegoran oleh Pemohon;
“Menimbang bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut terbuktilah bahwa utang Termohon terhadap Pemohon telah dapat ditagih sesuai dengan bunyi Pasal 5 Perjanjian Kredit dengan Memakai Jaminan No. 11 Tanggal 18-12-2006;
“Menimbang bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah terbukti kalau Termohon mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004;
“Menimbang, bahwa dalam surat permohonannya, Pemohon mendalilkan Termohon juga mempunyai utang berupa tunggakan pembayaran gaji 6 (enam) orang tenaga kerja sebagaimana Surat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Barat No. 094.3/1342/D3/2013 tertanggal 19 Juni 2013 yang ditujukan kepada Termohon karena Termohon tidak membayarkan Gaji sejak oktober 2012 sampai Juni 2013 sebanyak 5 (lima) orang dan 1 (satu) orang sejak bulan Oktober 2009 dan Januari 2012 sampai dengan Juni 2013;
“Menimbang bahwa tentang tunggakan upah tenaga kerja yang menurut Pemohon tidak dipenuhi oleh Termohon, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut;
“Menimbang bahwa UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU memberikan definisi mengenai utang yaitu : Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari (kontinjen) yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak diberikan memberikan hak kepada Kreditor unuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor;
“Menimbang bahwa apabila membaca rumusan / pengertian utang sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 37 Tahun 2004 tersebut, maka upah buruh / tenaga kerja dapat saja diketegorikan sebagai utang karena merupakan kewajiban yang dapat dinilai dengan sejumlah uang;
“Bahwa dari buki-bukti yang diajukan oleh Pemohon tersebut, ternyata upah yang dimaksudkan masih terdapat permasalahan atau perselisihan antara Termohon dengan para Tenaga Kerja tersebut, dimana ternyata bahwa Tenaga Kerja / Karyawan tersebut meminta bantuan kepada Dinas Sosial Tenaga kerja dan Transmigrasi untuk me-mediasi dan memfasilitasi pembayaan Gaji dan THR Karyawan, dan dari bukti-bukti yang diajukan tersebut tidak ternyata adanya jumlah uang pasti yang menjadi kewajiban bagi Termohon yang telah ditentukan atau diputuskan sehingga menjadi kewajiban bagi Termohon dan apabila tidak dipenuhi menjadi utang Termohon;
“Dengan kata lain dari bukti-bukti yang diajukan tersebut tidak membuktikan secara sederhana adanya utang Termohon terhadap Tenaga Kerja sejumlah 6 (enam) orang sebagaimana yang didalilkan Pemohon;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan pailit dari Pemohon PT. BANK BUKOPIN tersebut.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS :
Bukankah berapa nominal piutang kreditor lain, tidak relevan dan tidak penting untuk diketahui besar atau kecilnya oleh Pengadilan Niaga? Bukankah yang terpenting sudah cukup terbukti secara sederhana adanya kreditor lain, yang juga piutangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih (tertunggak)? Bukankah upah kalangan pekerja sudah pasti berbentuk nominal uang?
Terkadang, bahkan acapkali, hukum yang terlampau prosedural tidaklah efisien dan terkesan memboroskan waktu dan energi. Demikian berliku, dan tidak pragmatis di zaman yang serba menuntut efektivitas waktu serta kecepatan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.