Diskresi dengan Itikad Baik yang Berujung Vonis Tipikor

LEGAL OPINION
Question: Sekalipun bila tujuannya baik, bukan untuk kepentingan sendiri, tapi untuk kepentingan publik, apakah penggunaan diskresi bisa dikriminalisasi? Sekalipun tujuan aparatur sipil negara yang menggunakan diskresi adalah dibenarkan secara moril karena adanya keadaan khusus dan darurat?
Brief Answer: Bila memandang dari sudut pandang asas utilitarianisme, selama membawa manfaat yang lebih besar bagi kepentingan publik / kepentingan umum, kemanfaatan tidak pernah merupakan kejahatan, apapun “aturan diatas kertas” yang mengaturnya.
Namun, ketika kita memandang dari sudut pandang legalistis formil, ruang gerak diskresi, sekalipun dimungkinkan secara yuridis, ketika melanggar aturan prosedural hukum, dapat menjadi bumerang bagi pejabat yang tergerak untuk menggunakan wewenang jabatannya dalam menetapkan bentuk diskresi—sekalipun dilandasi oleh itikad yang baik.
Mungkin ada benarnya, pernyataan para tokoh senior hukum, bahwasannya “keadilan (di mata) hukum” adalah berbeda dengan “keadilan (di mata) moril”. Sekalipun salah secara moril, namun bila aturan hukum membenarkan (baca: law as a tool of crime), semisal importasi hewan ternak dari negara-negara yang belum bebas penyakit hewan dan ternak, sekalipun melanggar moril karena dalam habitat negeri dapat terjangkit wabah yang turut terimpor, namun tetap sahih di mata hukum.
Atasu sebaliknya, sekalipun dibenarkan atau bahkan diperlukan secara moril, namun bila aturan hukum tertulis melarang suatu perbuatan (baca: inisiatif), semisal dana budgeter yang di-realokasikan, tetap berpotensi menghadapi ancaman pemidanaan.
Terkadang, “keadilan hukum” tidak sejalan dengan “keadilan nurani”—atau mungkin juga sama sekali tidak pernah sejalan. Terdapat sebuah “indikator keberadaban hukum” yang dipraktikkan suatu negara, yakni: “keadilan prosedural” yang diutamakan, ataukah “keadilan yang berlandaskan manfaat” sebagai panglima utama. Terkadang pula, pengadilan lebih pandai ‘menghukum’, ketimbang ‘mengadili’.
PEMBAHASAN:
Salah satu cerminan terbelakangnya praktik hukum, SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada representasi yang konkret pada putusan Mahkamah Agung RI perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) register Nomor 2088 K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012, dimana para Hakim Agung yang memutus ialah Komariah Emong Sapardjaja, Krisna Harahap, dan H. Surachmin.
Pada tahun 2008, RSUD Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang sumber dananya bersumber dari APBD II (Dana Alokasi Umum) diberikan anggaran untuk pengadaan obat-obatan Rumah Sakit Tahun Anggaran 2008 dengan jenis pekerjaan Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok Apotik pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan TA 2008, dimana nilai kegiatannya sebesar Rp. 1.265.350.000,-.
Terdakwa pada tahun 2008 menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan dengan tugas pokok memimpin rumah sakit dalam kegiatan meyusun kebijaksanaan, membina pelaksanaan, mengkoordinasikan serta mengawasi pelaksanaan tugas-tugas rumah sakit sesuai dengan juklak untuk kelancaran pelaksanaan.
Terdakwa selanjutnya membentuk Panitia Lelang Kegiatan DPA APBD II RSUD Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan T.A. 2008. Dalam pelaksanaannya, Panitia Lelang menerima surat dari Pengguna Anggaran RSUD Brigjend. H. Hasan Basry, yaitu Terdakwa, untuk melakukan Kegiatan Pengadaan dengan Proses Penunjukan Langsung dengan rekanan yang ditunjuk adalah PT. ANTASAN URIP, dan atas dasar surat itu selanjutnya Panitia lelang melakukan proses terhadap rekanan yang ditunjuk oleh Terdakwa,  dengan cara mengundang PT. Antasan Urip untuk melakukan prakualifikasi.
Setelah dilakukan prakualifikasi terhadap PT. Antasan Urip, Panitia Lelang menilai bahwa PT. Antasan Urip memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok Apotik Pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan TA 2008, kemudian PT. Antasan Urip memasukkan harga penawaran kepada Panitia lelang pada tanggal 31 Juli 2008 sebesar Rp. 1.265.048.000,-.
Selanjutnya Panitia Lelang melakukan evaluasi penawaran dan melakukan negosiasi harga dengan PT. Antasan Urip dari negosiasi tersebut diperoleh kesepakatan, bahwa harga penawaran adalah sebesar Rp. 1.263.848.000,-. Setelah diperoleh kesepakatan harga penawaran lalu Panitia Lelang meminta surat pernyataan kesanggupan untuk melaksanakan kegiatan pengadaan obat-obatan tersebut dengan harga dan syarat yang telah disepakati bersama.
Atas permintaan Panitia, selanjutnya PT. Antasan Urip menyampaikan surat pernyataan kesanggupan tertanggal 09 Agustus 2008. Setelah Panitia Lelang menerima Surat Pernyataan Kesanggupan, Panitia Lelang menyampaikan surat kepada Terdakwa selaku Pengguna Anggaran RSUD Brigjend. H. Hasan Basry perihal Usulan Penetapan Penyedia Barang.
Selanjutnya, Pengguna Anggaran menjawab surat itu dengan surat perihal Penetapan Penyedia Barang. Ketua Panitia Lelang kemudian mengirimkan perihal Pemberitahuan Penetapan Penyedia Barang kepada Direktur Utama PT. Antasan Urip. Terdakwa untuk itu menerbitkan Surat Keputusan tentang Surat Penunjukan Penyedia Barang (SPPB) Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok Apotik Pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan TA 2008—yang pada substansinya menetapkan PT. Antasan Urip sebagai Pelaksana Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok Apotik Pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan TA 2008.
Terbitlah Surat Perintah Mulai Kerja terhadap PT. Antasan Urip dengan masa pelaksanaan selama 90 hari kalender terhitung mulai tanggal 16 Agustus 2008 sampai dengan tanggal 13 November 2008 sebagaimana tertuang dalam kontrak tentang Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok Apotik Pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan TA 2008.
PT. ANTASAN URIP mendapat desakan oleh pihak Distributor obat untuk segera membayar hutang pembelian obat yang dipakai oleh PT. ANTASAN URIP untuk menyuplai obat-obatan pada RSUD Brigjend. H. Hasan Basry. Akhirnya Direktur PT. ANTASAN URIP bersedia menandatangani permintaan pembayaran sejumlah uang atas arahan Terdakwa.
Berita Acara Pemeriksaan Kemajuan Pekerjaan Tahap II, terdapat kesimpulan bahwa pekerjaan Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok Apotik Pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan TA 2008 yang dilaksanakan oleh PT. Antasan Urip telah selesai 31,59%, dan tanggal 9 Desember 2008 bertempat di RSUD Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan, dibuatlah Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk diterbitkan Surat Perintah Membayar (SPM).
Selanjutnya diterbitkan SPM yang ditandatangani oleh Direktur Rumah Sakit yaitu Terdakwa, kemudian SPM diajukan ke Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) untuk diterbitkan SP2D sebesar Rp. 399.701.000,- yang kemudian setelah dipotong pajak sebesar kurang lebih 10% dibayarkan kepada PT. Antasan Urip Banjarmasin.
Singkatnya, demi membayar distributor obat, Terdakwa mengambil dana budget anggaran terhadap proyek yang belum tuntas sepenuhnya dari pihak penyedia barang, namun Terdakwa melaporkan telah tuntas sehingga cairlah anggaran yang kemudian digunakan untuk membayar pihak distributor obat.
Adapun yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin No. 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/PN.Bjm, tanggal 08 Mei 2012, dengan yang amar selengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa ... terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa dalam tahanan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan.”
Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM., tanggal 25 Juli 2012 menjatuhkan amar selengkapnya sebagai berikut :
“Menerima permintaan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa dan Penuntut Umum tersebut;
“Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin tanggal 8 Mei 2012 Nomor 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/PN.Bjm, yang dimintakan banding tersebut dengan perbaikan sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan, sehingga amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa ... terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa dalam tahanan kota dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan kota.”
Baik Jaksa Penuntut maupun Terpidana mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Terhadap alasan-alasan kasasi Pemohon Kasasi I / Jaksa / Penuntut Umum :
“Bahwa alasan–alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum telah sebagaimana mestinya, lagi pula mengenai berat ringannya pidana dalam perkara ini merupakan wewenang Judex Facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum ancaman pidananya atau kurang dari batas minimum ancaman pidananya, yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau menjatuhkan hukuman dengan tidak memberikan pertimbangan yang cukup dan ternyata dalam menjatuhkan hukuman tersebut Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup tentang keadaan yang memberatkan dan meringankan pemidanaan;
Terhadap alasan-alasan kasasi Pemohon Kasasi II / Terdakwa :
- Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa dapat dibenarkan, karena pada Terdakwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan tindak pidana, justru perbuatan Terdakwa didasarkan pada kehendak untuk memenuhi stok obat-obatan di Rumah Sakit tersebut yang sudah habis atau tidak tersedia, sedangkan banyak pasien yang memerlukan;
- Bahwa perbuatan Terdakwa terbukti bermanfaat terhadap pasien, sehingga tidak terdapat pasien yang terlantar, dan tidak pula ada pasien yang meninggal dunia karena alasan ketiadaan obat;
- Bahwa Terdakwa sama sekali tidak menikmati / memperoleh hasil baik dari rekanan maupun dari perbuatannya;
- Bahwa perbuatan Terdakwa melakukan penunjukan langsung pengadaan obat-obatan yang harganya di atas Rp. 50.000.000,- adalah bertentangan dengan Peraturan Presiden, Pasal 17 ayat 5 No. 95 Tahun 2007, tentang perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan karenanya telah tepat putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi a quo yang menyatakan Terdakwa Terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan alternatif kedua;
- Bahwa berdasar alasan-alasan pertimbangan di atas, adalah sesuai dengan rasa keadilan terhadap Terdakwa tidak dijatuhi pidana denda;
“Menimbang, bahwa dengan demikian, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa tersebut dapat dikabulkan, dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di Banjarmasin No. 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM., tanggal 25 Juli 2012, yang menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/PN.Bjm, tanggal 08 Mei 2012, tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini, dengan amar putusan seperti tertera di bawah ini;
“Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Jaksa / Penuntut Umum ditolak, dan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa dikabulkan, akan tetapi Terdakwa tetap dipidana, maka Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : JAKSA / PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI KANDANGAN tersebut;
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa : ....;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM., tanggal 25 Juli 2012 yang menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/ PN.Bjm, tanggal 08 Mei 2012;
M E N G A D I L I   S E N D I R I  :
1. Menyatakan Terdakwa ... ., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ... ., oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Terdapat cacat dalam substansi amar putusan Mahkamah Agung. Perhatikan kembali amar putusan Pengadilan Tinggi, yang mengoreksi hukuman penjara menjadi tahanan kota, namun putusan Mahkamah Agung yang “mengadili sendiri” tidak menerangkan, bahwa Terpidana ditahan pada Lembaga Pemasyarakatan ataukah cukup Tahanan Kota sebagaimana amar Pengadilan Tinggi yang dianulir Mahkamah Agung.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.