Resiko Jual-Beli Tanah Badan Hukum Perseroan

LEGAL OPINION
Question: Bukankah sama saja, prosedur dan aspek hukum jual-beli tanah milik sebuah perusahaan dengan jual-beli dari pemilik perorangan?
Brief Answer: Ada bedanya, dan dalam praktiknya jual-beli hak atas tanah yang dipunyai suatu badan hukum (rechts persoon), semisal Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang tercatat atas nama Perseroan Terbatas, memiliki tingkat potensi resiko yang lebih tinggi ketimbang jual-beli terhadap hak atas tanah milik pribadi individu (natuurlijk persoon).
Mengapa menjadi lebih berisiko tinggi suatu hak atas tanah yang tercatat atas nama badan hukum, tidak lain ialah karena nama pihak pemilik yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah bukankah nama dari sosok yang mengklaim / mengaku sebagai pengurus sah dari badan hukum yang berwenang menjual aset perseroan, namun atas nama badan hukum yang untuk itu perlu diteliti terlebih dahulu oleh calon pembeli / peminat, siapakah nama pengurus yang saat itu benar-benar berwenang tampil mewakili perseroan untuk melakukan perbuatan hukum jual-beli yang mengikat perseroan.
Sebenarnya, “musuh” terbesar praktik jual-beli hak atas tanah, ialah PPJB (pengikatan perjanjian jual-beli) yang melekat didalamnya Surat Kuasa untuk mengajukan peralihan hak atas tanah. Dalam praktik, SHIETRA & PARTNERS secara masif menjumpai penyalahgunaan instrumen hukum notariel bernama PPJB, dengan modus sebagai berikut: jual-beli diikat dengan PPJB, meski dinyatakan telah lunas, namun pembeli belum juga mengajukan ‘balik-nama’ hak atas tanah—yang bisa jadi pihak pembeli adalah “fiktif” belaka alias afiliasi / suruhan dari pihak pemilik tanah.
Belasan atau bahkan puluhan tahun kemudian berlalu, dimana PPJB tetap dibiarkan sebagai PPJB tanpa ditingkatkan sebagai AJB meski ‘pembeli’ memiliki Surat Kuasa untuk menyempurnakan peralihan hak. Ketika hak atas tanah akan disita-jaminan oleh pihak ketiga, maka pihak yang mengklaim memiliki hak berdasarkan PPJB seketika tampil dan mengajukan perlawanan terhadap sita jaminan. Alhasil, sita jaminan ‘dimentahkan’ lewat modus PPJB.
Atau, modus jenis kedua yang juga kerap terjadi, hak atas tanah dijual untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama, dan ketika pihak ketiga selaku pembeli yang beritikad baik hendak / telah mengajukan balik-nama hak atas tanah, secara tiba-tiba pihak yang memegang PPJB tampil dengan mengatasnamakan dirinya yang paling berhak atas tanah karena telah lebih dahulu memiliki PPJB. Oleh karenanya, negara perlu mengatur, bahwa Surat Kuasa Mutlak dalam PPJB, perlu diatur batas maksimum jangka waktu keberlakuannya, guna menghindari penyelundupan hukum maupun penyalahgunaan demikian.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk terkait resiko jual-beli asset suatu badan hukum perseroan, dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 853 K/Pdt/2013 tanggal 2 Juli 2013, perkara antara:
- Ny. Dra. TITIEK RACHMAWATI, AK, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat II; melawan
- PT. MAHAPURA JAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
1. Drs. SOEDORO PROJOKOESOEMO, selaku mantan Direktur Utama PT. MAHAPURA JAYA; 2. NGATENI B. REBINI; 3. SENITI B. SENIPAH, sebagai Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat I, Turut Tergugat I, II.
Bermula pada tanggal 21 Maret 1989 lewat Akte Nomor 536 tentang Perjanjian dan Pemindahan Hak, Penggugat bersama almarhum Muhamad Yusron dan Drs. Angkawidjaja Noorli telah membeli dan menerima pemindahan segala hak dan kekayaan serta badan hukum PT. Mahapura Jaya (akuisisi saham dan aset), meliputi:
1. Perumahan Real Estate perumahan Sederhana dengan memakai nama ‘DARMO KENCANA INDAH’;
2. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) Perusahaan Dagang Menengah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Perdagangan Surabaya;
3. Tanah-tanah yang masih dimiliki oleh perseroan terbatas tersebut diatas, berukuran seluas ± 34.538 M2, yang saat ini sedang dimohonkan sertipikatnya kepada pihak yang berwenang berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Kantor Agraria Kotamadya Surabaya;
4 Surat-surat ijin, fasilitas-fasilitas lainnya dan segala hak-hak yang ada maupun dikemudian hari masih akan diperoleh atas nama PT. Mahapura Jaya.
Berdasarkan bukti Akta Perjanjian dan Pemindahan Hak, pihak Penggugat telah membayar lunas harga yang telah disepakati kepada Tergugat I dan akta itu juga sebagai tanda penerimaannya yang sah berdasarkan Berita Acara secara notariel, serta telah pula diputuskan dan ditetapkan oleh rapat umum para pemegang saham PT. Mahapura Jaya yang menunjuk Penggugat adalah sebagai Direktur, sementara jabatan Direktur Utama ditiadakan.
Sebagai Direktur, Penggugat menjadi penanggung jawab PT. Mahapura Jaya berusaha untuk mencari dan menyelamatkan seluruh asset PT. Mahapura Jaya dan segala hak-hak yang ada maupun dikemudian hari masih akan diperoleh atas nama PT. Mahapura Jaya.
Sehubungan dalam rangka inventarisasi aset perseroan, Penggugat menemukan 3 bukti, Tergugat I dengan Tergugat II pada tanggal 10 Desember 1993 membuat Akte No. 44 tentang Jual-Beli Bangunan dan Peralihan Hak Atas Tanahnya, dan Akta No. 45 Pernyataan Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi dan pada tanggal 15 Desember 1993, Akte No. 63 tentang Pernyataan Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi, dimana Tergugat I mengaku sebagai Direktur Utama PT. Mahapura Jaya karenanya untuk dan atas nama badan hukum PT. Mahapura Jaya, dan atas nama Turut Tergugat I untuk Akte No. 44.
Sedangkan untuk Akte No. 45 dan 63, Tergugat I juga mengatasnamakan Turut Tergugat II, perbuatan Tergugat I dengan tiga akte tersebut diatas tergolong sebagai perbuatan melawan hukum, karena setelah terjadinya Akte Perjanjian dan Pemindahan Hak No. 536 pada tanggal 21 Maret 1989 Tergugat I bukan lagi sebagai Pemegang Saham dan Direktur Utama PT. Mahapura Jaya, bahkan sudah tidak ada kaitannya lagi dengan perseroan terbatas PT. Mahapura Jaya. Oleh sebab itu jual-beli oleh Tergugat I kepada Tergugat II menjadi tidak memiliki alas hak yang sahih.
Mengenai Akte No. 45 tanggal 10-12-1993 tentang Pernyataan Pelepasan Hak dengan Ganti rugi, oleh Turut Tergugat I dengan Tergugat I hanya akal-akalan, itupun Tergugat I tidak berhak mengaku sebagai Direktur Utama PT. Mahapura Jaya, karena sejak tanggal 21 Maret 1989 Tergugat I sudah tidak lagi menjabat sebagai Direktur Utama PT. Mahapura Jaya.
Sementara mengenai tanah eks Turut Tergugat I seluas ± 3.380 M2, jauh sebelumnya sudah dilepaskan dengan uang ganti-rugi oleh PT. Mahapura Jaya, sebagaimana berita acara penyitaan pengadilan tertanggal 26 Oktober 1990 ketika diletakkan sita jaminan di atas tanah tersebut sudah menjadi milik PT. Mahapura Jaya, sebagaimana register perkara No. 565/Pdr.G/1990/PN.Sby, dimana lewat amar putusannya sita jaminan kemudian diangkat kembali, dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya No. 398/Pdt/1992/ PT.Sby, hingga putusan kasasi No. 825 K/Pdt/1994, dimana Penggugat sebagai yang dimenangkan.
Perbuatan Tergugat I dinilai telah merugikan Penggugat, dimana aset-aset perseroan tersebut seharusnya diserahkan oleh Tergugat I kepada Penggugat ketika terjadinya jual-beli pada tahun 1989, karena mengakuisisi saham diartikan pula sebagai akuisisi terahdap asset PT. Mahapura Jaya yang turut beralih kepemilikan kepada Penggugat.
Jual-beli tanah oleh Tergugat I kepada Tergugat II tidak sah, maka demi hukum harus dibatalkan, karena hak atas tanah tanah tersebut tercatat sebagai asset PT. Mahapura Jaya, maka Tergugat I dan II serta siapa saja yang mendapatkan hak dari Tergugat I dan II atas tanah tersebut, dihukum untuk menyerahkan kepada Penggugat dalam keadaan baik dan segera.
Atas perbuatan Tergugat I yang tidak segera menyerahkan aset perseroan yang telah diakuisisi kepada Penggugat, justru menjual kepada Tergugat II adalah perbuatan yang tidak patut sekaligus melawan hukum, demikian Penggugat menarik benang merah serta kesimpulan.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Surabaya kemudian menjatuhkan Putusan No. 653/Pdt.G/2008/PN.Sby tanggal 29 September 2009, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA :
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Tergugat I mengaku sebagai Direktur Perseroan Terbatas PT. Mahapura Jaya kemudian menjual aset PT. Mahapura Jaya berupa tanah eks milik Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II masing–masing seluas kurang lebih 3.300 M2 dan kurang lebih 3.380 M2 kepada Tergugat II adalah merupakan perbuatan melawan hukum;
- Menyatakan tiga akta yaitu No. 44 jual beli bangunan dan peralihan hak atas tanah dan No. 45 Pernyataan Pelepasan Hak dengan ganti rugi keduanya dibuat pada tanggal 10 Desember 1993 di hadapan ... , SH. Notaris di Surabaya serta akta No. 63 tanggal 15 Desember 1993 Pernyataan Pelepasan Hak dengan ganti rugi yang dibuat di hadapan ... Notaris di Surabaya, adalah batal demi hukum;
- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II dan siapa saja yang memperoleh hak atas tanah eks Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II dari Para Tergugat tersebut untuk menyerahkan tanah–tanah tersebut kepada Penggugat dalam keadaan baik / kosong dan segera;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I dan II, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya lewat putusan No. 450/PDT/2011/PT.SBY tanggal 1 November 2011. Tergugat II mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“mengenai alasan–alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum;
- Bahwa Judex Facti (Putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi) baik dalam pertimbangan maupun putusan telah benar dengan mengabulkan gugatan Penggugat karena sesuai bukti telah terjadi pengalihan hak kepada Penggugat dari pihak Tergugat, masih diperjual-belikannya objek yang sudah dialihkan tersebut oleh Tergugat adalah perbuatan melawan hukum karena ia bukan sebagai pihak yang berhak lagi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Ny. Dra. TITIEK RACHMAWATI, AK tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Ny. Dra. TITIEK RACHMAWATI, AK tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.