ARTIKEL HUKUM
Hubungan Industrial Tidak Sekadar Fisik, Namun Juga Perihal Rasa dan Perasaan Seorang Tenaga Kerja Manusia
Dalam sebuah sesi diskusi kunjungan penulis untuk melakukan prospek terhadap calon klien, terkait divisi HRD sebuah korporasi, sempat terlontar pernyataan oleh calon klien, bahwa zaman kini tidak lagi ada yang namanya ‘loyalitas’ pekerja, yang ada ialah ‘produktivitas’.
Penulis menyampaikan tanggapan, bahwa fenomena terlampau masifnya karyawan yang “meloncat-loncat keluar-masuk” perusahaan, tidak lepas dari faktor internal kebijakan manajemen perusahaan itu sendiri. Google, sekadar ilustrasi korporasi yang banyak menjadi rujukan, dikenal sebagai perusahaan dengan tingkat loyalitas karyawan yang sangat tinggi.
Mengapa? Karena top management di Google memandang setiap elemen dari karyawannya sebagai ‘asset berharga bagian dari perusahaan’, bukan sebagai ‘faktor produksi’ (alias dipandang sebagai orang luar, outsider). Dari perspektif ini saja, kita sudah dapat melihat, adanya dua sudut pandang dalam menyikapi suatu hubungan industrial yang saling kontras.
Tenaga kerja adalah himpunan para manusia, bukan serangkaian mesin produksi. Sentuhan manusiawi menjadi salah satu elemen paling vital sekaligus mendasar dari relasi hubungan ketenagakerjaan yang harmonis. Ketika tempat kerja dipandang sebagai ‘rumah kedua’ sang karyawan, maka tiada lagi alasan bagi sang pekerja untuk berpindah tempat kerja. Di sini, kita masuk dalam ranah hubungan ‘emosionil-sentimentil’.
Anda terapkan kebijakan untuk mendenda Rp. 50.000;- terhadap karyawan yang terlambat masuk bekerja selama 1 jam, akan melahirkan benih antipati—alih-alih loyalitas ataupun simpatik. Jumlah jam kerja tidak terpaut selaras dengan tingkat produktivitas.
Sebaliknya, sebagai kick back effect, antipati karyawan akan berbuntut pada rendahnya tingkat produktivitas sang karyawan meski tidak pernah absen satu jam kerja sekalipun. Inikah yang dicari oleh seorang pemberi kerja? Eksploitasi tidak pernah sejalan dengan pemberdayaan potensi. Eksploitasi melahirkan ‘rasa dilecehkan’, sementara pemberdayaan artinya semangat untuk bergotong-royong dan membangun bersama secara kolektif.
Anda hanya mampu berfokus pada kelemahan karyawan, maka sama artinya Anda mengucapkan ‘selamat tinggal’ (goodbye, farewell, and bye-bye !!!) kepada sang pegawai yang bisa jadi memiliki potensi yang luar biasa untuk diberdayakan bila dikelola emosinya dan mampu diinspirasi agar diarahkan untuk hal yang positif dan produktif.
Membangun komitmen, bukan hanya sekadar formalitas menandatangani kontrak kerja. Perhatikan tiga opsi skenario berikut yang dapat terjadi pada saat calon pekerja saling mengikat diri dengan pemberi kerja:
- “Selamat pagi, apa kabar? Ini draf kontrak kerja kamu, silahkan tanda tangan dan mulai bekerja.”
- “Selamat pagi, apa kabar? Ini draf kontrak kerja kamu, silahkan dibaca, setelah itu tanda-tangani dan dikembalikan ke saya saya, setelah itu kamu bisa langsung mulai bekerja.”
- “Hai, senang bisa bergabung untuk berkarya bersama. Bagaimana perjalanan ke kantor hari ini? Ini draf kontrak kerja kamu, dan hari ini kita akan diskusikan bersama. Ada dua rangkap asli, untuk dipegang masing-masing satu buah setelah kita tanda-tangani. Kini kita mulai bahas Pasal 1, yang maksud perikatan ini ialah bla bla bla, dimana kamu memiliki tanggung jawab untuk ... dimana untuk itu kamu akan mendapat ... , dan untuk Pasal 2 ini maksudnya ialah untuk ... dimana ketika ... dan ... atau ... sebagaimana ... untuk tujuan ... dengan kata lain ... . Nah, apakah ada yang hendak ditanyakan?”
Menurut Anda, hubungan manakah yang akan menciptakan kesan yang bermakna bagi calon pekerja? Bukankah pepatah berkata, kesan pertama adalah impresi yang tertanam kuat dalam kepala. Kedekatan, itulah elemen kunci dalam hubungan relasi antar manusia, tak terkecuali hubungan industrial. Dimana dengan dibahasnya perikatan-perikatan dalam kontrak kerja, semua kesan akan terekam dan terkait erat dalam memori jangka panjang dan alam bawah sadar masing-masing. Sejak saat itulah, relasi erat mulai terjelma—atau sebaliknya, bergantung bagaimana Anda menanam.
Budaya atau etos, hanya dapat dibentuk lewat serangkaian konsistensi. Ketika pekerja merasa bahwa manajemen tidak dapat ‘dipegang ucapannya’, atau bahkan hanya tahu untuk mengeksploitasi tenaga kerja lewat serangkaian ucapan-ucapan manipulatif maupun janji-janji yang tidak kunjung direalisasi, sama artinya menciptakan aura ‘berjarak’ antara manajemen dengan para pekerjanya. Jika sudah demikian, rantai komando biasanya tidak efektif lagi, karena karyawan dapat memilih untuk ‘desertir’ karena merasa tertipu dan dilecehkan.
Bukan hal mudah menciptakan etos kerja dalam suatu lingkungan kerja yang ‘dikondisikan’. Lain ladang, lain belakang. Setiap perusahaan memiliki culture-nya masing-masing. Budaya atau etos inilah, sebentuk ‘keajaiban’ yang kerap dapat kita rasakan ketika berbaur dalam lingkup internal suatu korporasi—bahkan orang luar pun dapat turut mencium ‘aroma’-nya.
Adalah sangat berbahaya ketika seorang konsultan hendak membentuk culture pada ‘habitat’ perusahaan klien, tanpa mengetahui terlebih dahulu watak, karakter, visi, misi, serta cara memandang top manajemen terhadap fungsi dan peran para pekerjanya. Lebih berbahaya lagi bila pemimpin perusahaan tidak dapat menyatakan secara tegas budaya semacam apa yang ingin dibentuk.
Ketika karyawan memiliki rasa memiliki terhadap perusahaan, maka setiap karyawan akan merasa terpanggil untuk bahu-membahu menyelamatkan dan membawa perusahaan keluar dari krisis ekonomi—bahkan jika perlu rela untuk bersama-sama menerima pemotongan upah selama perusahaan mampu bertahan dan keluar dari krisis.
Rasa memiliki oleh karyawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja, hanya dapat dibentuk lewat dipupuk secara konsisten—melahirkan budaya hubungan industrial yang unik—dimana dibentuk lewat kedekatan antara perusahaan dengan para pekerjanya, rasa kebersatuan dan menjadi bagian dari perusahaan itu sendiri, sehingga antara jiwa tiap pekerja dengan perusahaan seolah ‘melebur’ menjadi satu. Dan itulah ‘arus’ loyalitas.
Dalam setiap kesempatan, penulis selalu menyampaikan, bahwa ketika kita berbicara dan bersentuhan dengan unsur tenaga kerja, maka kita tidak hanya berbicara mengenai fisik tenaga kerja (man power), namun juga perihal rasa dan perasaan, lengkap dengan segala alam bawah sadar, pembawaan respon, asumsi dasar dalam hidup masing-masing individu, karakter, kecenderungan akan tabiat (melankolis, phlegmatis, koleris, sanguinis—oleh karenanya pendekatan saling berbeda satu sama lain ketika berhubungan dengan masing-masing pekerja), idealisme dalam hidup, haluan pemikiran (bebas atau orthodoks konservatif), daya cerap (seorang inisiator atau seorang pengikut arahan), dan berbagai faktor multi-facet lain.
Inilah yang yang kemudian oleh penulis, disebut sebagai ‘rumusan komposisi ketenagakerjaan’ yang kompleks. Bagaikan berbicara mengenai komponen sebuah kendaraan bermotor, satu saja komponen terlepas dari tubuhnya, maka fungsi kendaraan tersebut mungkin akan terganggu secara sepenuhnya. Tiada kombinasi ‘resep’ yang lebih kompleks daripada relasi hubungan industrial.
Bukanlah hal yang mustahil untuk menjalin tali asa loyalitas dengan segenap para pegawai, selama manajemen bersedia untuk bersikap terbuka, mau mendengarkan, solutif, akomodatif, keinginan untuk memahami, serta menggunakan pendekatan humanis. Memahami dengan baik, bahwa tenaga kerja manusia bukanlah ‘robot mesin’ yang tidak mengenal rasa bosan, jenuh, letih, marah, kecewa, putus asa, cemburu, sakit hati, emosi, dan berbagai rasa suka dan duka, disamping segala espektasi, harapan, idealisme, keyakinan, dan daya sentuh.
Terkadang, dalam banyak kasus sebagaimana penulis jumpai, pihak manajemen itu sendiri yang ‘menutup pintu’ dari hati para pekerja—maka dari itu, loyalitas semacam apa yang dapat diharapkan untuk diberikan oleh para pekerjanya selain datang, bekerja, dan pulang.
Ketika pekerja bekerja dengan hati, yang ada bukanlah lagi perihal bekerja atau bertugas, namun berkarya dan membangun bersama. Bukan lagi berjalan sendiri-sendiri, namun saling merangkul dan berbagi suka-duka bersama. Bukan lagi sekadar hubungan formalitas penuh prosedural kaku yang penuh kepalsuan, namun keterbukaan dan keterusterangan. Jalinan komunikasi dari “hati ke hati”.
Pengusaha senantiasa menuntut prestasi dan peningkatan kinerja. Bahkan seekor hewan dalam pertunjukkan sirkus tidak akan bergerak seinci pun dari tempat duduknya, tanpa insentif yang ditawarkan. Ketika seorang pegawai menunjukkan prestasi, dan manajemen hanya menyatakan bahwa ia telah berbuat baik dan berprestasi, dan hanya sampai disitu saja apresiasi ditampilkan, maka janganlah berharap sang pegawai akan kembali menunjukkan prestasi atas hubungan yang ‘hambar’ demikian.
Ketika pengusaha hendak menuntut agar pegawai menghargai perusahaan, maka tampilkanlah wajar korporasi yang humanis dan dapat dihargai oleh para pegawai. Ketika para pekerja menjadi tidak ‘respect’ dan ‘ill feel’ terdadap perusahaan, maka perusahaan tersebut selamanya hanya akan tampil sebagai pemain yang ‘biasa-biasa saja’ dalam kancah pesaingan usaha yang kian ketat ini.
Seorang konsultan hukum yang tidak menguasai benar perihal psikoanalisis, berpotensi merusak kultur yang susah-payah hendak dibangun oleh pendiri perusahaan—lewat berbagai pembuatan prosedur, peraturan perusahaan, dan kontrak kerja yang demikian ‘berat sebelah’ bahkan ber-aura sadistik.
Seorang konsultan hukum yang baik bukanlah seorang ‘pengadu domba’, namun saling merangkulkan kepentingan dan harapan antar pihak dalam sebuah ikatan hubungan industrial yang setara dan saling membangun, saling menerima dan saling memberi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.