Overdosis Prosedural Hukum

ARTIKEL HUKUM
Bila memang hukum tidak dapat dipisahkan dari semangat prosedural, maka apakah artinya pemerintah bisa sebesasnya dan seenaknya membuat aturan atau prosedur yang tidak rasional? Sebenarnya apa yang menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk menetapkan rangkaian prosedur dan aturan dalam hukum yang hanya membuat repot tanpa manfaat apapun dibalik segala ‘tetek-bengek’ prosedur yang kaku demikian?
Pertanyaan tersebut ‘menggelitik’ penulis untuk mengulas dalam satu kesempatan khusus ini terkait prosedur hukum yang menjelma ‘overdosis’. Alih-alih berbicara secara teoretis, penulis akan mengangkat ilustrasi pengalaman pribadi penulis bersentuhan dengan pejabat pemerintahan dalam layanan publik, salah satunya ketika penulis berhadapan dengan aparatur kependudukan dan catatan sipil.
Gambaran sederhana berikut akan mencerminkan, bagaimana prosedur demikian kaku dan ‘memboroskan’ waktu, biaya, tenaga, serta tiada faedah relevan apapun selain prosedur yang disusun demi kepentingan prosedural itu sendiri. Hukum prosedural adalah salah satu sifat primitif dalam hukum yang sukar di-‘obati’ dari pola pikir kalangan birokrat.
Penulis mencoba membantu saudari kandung penulis dalam mengajukan permohonan “Surat Keterangan Belum Menikah”, mengingat saudari penulis hendak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Untuk itu, penulis telah mengajukan aplikasi permohonan ke hadapan Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang berkedudukan di kantor kelurahan, berupa asli surat pernyataan belum pernah nikah yang ditandatangani adik penulis diatas materai, fotokopi KTP, fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi Akta Kelahiran, dan berbagai formalitas lainnya.
Atas aplikasi yang penulis ajukan, selanjutnya Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kelurahan menerbitkan:
1.) Asli Surat Keterangan yang menyatakan bahwa saudari penulis dengan NIK, nama, alamat, pekerjaan, menerangkan bahwa benar yang bersangkutan merupakan warga kelurahan dimaksud, dan belum pernah menikah, disertai tanda tangan lurah dan cap instansi kelurahan;
2.) Asli Surat Keterangan Untuk Nikah, Asli Surat Keterangan Asal-Usul, Asli Surat Keterangan Tentang Orang Tua, yang dibubuhi tanda tangan lurah dan cap instansi, yang menerangkan bahwa saudari penulis adalah benar Warga Negara Indonesia yang menyatakan status saudari penulis adalah masih lajang dan belum pernah menikah, yang menerangkan bahwa saudari penulis adalah anak kandung dari dua warga negara yang menjadi orang tuanya.
Berbekal kedua dokumen diatas, penulis dirujuk Suku Dinas untuk menghadap Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Barat, dan setibanya di loket pelayanan, alangkah terkejutnya penulis menjumpai ‘arogansi prosedural’ ala birokrasi yang menyatakan aplikasi permohonan Surat Keterangan Belum Menikah tidak dapat diproses, karena kekurangan berkas persyaratan yang terdiri dari:
1.) Asli surat pernyataan belum pernah menikah diatas materai;
2.) Fotokopi KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran; dan
3.) Asli surat kuasa.
Penulis sempat protes, “lho saya ini kan, Abang kandung pemohon, koq musti pakai surat kuasa segala?” Lagipula ini bukan perihal permohonan peralihan hak kepemilikan, hanya sekadar meminta surat keterangan belum menikah, apakah bukan merupakan sebentuk kelucuan bila tetap diwajibkan surat kuasa? POLRI dalam pelayanan pembayaran pajak STNK, tidak diwajibkan surat kuasa sepanjang masih satu keluarga dan alamat dalam KTP sama domisilinya.
Apa daya, setiap pejabat negara merasa memiliki kekuasaan mutlak untuk membuat aturan hukum prosedurnya sendiri, meski sangat tidak rasional, dan tidak membawa faedah apapun. Penulis pulang dengan kekecewaan (boros waktu dan tenaga). Setibanya di kediaman, ternyata saudari penulis jauh lebih kritis, dengan menyampaikan pada penulis bahwa:
“Buat apa lagi surat pernyataan belum pernah nikah? Kan, itu sudah pernah dibuat dan dikasih ke Suku Dinas, dan Suku Dinas sudah terbitkan surat keterangan belum pernah nikah. Koq surat keterangan asli dari Suku Dinas tak diakui oleh Dukcapil? Buat apa lagi fotokopi KTP, KK, Akta Lahir, kan semua itu sudah diberikan ke Suku Dinas dan Suku Dinas telah terbitkan asli Surat Keterangan Surat Keterangan Untuk Nikah, Surat Keterangan Asas-Usul, Surat Keterangan Orang Tua. Pemborosan ini namanya. Memang untuk apa lagi diminta begituan?”
Sukar dipercaya, penulis yang merupakan sarjana hukum, tidak berdaya menghadapi kemauan ‘arogansi prosedural’ aparatur negara yang memegang monopoli kekuasaan dalam pelayanan publik. Lebih memprihatinkan, Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Dukcapil Jakarta Barat berjumlah ratusan orang, namun petugas loket hanya 3 (tiga) orang, dimana puluhan warga masyarakat yang mengantre menjadi sebentuk pemborosan waktu tunggu, mengingat para ASN yang semestinya diberdayakan di meja loket lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol dan duduk-duduk santai saling bercanda tanpa kerjaan atau sekadar bersembunyi di balik ruang rapat agar terlihat sibuk sendiri. Bahkan meja informasi hanya sekadar menjadi pajangan, tanpa pernah terdapat seorang pun petugas pelayanan di meja informasi.
Tidak terasa, sudah hampir satu abad Republik Indonesia merdeka, namun warga negaranya masih terjajah oleh ‘arogansi prosedural’ yang  irasional, dan tanpa daya setiap warga negara hanya dapat tunduk, atau dengan ancaman tiada pelayanan yang dapat diberikan produk hukum baik itu sekadar hal sepele semacam surat keterangan belum pernah menikah sekalipun bila tidak menurut pada tuntutan prosedural sang pejabat.
Penulis menyimpulkan, janganlah kita berbicara mengenai keadilan di negeri bernama Indonesia ini. Jangankan keadilan, ataupun asas manfaat utilitarianisme, para mindset para aparatur negara masih berkutat dan terus berputar-putar dalam cara dan pola berpikir dangkal yang sangat sempit bernama “arogansi prosedural”.
Selama kita belum mampu terbebas dari kungkungan ‘arogansi prosedural’ demikian, selamanya kita masih menjadi bangsa terjajah, terjajah oleh ‘arogansi prosedural’ anak bangsa sendiri: yakni ketika warga negara hanya dapat tunduk tanpa daya dan tanpa mampu berkutik menghadapi ‘kemauan’ prosedural yang tidak membawa faedah apapun selain demi prosedur itu sendiri yang irasional dan hanya memboroskan yang semestinya dapat dipangkas dan diefesienkan (ini bentuk belum beradabnya para pejabat Republik Indonesia).
Terdengar pula selentingan umpatan dari warga negara, bahwa Indonesia adalah negeri yang unik sekaligus irasional. Betapa tidak, sudah ada Karta Tanda Penduduk (KTP), namun tetap saja dalam setiap pelayanan publik masih dipersyaratkan Surat Keterangan Asal Usul, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan segala dokumen lain. Segala dokumen tersebut sejatinya merupakan dasar penerbitan KTP, dimana keberadaan KTP dengan demikian dapat diasumsikan sebagai keberadaan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, kebenaran warga / penduduk suatu kelurahan, dsb.
Namun, mengapa KTP yang diterbitkan oleh instansi negara bernama kelurahan itu sendiri ternyata tidak diakui oleh berbagai instansi pemerintahan lainnya? Jangankan KTP, surat keterangan dari Suku Dinas pun tidak diakui oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, sehingga masih merasa perlu untuk meminta berbagai dokumen yang sebenarnya reduplikasi rangkaian prosedur yang sudah dilalui warga negara pada Suku Dinas. Pengulangan demi pengulangan yang sangat memboroskan waktu dan tenaga.
Artinya pula, sudah hampir satu abad lamanya, jutaan warga negara Indonesia direpotkan oleh segala prosedur yang tanpa faedah, hanya menjadi pemborosan waktu, tenaga, dan biaya. Betapa ironisnya melihat praktik demikian.
Artinya pula, telah berapa ton kertas dan pengorbanan pohon yang ditebang untuk mencetak kertas dokumen dan ribuan jam pemborosan waktu perjalanan pulang-pergi, serta miliaran Rupiah pemborosan biaya materai demi menghadapi dan meladeni ‘arogansi prosedural’ demikian.
Sikap demikian hanya  mencerminkan, betapa primitifnya pola berpikir para pejabat di negeri yang mengaku sudah merdeka ini, namun masih terjajah dalam segi ‘kebodohan’ yang menjelma ‘arogansi prosedural’ yang tidak berfaedah selain sekadar ‘kegenitan wewenang’. Dalam falsafah hukum, SOP yang tidak rasional adalah sebentuk kejahatan. Namun siapa perduli, toh para petinggi dan pejabat di Republik Indonesia memang masih jauh dari kata ‘beradab’.
Siapa suruh, terlahir dan menjadi Warga Negara Indonesia. Kebetulan, saudari penulis akan menikah dengan warga negara asing, dan menetap permanen di luar negeri, sehingga untuk itu penulis mendukung sepenuhnya agar beliau melepas kewarga-negeraan Indonesia-nya, agar saudari penulis selamanya tidak lagi berdomisili di negeri yang tidak beradab ini—negeri yang tidak layak untuk dibangun lewat dedikasi ataupun kepedulian, karena para petingginya sendiri tidak pernah perduli ataupun menaruh minat terhadap segala kesulitan hidup para warga masyarakatnya sendiri, dimana justru menambah beban prosedural yang memboroskan energi.
Kita tidak pada tempatnya berbicara mengenai nasionalisme ketika sebuah negeri tidak pernah menaruh minat terhadap warga negaranya sendiri. Tidak heran, banyak individu potensial dalam segi inovasi dan kecerdasan intelektual, memilih untuk mengabdi bagi kepentingan bangsa lain, tidak lain karena betapa primitifnya wajah yang ditampilkan oleh otoritas negeri Republik Indonesia. Penulis menjulukinya, sebagai bangsa yang "terbelakang", dimana untuk membuat prosedur saja tidak "karuan".
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.