Sumber Daya Hukum Hendaknya Tidak Diboroskan

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini penulis mendapatkan permintaan untuk layanan konsultasi terkait perkara perdata, dimana sengketa tanah yang dihadapinya berujung pada kekalahan, sehingga mengajukan upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali—yang seakan sudah menjelma prosedur baku untuk ditempuh pihak yang dikalahkan (kasasi diatas kasasi).
Meski telah memakan rentetan proses yang meletihkan disamping menyita waktu, mulai dari tahap gugatan di Pengadilan Negeri, banding, hingga kasasi dan bergulir hingga memasuki tahap Peninjauan Kembali yang menguras emosi, ternyata kisah tidak hanya berhenti sampai disitu, namun berlanjut pada fakta hukum bahwasannya dirinya telah mengajukan Peninjauan Kembali sebanyak empat kali.
Seperti yang sudah dapat diprediksi, putusan Mahkamah Agung atas permohonan Peninjauan Kembali sebanyak 4 kali demikian berbuntut pada amar putusan “Permohonan Peninjauan Kembali tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Tetap merasa tidak puas, dirinya kemudian meminta sesi konsultasi dengan penulis untuk meminta pandangan hukum terkait kemungkinan potensi mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terkait pembatasan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata yang masih hendak dipersengketakan olehnya.
Bagi yang pernah mengingat perkara judicial review yang diajukan Antazari Azhar terhadap pembatasan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana yang menjeratnya, dimana atas PK kedua yang diajukan oleh beliau dinyatakan “tidak dapat diterima” (N-O) oleh Majelis Hakim Agung, lantaran dinilai telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sehingga bila masih terbuka PK kedua terhadap PK sebelumnya, maka tiada putusan yang dapat diasumsikan telah final dan menjadi penuh ketidakpastian untuk dieksekusi. Bahkan sipir penjara yang bukan merupakan seorang algojo, akan sungkan memasukkan seorang narapidana ke dalam sel mereka di Lembaga Pemasyarakatan.
Mahkamah Konstitusi RI secara “takabur” mengabulkan permohonan Antazari selaku Pemohon Uji Materiil, dan menyatakan PK dapat diajukan diatas PK, tanpa batas. Seakan mencoba membangkang dan melakukan rasionalisasi, Mahkamah Agung RI membuat surat edaran, yang pada pokoknya meminta para Hakim Agung untuk tetap berpegang teguh pada asas litis finiri opertetharus ada akhir dari suatu perkara, tidak boleh bergantung pada asumsi bahwa suatu putusan masih dapat dianulir oleh PK yang tidak berkesudahan.
Selama ini dalam konteks perkara perdata, masih dibuka peluang / dibolehkan suatu upaya PK untuk kedua kalinya, dengan syarat yang ketat, yakni hanya untuk mengurai masalah ketidakpastian hukum yang tercipta akibat terdapatnya dua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana kedua putusan PK dalam register nomor yang saling berbeda, menyangkut pokok perkara dan objek / subjek hukum yang sama, namun isi amar saling tumpang tindih / kontradiktif / bertolak belakang satu sama lain, yang mengakibatkan antar putusan PK saling menegasikan, maka barulah PK kedua dibolehkan dimana Mahkamah Agung akan menganulir salah satu putusan PK dan menguatkan salah satu putusan PK lainnya.
Seandainya pun kemudian diajukan permohonan uji materiil terhadap HIR (hukum acara perdata) terkait pembatasan / limitasi PK terhadap PK dalam konteks sengketa perdata, dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tercipta kaedah hukum bahwasannya upaya hukum luar biasa PK dalam perkara perdata dapat diajukan berulang kali tanpa limitasi, alias PK diatas PK, dan PK diatas PK ber-PK, serupa dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkait permohonan Antazari terhadap norma Hukum Acara Pidana, maka apakah itu akhir dari segalanya?
Bila Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan uji materiil terhadap konteks PK terhadap PK dalam sengketa perdata, dan menjatuhkan amar yang berbeda dengan putusan sebelumnya yang mengabulkan permohonan Antazari, maka itulah yang disebut judicial corruption.
Kini, kita asumsikan bahwa Hukum Acara Perdata telah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menjelma PK yang dibolehkan diajukan dalam bentuk rentetan PK terhadap PK yang bertubi-tubi dapat diajukan, terutama oleh pihak yang berekonomi kuat terhadap pihak yang dimenangkan namun lebih lemah secara sosial-politik-ekonomi, maka tiada lagi kepastian hukum untuk dapat dieksekusi oleh juru sita pengadilan.
“Biaya” sosial dan “biaya” morilnya sangat mahal bila suatu upaya hukum menjelma rantaian aksi PK yang tidak berkesudahan, dimana pihak yang kalah dalam putusan yang ada, dapat mengklaim: “Asas presumption of innocence, saya belum mengajukan PK ke-10, berarti saya tak dapat diasumsikan telah kalah, karena saya belum mengajukan PK untuk yang kesepuluh kalinya. Masih terbuka kemungkinan saya akan menang.”
Sebagai responsnya, seperti yang sudah dapat kita terka, Mahkamah Agung selaku lembaga pemutus kasus sengketa konkret, akan berkata: “Urusan Mahkamah Konstitusi adalah urusan Mahkamah Konstitusi. Urusan Mahkamah Agung adalah urusan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi hanya mengurusi dan memutus norma abstrak (diawang-awang), sementara Mahkamah Agung hanya meladeni norma konkret (lebih rasional serta “membumi”). PK hanya boleh diajukan satu kali, seperti kebolehan PK dalam kasus pidana yang hanya dimungkinkan satu kali oleh Peraturan Mahkamah Agung. Tidak ada pesta yang tidak bubar.”
Mengajukan PK lebih dari dua kali, sejatinya bersifat kontraproduktif, karena kita tidak dapat melupakan faktor psikologi para Hakim Agung, mengingat lembaga yang memutus kasasi dan PK, entah PK ke-1 ataupun PK ke-100, tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
Meminta agar para Hakim Agung pada Mahkamah Agung dalam permohonan PK ke-3 untuk mengabulkan permohonan, sama artinya meminta agar Hakim Agung menampar wajah (baca: putusan) para Hakim Agung lainnya yang telah memutus perkara dalam tingkat kasasi hingga PK ke-1 dan PK ke-2.
Dengan kata lain, bila kita melihat dari sudut pandang “kacamata” sosiologis, PK hanya efektif sebanyak satu kali—lebih dari itu adalah sebentuk inflasi hukum yang justru mengundang antipati dari kalangan Hakim Agung yang bernaung di lembaga Mahkamah Agung.
Faktor terakhir yang perlu kita ingat dan pertimbangkan, jumlah Hakim Agung dalam kamar perdata maupun kamar pidana sangatlah terbatas jumlah personelnya. Mengajukan PK lebih dari dua kali, sama artinya memaksakan agar Majelis Hakim Agung yang sama membatalkan dan menganulir putusan yang telah dibuatnya sendiri—dan ini merupakan harapan semu yang terlampau berani untuk diharapkan terealisasi.
Sengketa tanah adalah sengketa yang sensitif, sebab sangatlah sukar untuk melakukan upaya regres, dalam arti bila hak atas tanah telah beralih kepada pihak ketiga berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sementara pihak tersebut kemudian mengalihkannya kepada pihak keempat, dan seterusnya, namun secara mendadak terbit putusan PK untuk ke-3 kalinya, sebagai contoh, yang menganulir peralihan hak atas tanah, maka bagaimana dengan hak-hak pemegang hak atas tanah yang terakhir kalinya menerima peralihan hak atas tanah, semisal dengan mekanisme jual-beli yang sah dan dengan itikad baik telah membelinya?
Mengapa masyarakat begitu bersemangat dan termotivasi untuk mengajukan berbagai upaya hukum? Itulah pertanyaan terbesarnya. Penulis sependapat dengan pandangan beberapa tokoh hukum di Tanah Air, bahwasannya psikologi masyarakat terpicu untuk berspekulasi mengajukan upaya hukum, dengan harapan bandul bergulir dan memihak pada dirinya, karena sistem hukum di Indonesia tidak menawarkan sebentuk kepastian hukum.
Sistem hukum di Indonesia memandang bahwa preseden putusan hakim sebelumnya atas perkara dengan karakter serupa, tidaklah mengikat bagi hakim selanjutnya untuk memutus, sehingga yang terjadi kemudian ialah kesimpang-siuran antar putusan yang saling berdisparitas—alias tidak seragam amar putusannya meski memiliki pokok permasalahan yang konkuren.
Dalam ilmu matematik (ilmu pasti / eksakta), 1 + 1 selalu menghasilkan hasil = 2. Dalam sistem hukum di Indonesia, karena yurisprudensi tidak diakui daya mengikatnya, maka 1 + 1 boleh diputuskan sebagai menghasilkan angka = 4. Hakim independen dan bebas dalam memutus, tanpa intervensi, demikian semboyan kalangan hakim di Indonesia.
Karena tidak menawarkan sebentuk kepastian hukum apapun, maka adalah hampir mustahil bagi masyarakat pencari keadilan untuk memprediksi “ujung” dari perkara hukum yang mereka hadapi, dan masih mengharap bahwa 1 + 1 = 5. Jika pernah ada hakim dalam putusan sebelumnya yang memutus 1 + 1 = 6, kenapa tidak boleh mengharap agar dalam kesempatan PK kali ini hakim akan berkenan mengabulkan agar 1 + 1 = 5?
Bila saja sistem hukum di Indonesia menawarkan sebentuk derajat paling minimum kepastian hukum, yang mana dapat melahirkan sebentuk daya prediktabilitas dalam hukum, maka masyarakat tidak perlu lagi berspekulasi, dimana pihak yang salah, insaf / menyadari akan kalah bila memaksakan diri mengajukan banding ataupun kasasi (terlebih PK), maka perkara tidak akan berlarut dan berlanjut tidak berkesudahan.
Sistem hukum kita itu sendiri yang menawarkan harapan semu. Bahkan, setelah dinyatakan kalah dalam PK ke-4, masih mengharap peluang / potensi menang dalam PK ke-5. Dan, sebagai penutup, semua paparan diatas adalah realita yang benar-benar terjadi dalam praktik—bukan sekadar wacana atau retorika yang meletihkan dan membuang-buang sumber daya hukum yang terbatas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.