Ambivalensi SHGU Diatas Kawasan Hutan

LEGAL OPINION
Question: Rencana saya mau coba masuk ke usaha budidaya kebun. Jika sudah mengantungi Sertifikat HGU (Hak Guna Usaha), apa artinya secara efektif seluruh luas lahan dalam sertifikat yang telah perusahaan saya pegang dan miliki ini nantinya, bisa dijadikan lahan untuk ditanami?
Brief Answer: Berbagai kendala terjadi dalam praktik akibat belum sinkron antara berbagai penampang hukum pertanahan, yang bersinggungan dengan rezim hukum perkebunan, hukum lingkungan hidup, lingkungan masyarakat hukum adat, hingga rezim prosedural perizinan.
Sebagai contoh, sekalipun telah memiliki hak atas tanah berupa SHGU, namun untuk kegiatan perkebunan, disyaratkan berbagai tahapan perizinan mulai dari Izin Lokasi Pemda setempat, Izin Pembukaan Lahan Perkebunan, Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan, Ixin Uaha Budidaya Perkebunan, dsb. Hal tersebut serupa dengan Izin Usaha Pertambangan yang bisa jadi tidak dapat dijalankan karena terbentur masalah tumpang tindih kawasan hutan.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkret, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan sengketa register Nomor 127 PK/TUN/2016 tanggal 18 Oktober 2016, perkara antara:
- PT. FAJAR MAS INDAH PLANTATIONS, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
- BUPATI KAPUAS, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat.
Penggugat telah memperoleh berbagai perizinan mulai dari Izin Lokasi, Izin pembukaan lahan, Izin Usaha Perkebunan dari pihak Bupati selaku otoritas Pemerintah Daerah (Pemda) sejak tahun 2006. Ketika seluruh usaha pengelolaan dan budidaya digalakkan oleh Penggugat selaku pengusaha perkebunan, berbagai perizinan tersebut mendadak tidak dapat diperpanjang oleh Pemda.
Lahan perkebunan oleh Penggugat seluas 12.000 Ha yang terletak di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian Tergugat menghentikan kegiatan operasional Penggugat, disebabkan adanya surat dari Tergugat dan instansi terkait, yang memerintahkan penghentian kegiatan sebagaimana surat-surat sebagai berikut:
- Surat Tergugat tanggal 31 Desember 2009 ditujukan kepada Perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PBS) di wilayah Kabupaten Kapuas perihal penghentian kegiatan operasional di lapangan;
- Surat Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas kepada Penggugat pada tanggal 28 Februari 2011 perihal tidak membuka kawasan baru;
- Surat Gubernur Kalimantan Tengah tertanggal 19 Februari 2010 ditujukan kepada semua pengusaha sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan yang berinvestasi di Kalimantan Tengah;
- Surat Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 13 Juni 2009 ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Kalimantan Tengah perihal pengawasan terhadap perusahaan pertambangan dan perkebunan;
- Surat Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas tanggal 25 Juni 2010 perihal penangguhan perpanjangan perizinan usaha budidaya perkebunan (IUBP);
- Surat Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas tanggal 3 September 2012 ditujukan kepada PT. Fajarmas Indah Plantations perihal penegasan tidak berlakunya izin usaha perkebunan.
Sementara areal izin lokasi Penggugat yang telah lebih dulu ada sebelumnya yakni sejak tahun 2006, dimana Penggugat telah menguasai, mengusahai dan mempergunakan lahan tersebut sesuai dengan perizinan yang ada atas lahan seluas + 12.000 Ha. yang telah ditanami Kelapa Sawit seluas + 700 Ha.
Penerbitan berbagai keputusan yang mengamputasi usaha para pengusaha perkebunan, termasuk Penggugat, dinilai tidak demokratis karena diberlakukan secara sepihak tanpa terbuka ruang diskusi. Adapun yang menjadi pokok-pokok argumentasi Penggugat:
- Bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA dimana untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak harus dilakukan pendaftaran tanah yang meliputi pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan pemberian sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat;
- Ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, telah mengatur bahwa izin lokasi tanah diberikan berdasarkan pertimbangan hak dan penguasaan tanah serta dilakukan rapat koordinasi antar instansi terkait yang disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah di lokasi Pemohon;
- Penggugat selaku pihak yang berkepentingan sebagai pemegang izin lokasi, dimana Penggugat membantah bahwa areal Izin Lokasi milik Penggugat berada dalam kawasan hutan, karena areal izin lokasi tersebut telah ditanami tanaman kelapa sawit, disamping tanah tersebut bukan merupakan kawasan hutan karena sudah ada hak atas tanah diatasnya berupa sertifikat HGU sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan secara tegas: “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”—sehingga secara a contratio, atas tanah yang terbit hak atas tanah berupa SHBU, maka objek tanah hak bukanlah kawasan hutan;
- Pengertian mengenai kawasan hutan, sebagai kepastian hukum atas kawasan hutan (in casu Pasal 14 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) telah diberikan tafsiran oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, khususnya dalam pertimbangan hukumnya halaman 158 menyatakan:
“... , tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak hanya dilakukan melalui penunjukan;
“… , Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang a quo (in casu Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan, Pasal 15 ayat (1) undang-undang a quo menentukan, ‘pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan;
b. penataan batas kawasan hutan;
c. pemetaan kawasan hutan;
d. penetapan kawasan hutan, … .”
Tergugat melalui objek sengketa dinilai telah menciptakan tidak ada kepastian hukum bagi Penggugat selaku investor yang mengeluarkan dana cukup besar dalam menguasai, mengusahai dan mempergunakan lahan seluas + 12.000 Ha, sehingga seluruh investasi tersebut menjadi mubazir akibat ketidakpastian hukum untuk membuka usaha di Indonesia.
Terhadap gugatan Pengusaha, yang kemudian menjadi amar Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya Nomor 15/G/2014/PTUN.PLK., tanggal 17 Desember 2014, sebagai berikut:
MENGADILI:
“Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard).”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 53/B/2015/PT.TUN.JKT, tanggal 13 April 2015, sebagai berikut:
MENGADILI:
- Menerima permohonan banding dari Penggugat/Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangka Raya Nomor 15/G/2014/PTUN.PLK tanggal 17 Desember 2014 yang dimohonkan banding tersebut.”
Dalam tingkat kasasi, amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 373 K/TUN/2015, tanggal 03 September 2015, adalah sebagai berikut:
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. FAJAR MAS INDAH PLANTATIONS tersebut.”
Pengusaha mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Menimbang, bahwa alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa surat bukti baru (novum) PK-1 sampai dengan PK-47 tidak bersifat menentukan sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, karena pertimbangan Judex Juris dan Judex Facti yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena Penggugat tidak mempunyai kepentingan yang dirugikan atas keputusan tata usaha negara objek sengketa, dengan pertimbangan karena izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT Fajar Mas Indah Plantations (Penggugat) sudah berakhir tanggal 10 Oktober 2010, sedangkan surat-surat bukti baru tersebut tidak ada bukti tentang perpanjangan izin; [Note SHIETRA & PARTNERS: Isu utama dalam sengketa ini, ialah Pemda menolak memperpanjang izin pihak pengusaha.]
- Bahwa dalam putusan Judex Juris juga tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Bahwa oleh karena perpanjangan izin lokasi perkebunan atas nama PT. Fajar Mas Indah Plantations (Penggugat) Nomor: 343/BPN/2009, tanggal 10 Oktober 2009 (bukti P-13=T-9) berakhir pada tanggal 10 Oktober 2010, maka Penggugat sudah tidak mempunyai kepentingan yang dirugikan, sehingga tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan, dengan demikian putusan Judex Juris dan Judex Facti yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima sudah tepat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT. Fajar Mas Indah Plantations tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT. FAJAR MAS INDAH PLANTATIONS tersebut.”
...
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.