Niat Baik Pekerja Berbuntut Masalah Hukum

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya jika mau nolong teman (Pekerja lain) yang sedang berhalangan masuk kerja, dengan gantikan tugas dan tanggung jawabnya, apa ada resiko?
Brief Answer: Lebih baik tidak ikut campur peran dan fungsi Pekerja lain dalam suatu struktur perusahaan, kecuali Pekerja lain yang berhalangan hadir masih satu lingkup sub-divisi, atau bila terdapat perintah / izin dari atasan.
Sekalipun dilandasi niat baik, namun dalam hukum, itikad baik tidak selalu sejalan dengan perlindungan hukum ketika itikad baik tidak diikuti sikap “cerdas”. Hukum tidak memberi perlindungan hukum bagi yang tidak beritikad buruk, atas suatu sikap yang naif tanpa pertimbangan yang matang dalam mengambil suatu perbuatan hukum.
PEMBAHASAN:
Jawaban atas pertanyaan tersebut, mungkin lebih banyak ditinjau dari aspek non yuridis. SHIETRA & PARTNERS menyadari, untuk memahami konteks yang relevan, ilustrasi kasus merupakan penjelasan terbaik, sebagaimana dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung sengketa hubungan industrial register Nomor 811 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 13 Oktober 2016, perkara antara:
- SUNANI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. PINANGMAS INTIRAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tahun 2004 yang dimulai dari PT. Inti Kamparindo Sejahtera (IKS), pada tahun 2010 dimutasikan secara lisan ke PT. Multi Agro Sentosa (MAS) dan pada bulan November 2015 kembali dimutasi secara lisan ke PT. Pinangmas Intiraya, dengan Jabatan terakhir sebagai staff memasukkan data adminitrasi.
Tiga hari setelah dimutasi ke PT. Pinangmas Intiraya, dan pada tanggal 3 Desember 2015 merupakan hari untuk melakukan pembayaran upah buruh di kebun yang berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Pada hari tersebut Staf Kebun telah datang ke Kantor Tergugat untuk menjemput upah buruh di kebun tersebut, namun pada hari itu staf yang biasa bertugas melakukan pembayaran gaji sedang sakit sehingga tidak masuk untuk bekerja.
Atas permintaan staf yang sakit melalui telepon kepada Penggugat, maka Penggugat mengambil uang dari kasir untuk diberikan kepada staf kebun. Ketika Penggugat menerima uang dari kasir, uang telah terbungkus rapi karena Penggugat hanya menggantikan staf yang biasa membayarkan gaji maka Penggugat menganggap hal tersebut merupakan kebiasaan dari kasir yang menyerahkan gaji sehingga Penggugat tidak perlu menghitung uang tersebut.
Setelah Penggugat mengambil uang dari kasir selanjutnya Penggugat turun dari lantai 2 berbarengan dengan Juni seorang kasir yang saat itu hendak keluar kantor. Penggugat menemui staf kebun yang telah menunggu, selanjutnya Penggugat menyerahkan uang kepada staf kebun.
Staf kebun tersebut menghitung uang di hadapan Penggugat, ternyata jumlah uang kurang sejumlah Rp1.000.000,00 dan Penggugat menghitung ulang uang tersebut ternyata memang terdapat kekurangan sejumlah Rp1.000.000.
Terjadi ajang lempar tanggung jawab antara kasir hingga Kabag Pembukuan, hingga Kepala Kasir. Selanjutnya penanggung jawab atas uang upah telah melaporkan permasalahan kekurangan uang, berbuntut pada tuduhan bahwa Penggugatlah yang salah karena tidak menghitung uang di depan kasir.
Selanjutnya pimpinan perusahaan memerintahkan kasir menyiapkan kwitansi dan menulis uang sejumlah Rp1.000.000,00 sebagai “merupakan pinjaman Penggugat”, dan meminta Penggugat untuk menandatanganinya, namun Penggugat menolak karena kekurangan uang tersebut bukanlah kesalahan Penggugat.
Penggugat hanya menggantikan staf yang sedang sakit serta uang yang diterima telah terbungkus rapi juga tidak ada perintah atau permintaan dari kasir agar uang dihitung ulang di hadapannya, sebagaimana lazimnya pengambilan uang dari hadapan Teller Bank.
Sebagai respon, Penggugat diminta untuk tidak lagi bekerja. Penggugat mencoba menghadap pemimpin perusahaan untuk mejelaskan permasalahan. Alih-alih diberikan respon atau solusi, Penggugat justru diberikan Surat Peringatan I & II. Selain itu, Tergugat juga menarik perangkat kerja dari meja Penggugat serta tidak lagi memberikan pekerjaan kepada Penggugat.
Alhasil, sehingga selanjutnya setiap hari Penggugat boleh masuk kerja namun hanya duduk menghadap meja kosong dan tidak bisa ke mana-mana—suatu momen “perang dingin” yang mengerikan (tekanan batin).
Pada saat penerimaan gaji akhir bulan Desember 2015, Tergugat ternyata memotong upah Penggugat sejumlah Rp1.000.000,00 dengan alasan pengganti uang yang hilang dari gaji akhir bulan buruh kebun dan pemotongan ini tanpa persetujuan dari Penggugat.
Akibat intimidasi yang dilakukan oleh Tergugat mengakibatkan Penggugat tidak nyaman lagi untuk bekerja, maka pada tanggal 1 Februari 2016 Penggugat membuat surat kepada Tergugat untuk berunding secara Bipartit perihal permasalahan antara Penggugat dan Tergugat.
Sebagai tanggapannya, Tergugat justru memberikan Surat Mutasi: “Terhitung sejak tanggal 4 Februari 2016 Penggugat dimutasi sebagai administrasi kebun ke Kebun Tergugat di Tandun Kabupaten Rokan Hulu”. Penggugat menolak mutasi tersebut dengan alasan:
a. Pihak yang menandatangani surat mutasi tidak menyebutkan jabatannya secara jelas sehingga sulit meminta pertanggung jawaban atas surat tersebut;
b. Alasan mutasi disebutkan untuk “Kebutuhan dan Penyegaran” tidak masuk akal karena tuduhan yang dialamatkan kepada Penggugat belum diselesaikan.
Tergugat tidak menanggapi ataupun merespon permohonan bipartit dari Penggugat, justru menerbitkan surat mutasi kepada Penggugat, maka Penggugat mencatatkan perselisihan hubungan industrial ini ke Disnaker Kota Pekanbaru.
Meski proses perselisihan ke Disnaker masih sedang berjalan, namun Tergugat tetap memaksakan kehendaknya dengan membuat surat jalan ke kebun kepada Penggugat dan surat jalan tersebut hanya diparaf tanpa menyebut nama dari yang membubuhkan paraf.
Tanggal 6 Februari 2016, Penggugat menerima surat panggilan kerja I (pertama) tanpa kop perusahaan, tanggal 9 Februari 2016 Panggilan kerja II (Kedua), tanggal 10 Februari 2016 Panggilan Kerja III (Ketiga).
Dalam proses mediasi, tanggal 11 Februari 2016 Tergugat mengeluarkan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Penggugat. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru kemudian menjatuhkan putusan Nomor 22/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr., tanggal 18 Mei 2016, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 11 Februari 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayarkan hak-hak Penggugat sebagai berikut :
1. Uang Pengembalian Upah Desember 2015 Rp1.000.000,00;
2. Uang Penggantian Perumahan dan Pengobatan Rp6.345.000,00;
3. Uang Pisah Rp2.000.000,00;
4. Upah Bulan Februari 2016 Rp5.300.000,00;
Jumlah Yang Harus Dibayar = Rp14.645.000,00 (empat belas juta enam ratus empat puluh lima ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mendalilkan, bahwa masalah bermula ketika perusahaan mempersalahkan Penggugat karena telah melakukan peran/tanggung jawab karyawan lain yang tidak masuk kerja karena sakit.
Penggugat yang melaksanakan tugas / tanggung jawab karyawan lain yang sakit, tidak dapat dipersalahkan. Sebab, Tergugat memiliki wewenang untuk melarang Penggugat melaksanakan tugas / tanggung jawab karyawan lain yang sedang sakit tersebut.
Justru yang jadi pertanyaan adalah: Mengapa Tergugat tidak melarang/menolak Penggugat mengambilalih tugas karyawan lain yang sedang jatuh sakit? Mengapa Tergugat tidak mempersalahkan karyawan lain, yakni yang menelepon langsung Penggugat untuk menggantikannya, serta mengapa kasir tidak dipersalahkan karena membiarkan Penggugat melaksanakan yang bukan tugas dan tanggung jawabanya?
Dimana terhadap segala alasan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 13 Juni 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 1 Juli 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak salah menerapkan hukum;
“Bahwa Pemohon Kasasi menolak dimutasi, lalu tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari berturut-turut, dan telah dilakukan pemanggilan 3 (tiga) kali secara patut dan wajar namun tetap tidak masuk kerja, sehingga Pemohon Kasasi dikualifikasi mengundurkan diri sesuai ketentuan Pasal 168 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 dan sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Pemohon Kasasi mendapatkan uang penggantian hak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SUNANI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SUNANI tersebut.”
Note SHIETRA & PARTNERS :
Tidak masuk bekerja pada tempat baru, adalah akibat dimutasi. Yang menjadi penyebab mutasi, ialah tuduhan menggelapkan uang perusahaan yang akan digunakan untuk membayar Upah para Buruh. Sehingga tuduhan penggelapan menjadi causa prima (penyebab utama) sang Pekerja tidak menyetujui kebijakan mutasi oleh Pengusaha.
Jika kita simak kembali butir ketiga dari amar putusan PHI, yakni menyatakan : “Menghukum Tergugat untuk membayarkan hak-hak Penggugat sebagai berikut: Uang Pengembalian Upah Desember 2015 Rp1.000.000,00.”—Menjadi menarik sekaligus sebagai pertanyaan paling mendasar, terbukti kesalahan bersumber dari pihak Pengusaha, menuduh tanpa dasar, sehingga terjadi pemotongan terhadap Upah Penggugat, sehingga Pengusaha dihukum PHI untuk mengembalikannya.
Sehingga, mutasi sejatinya menjadi tidak sah, dimana karena perintah mutasi menjadi tidak sah, maka alasan “mengundurkan diri karena mangkir” menjadi tidak lagi relevan.
Jika kita melihatnya sebagai suatu episode yang saling merangkai dan terjalin, maka kita akan menyadari, sejatinya mangkir tidak akan terjadi jika pihak Pengusaha tidak melakukan penuduhan tanpa dasar.
Putusan diatas dapat SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai corrupt, mengingat hakim hanya melihat fakta-fakta secara partial (sepotong-potong), bukan dalam serial rentetan fakta hukum yang terjalin sebagai satu-kesatuan kisah yang utuh—bukan terpenggal-penggal.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.