Sengketa Konsumen Vs. Sengketa Kontraktual, Terkait BPSK

ARTIKEL HUKUM
Bukankah nasabah debitor pada berbagai lembaga keuangan perbankan maupun non perbankan, bukankah adalah konsumen?  Dalam praktik pada lembaga peradilan, Mahkamah Agung RI telah membuat berbagai yurisprudensi, yang pada pokoknya konsisten terhadap preseden bahwasannya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak berwenang mengadili sengketa pembiayaan ataupun kredit, dengan paradigma bahwa nasabah debitor bukanlah konsumen.
Kita tidak dapat berasumsi bahwa hukum telah lengkap dan telah sempurna. Ilmu ilmiah memiliki karakter tentatif, yakni perlu telaah ulang, redefinisi, re-evaluasi, dan penyempurnaan. Sesuatu yang dahulu dinilai sebagai “obat”, sewaktu-waktu dapat diproklamir sebagai “racun”. Dahulu dibolehkan, kini dilarang. Dunia praktik medis dan kimia dapat bergerak seperti bandul pendulum yang bergerak 180 derajat. Tidak terkecuali, ilmu hukum.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan membuat re-evaluasi terhadap paradigma praktik peradilan. Secara hakekatnya, yang disebut “hubungan kontraktual (murni)” ialah hubungan saling bersepakat, untuk saling mengikatkan diri, atas syarat dan ketentuan perikatan yang saling disepakati secara bersama-sama antar para pihak yang mengikat diri dalam kontrak / perjanjian.
Sementara, yang disebut dengan “konsumen”, ialah perikatan yang bersifat quasi kontraktual—alias bukan hubungan kontraktual murni, namun penundukan diri. Contoh, seseorang mengunjungi minimarket, dan hanya dapat memilih untuk take it or leave it. Tiada tawar-menawar syarat jual-beli, tiada tawar-menawar siapa yang mengantar barang, mengenai garansi, mengenai harga, mengenai cara pembayaran, dsb. Semua sudah ditentukan sepihak oleh penyelenggara minimarket.
Melihat pada kedua disparitas antara “Perikatan Kontraktual” dan “Konsumen”, kita sudah dapat menarik inferensi sederhana, bahwa sifat hubungan kontraktual lebih setara kedudukan antara satu pihak dengan pihak lain yang saling mengikatkan diri. Syarat dan ketentuan disusun berdasarkan aspirasi bersama, kesepakatan bersama, negosiasi bersama, proporsional hak dan kewajiban yang setara satu sama lain. Adanya keseimbangan daya tawar dan kedudukan, itulah kata kuncinya.
Sementara karakter “konsumen”, adalah sebaliknya, selalu terdapat fakta sosial adanya ketimpangan derajat kedudukan salah satu pihak dalam suatu hubungan transaksi jual-beli, sebagai contoh, tidak pernah terdapat negosiasi syarat dan ketentuan hubungan—bahkan tidak satu pasal pun, namun sepenuhnya kontrak baku—sehingga oleh karena itulah, negara tampil lewat regulasi Hukum Perlindungan Konsumen yang berlaku secara umum (erga omnes).
Sampai pada pembahasan paling hakiki diatas, kita sudah dapat melihat adanya pola berpikir yang perlu dibenahi dalam revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimasa mendatang yang belum menegaskan ciri utama karakter “Konsumen” ialah terdapatnya unsur utama berupa ketimpangan derajat kedudukan para pihak yang saling melakukan perbuatan hukum.
Konsumen, pada dasarnya tidak dapat menentukan suatu substansi perikatan, namun hanya dapat tunduk dengan karakter paling utama berupa adagium niaga: “Take it, or leave it.” Sementara dalam Perikatan Kontraktual murni, yang ada ialah “hukum simbiosis mutualisme”, dimana kerja sama untuk suatu hubungan bertimbal-balik yang saling setara dan proporsional—bukan “take it or leave it”, namun “going together simultaneously”.
Dalam praktik hubungan antara nasabah debitor dan kalangan perbankan, tidak pernah terdapat negosiasi (dalam arti yang sesungguhnya), namun yang ada ialah “penundukkan” terhadap syarat dan ketentuan sepihak kalangan perbankan, berbagai form dan perikatan baku, rate bunga yang baku, besaran denda yang baku, dan semua berjalan secara mekanistis. Tiada daya tawar, tiada konsensus (dalam arti murni), tiada ‘jabat-tangan’—yang terjadi ialah konstruksi hukum bernama “Penundukkan Diri” yang dilandasi asas “take it or leave it”.
Sementara itu yang menjadi ilustrasi Perikatan Kontraktual yang murni, sebagaimana dapat kita lihat pada kontrak semacam joint venture agreement, dimana syarat dan ketentuan dalam perikatan ditentukan sepenuhnya oleh para pihak yang saling bekerja sama, besaran bagi hasil, tata cara melibatkan diri, pemilihan forum penyelesaian sengketa, jenis-jenis kebolehan, larangan, dan perintah, seluruhnya dirundingkan, didiskusikan, dan disepakati bersama dalam sebentuk “Jabat-Tangan”—karena memang posisi derajat para pihak adalah saling setara yang bukan dilandasi hubungan “take it or leave it”.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Sementara yang menjadi tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana berpayung hukum pendiriannya oleh UU Perlindungan Konsumen, meliputi pengawasan dan penyelesaian sengketa Konsumen dengan cara melalui Mediasi atau Arbitrase atau Konsiliasi, namun yang menjadi kendala ialah bagaimana selama ini praktik peradilan memberi makna pada definisi “Sengketa Konsumen”? Siapa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai “Konsumen”?
Terlepas dari falsafah demikian, hingga saat ini belum terdapat de-regulasi yang mencoba melakukan re-definisi, sebagaimana tercermin lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perselisihan konsumen register Nomor 1088 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 tanggal 16 Januari 2017, perkara antara:
- AHMAD RIFAI HARAHAP, sebagai Pemohon Kasasi semula Termohon Keberatan; melawan
- PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO), TBK. KANTOR CABANG PADANG SIDIMPUAN, selaku Termohon Kasasi semula Pemohon Keberatan.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam putusannya Nomor 583/Arbitrase/BPSK/BB/XII/2015, tanggal 13 Mei 2016 telah menjatuhkan vonis sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Konsumen seluruhnya;
2. Menyatakan ada kerugian di pihak Konsumen;
4. Menyatakan Pelaku Usaha yang tidak memberikan dokumen salinan/fotocopy Perjanjian yang mengikat diri antara Konsumen dengan Pelaku Usaha seperti: Perjanjian Kredit, Polis Asuransi dan Akta Pemberian Hak Tanggungan maupun lainnya adalah merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
5. Menyatakan Perjanjian Kredit sebagaimana yang telah dibuat dan ditandatangani bersama antara Konsumen dengan Pelaku Usaha adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
6. Menyatakan Pelaku Usaha yang akan dan/atau telah melakukan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di muka umum atas agunan yang menjadi jaminan pembayaran kembali atas fasilitas pinjaman kredit yang telah diberikan oleh Pelaku Usaha kepada Konsumen dengan melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Padangsidimpuan, yaitu berupa: ... Adalah perbuatan melawan hukum.”
Terhadap keberatan pihak Perbankan, Pengadilan Negeri Padangsidimpuan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 27/Pdt.Sus/2016/PN.Psp., tanggal 30 Juni 2016 dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Keberatan untuk seluruhnya;
2. Membatalkan Putusan Majelis BPSK Kabupaten Batu Bara Nomor 583/Arbitrase/BPSK-BB/XII/2015 tanggal 13 Mei 2016.”
Pihak debitor mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“putusan Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena benar sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juncto Pasal 1 angka (2) dan angka (8) Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/KEP/12/2001, tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dimana kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah memeriksa dan memutus sengketa konsumen.
“Bahwa sesuai fakta persidangan Termohon Keberatan adalah Debitur yang telah menerima fasilitas kredit dari Pemohon Keberatan, dan tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit antara Pemohon Keberatan dengan Termohon Keberatan, sehingga Termohon Keberatan bukan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka (2), dan sengketa a quo adalah sengketa ingkar janji bukan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka (8). Bahwa karena itu sudah benar sebagaimana dipertimbangkan oleh Judex Facti bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kabupaten Batu Bara tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara a quo;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi AHMAD RIFAI HARAHAP tersebut.”
Senada dengan itu, dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 1050 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 tanggal 16 Januari 2017, perkara antara HERINA YULIS Vs. PT. BANK MESTIKA DHARMA, TBK., Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membuat pertimbangan hukum serupa, yakni:
“Putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri Kisaran (yang membatalkan putusan BPSK) tidak salah dalam menerapkan hukum, karena benar pokok perkara a quo adalah mengenai pelaksanaan perjanjian kredit antara suami Termohon dengan persetujuan Termohon sebagai istri dengan Pemohon Keberatan, dimana terbukti bahwa Termohon tidak memenuhi kewajibannya yaitu membayar angsuran bulanan sebagaimana disepakati sehingga pokok perkara a quo adalah sengketa ingkar janji bukan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) dan angka (8) SK Menperindag Nomor 350/MPP/KEP/12/2001, tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, karena itu sudah benar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kabupaten Batu Bara tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara a quo.”
Satu hal yang dapat SHIETRA & PARTNERS berikan apresiasi dari praktik Mahkamah Agung RI terkait karakter perkara sejenis diatas, ialah konsistensi putusan satu dengan putusan para Hakim Agung selanjutnya, sehingga taat asas preseden serta menciptakan hanya satu buah yurisprudensi tunggal, yang menawarkan kepastian hukum bagi para pihak untuk seketika menempuh jalur litigasi di Pengadilan Negeri / peradilan umum alih-alih menempuh penyelesaian di BPSK—yang (dapat dipastikan) hanya akan berujung dibatalkannya oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.
Daya prediktabilitas yang ditawarkan oleh Mahkamah Agung patut diapresiasi, sehingga para pencari keadilan tidak lagi perlu melakukan “coba-coba” ataupun upaya “try and faillure” yang tidak efesien juga tidak efektif, sehingga dengan tingkat paling minimum dari daya prediktabilitas yang ditawarkan oleh pendirian Mahkamah Agung lewat presedennya yang mengikat tersebut, para pencari keadilan terkait sengketa nasabah debitor terhadap perbankan, tidak lagi perlu membuat harapan semu, waktu, serta energi untuk bersengketa di hadapan BPSK—namun menempuh penyelesaian di Pengadilan Umum.
Yang baru dapat disebut sebagai “bencana hukum” ialah, bila antar putusan Mahkamah Agung saling tidak konsisten yang menciptakan dua yurisprudensi yang saling bertolak-belakang satu sama lain, sehingga para pencari keadilan tidak mampu memprediksi, namun hanya mampu memasrahkan nasib pada upaya “meraba-raba” dan “mencoba-coba” akan “selera” hakim pemutus.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.