LEGAL
OPINION
Question: Sekalipun jika nantinya hakim bilang perbuatan
saya itu adalah pelanggaran berat (terhadap pihak Pengusaha / pemberi kerja),
apa artinya saya bisa di-PHK tanpa berhak meminta pesangon?
Brief Answer: Pelanggaran yang bersifat fundamental dan
serius, hanya memberi hak bagi Pengusaha untuk mengajukan pemutusan hubungan
kerja (PHK), sekalipun bukan karena alasan efisiensi.
Meski demikian, pihak Pengusaha
tetap berkewajiban memberi kompensasi pesangon dan hak normatif lainnya sebesar
1 (satu) kali ketentuan PHK normal.
Kecuali, bila pelanggaran yang
dilakukan Pekerja adalah dalam bentuk pelanggaran serius yang melukai hubungan kepercayaan
dan penyalahgunaan itikad baik relasi antara pihak Pengusaha dan Pekerja—seperti
melakukan tindak pidana penggelapan yang mengakibatkan kerugian besar pada keuangan
Pengusaha—maka berdasarkan asas kepatutan dan proporsionalitas, Pengusaha tidak
memiliki beban moril atau kompensasi apapun untuk memutus hubungan kerja.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada cerminan putusan
Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 658 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 26
November 2015, perkara antara:
- PT. ORIENTAL ELECTRONICS
INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- RAHMAWATI MUSLIMIN, selaku Termohon
Kasasi dahulu Penggugat.
Terhadap PHK yang dilakukan Pengusaha, berlanjut pada perundingan
Tripartit, dimana sebagai tindak lanjut mediasi, terbit Anjuran dari Mediator
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, dengan substansi sebagai berikut:
1. Agar hubungan kerja antara pihak pengusaha PT. Oriental Electronics lndonesia
dengan pekerja Sdri. Rahmawati Muslimin tidak terputus dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pihak pengusaha PT. Oriental Electronics lndonesia memanggil secara
tertulis pekerja Sdri. Rahmawati Muslimin untuk bekerja kembali selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari setelah diterima.
b. Pekerja Sdri. Rahmawati Muslimin melapor secara tertulis kepada pengusaha
PT. Oriental Electronics lndonesia untuk bekerja kembali selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah diterima.
c. Pihak pengusaha membayar upah pekerja selama tidak dipekerjakan sampai
dikeluarkannya surat anjuran ini.
2. Agar kedua belah pihak menjawab surat anjuran ini secara tertulis selambat
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya surat anjuran ini.”
Penggugat menyetujui isi anjuran Mediator Disnaker, sementara Pengusaha
menolak, sehingga terbitlah Risalah Mediasi dari Mediator Disnaker, yang menyatakan
bahwa mediasi telah gagal.
Sementara pihak Pengusaha mendalilkan, Penggugat dahulu memang karyawan
di perusahan Tergugat. Namun pada tanggal 16 Januari 2014, Penggugat tertangkap
tangan, diduga telah melakukan tindak pidana, dengan membawa barang milik
perusahaan pada saat pemeriksaan di security.
Sebelumnya, pada bulan Juli 2013, Penggugat melakukan hal yang sama yang telah
diberikan Surat Peringatan. Terhadap perbuatan sang Pekerja, Tergugat telah
melaporkan Ke Pihak Kepolisian dan berdasarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan, statusnya kini masih dalam proses penyidikan.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian
mengambil putusan Nomor 07/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg. tanggal 20 Mei 2015, dengan
pertimbangan hukum serta amar (disertai dissenting
opinion alias diputus tidak dengan suara bulat antar hakim pemutus) sebagai
berikut :
“Menimbang, bahwa menurut
Majelis, untuk memberikan sanksi dan efek jera, untuk pelanggaran-pelanggaran walaupun
kategorinya termasuk kesalahan, tetapi dilihat dari nilai dan kerugian yang
di timbulkannya sebenarnya relative ringan dan tidak banyak berpengaruh
terhadap nilai asset dan produksi perusahaan, seperti yang dilakukan oleh
Penggugat, hendaknya sanksinya juga dapat lebih disesuaikan dan setimpal serta lebih
proporsional. Tidak sama atau disetarakan dengan penggaranpelanggaran kesalahan
berat yang merugikan dan mengganggu asset serta produksi perusahaan dalam skala
yang lebih besar, terkecuali hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang
oleh pelakunya, dan mengindikasikan pelakunya tidak pernah jera untuk
melakukannya.
“Menimbang,bahwa dalam teori
pemidanaan dalam asas-asas hukum pidana, dikenal adanya Teori Retributif Murni
dan Teori Retributive Terbatasi (the limiting distribution). Kedua teoriter
sebut pada intinya menyatakan pidana / pemidanaan (penghukuman) dalam pidana haruslah
sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya (teori retributive murni), dan
sanksi pidana dalam hukum tidak boleh melebihi batas-batas yang tepat untuk
penetapan kesalahan pelanggaran (teori retributive terbatas).
“Menimbang, bahwa berdasarkan
teoriter sebut, ketika sesorang melakukan sebuah pelanggaran atau kesalahan,
hendaklah sanksi dan hukuman yang ditimpakan atau dibebankan kepada orang
tersebut tidak melebihi dan sepadan dengan kesalahan dan pelanngaran
yang dibuatnya. Sanksi dan hukuman yang berlebihan dan tidak Sepadan (tidak
proporsional), akan berakibat pada timbulnya ketidak-adilan dan kedzaliman pada
orang tersebut.
“Menimbang, bahwa menurut
Majelis, sanksi PHK yang diterapkan dan dikenakan Tergugat terhadap
Penggugat sangatlah terlalu berat, dibanding dengan pelanggaran dan
kesalahan yang dilakukan Penggugat. Kalaupun, akan diberikan sanksi yang lebih
berat karena pelanggar anter sebut telah dilakukan dua kali oleh Tergugat, maka
sanksinya dapat dibuat lebih berat dari sanksi sebelumnya yang telah diberikan
Tergugat kepada Penggugat dan tidak terlalu jauh/berbeda dari sanksi yang juga
diberikan kepada pekerja yang lainnya ketika melakukan hal yang sama, sehingga
tidak ada kesan diskrininatif didalamnya, karena hal tersebut bertentangan dengan
Pasal 5 dan 6 UU No.13/2003 ttg Ketenagakerjaan, yang melarang terjadinya
perlakuan dan sikap diskriminasi Pengusaha terhadap pekerjanya.
“Menimbang, bahwa dengan
alasan-alasan dan pertimbangan tersebut, kepada Penggugat untuk pelanggaran dan
kesalahannya tersebut, dapat diberikan sanksi berupa Surat Peringatan II
kepada Penggugat oleh Tergugat.
“Menimbang, bahwa terkait
dengan kesalahan berat dan tuduhan tindak pidana yang dinyatakan/dituduhkan
Tergugat, yang melanggar Pasal 158 ayat (1) UU No.13/2003 ttg
Ketenagakerjaan,yang oleh Tergugat dijadikan sebagai dasar hokum dan
acuan/alasan dalam melakukan PHK terhadap Tergugat, bahwa menurut. Majelis
setelah dicabut kekuatan hukumnya oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi Rl
No.012/PUJJ-1/2003, maka ketentuan hukum tersebut dengan sendirinya mencabut
ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh para pihak yang menggunakannya dan
tidak dapat lagi dijadikan sebagai dasar hukum atau acuan dalam melakukan suatu
tindakan hukum dalam ketenagakerjaan, termasuk dalam melakukan PHK terhadap
pekerja.
“Menimbang,bahwa dengan
memperhatikan pula Surat Edaran Menakertrans Rl No.SE-13/MEN/SJHK/1/2005 angka
3 huruf a yang menyatakan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, terkait Pasal 158 ayat (1) UU
No.13/2003, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan Hakim Pidana yang
telah berkekuatan hukum tetap.
“Menimbang, bahwa terhadap
tindakan atau kesalahan berat yang dituduhkan kepada Penggugat oleh Tergugat,
sampai putusan ini dibacakan ternyata belum pernah diputus dan diproses
secara hukum diperadilan pidana, sehingga fakta bersalah atau tidaknya
Penggugat belum terungkap dan terbukti secara pidana sesuai prinsip dari due
processof law lembaga peradilan.
“Menimbang, bahwa dengan
demikian segala bentuk PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat dalam
perkara a quo sudah seharusnya dinyatakan batal demi hukum, dan hubungan kerja
antara Penggugat dengan Tergugat tetap tidak terputus.
“Menimbang, dalil-dalil
Penggugat serta dalil-dalil bantahan Tergugat sebagaimana yang disebutkan di
atas Hakim Anggota I (berbeda) berpendapat bahwa perbuatan
Penggugat mengambil barang berupa spidol milik Tergugat sekalipun hal itu
merupakan barang bekas sebagaimana yang didalilkan Penggugat atau spidol yang
mempunyai nilai tidak signifikan adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
menurut hukum, yang mana perbuatan Penggugat yang melakukan pelanggaran berupa
membawa barang milik Tergugat telah diyakini kebenarannya berdasarkan
keterangan saksi-saksi Tergugat ... , dan ... yang pada pokoknya membenarkan
pelanggaran yang dilakukan Penggugat berupa membawa spidol pada saat dilakukan pemerikasaan
terhadap Penggugat yang hendak meninggalkan perusahaan, perbuatan mana telah
Penggugat lakukan berulang yang sebelumnya Penggugat telah diberikan pembinaan
sebagaimana Bukti T-3 berupa surat peringatan yang dikeluarkan pada tanggal 4
Juli 2013.
“Surat peringatan/pembinaan
mana seharusnya menjadi perhatian bagi Penggugat untuk tidak lagi mengulangi
kembali apalagi hal itu telah juga diingatkan atau ditegaskan melalui
sosialisasi yang dilakukan oleh Tergugat sebagaimana Bukti T -2 berupa daftar
hadir untuk sosialisasi mengenai pemberitahuan barang inventaris perusahaan
tidak boleh dibawa pulang I keluar perusahaan yang mana hal itu juga dihadiri
oleh Penggugat sendiri, dengan demikian Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan
oleh Tergugat atas pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat sebagaimana yang
telah disebutkan diatas Hakim Anggota I berpendapat bahwa pemutusan hubungan
kerja dapat dibenarkan menurut hukum sebagaimana yang telah diatur dalam
peraturan perusahaan (BuktiT-1) Pasal 35 ayat (4) d melakukan tindak pidana
kejahatan, misalnya mencuri, menggelapkan, menipu, memperdagangan barang
terlarang baik dalam lingkungan perusahaan maupun diluar lingkungan perusahaan
dengan demikian surat pemutusan hubungan kerja No.03IOEIIHRDISPHK/I/2014
terhitung sejak tanggal 20 Januari 2014 harus dinyatakan sah menurut hukum.
“Bahwa berdasarkan Pasal 33
ayat (4) c peraturan perusahaan PT Oriental Electronics Indonesia atas
pelanggran yang dilakukkan Penggugat berhak atas uang penggantian hak dan uang
pisah sebesar 10 % dari Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
dengan perincian sebagai berikut:
- Uang Penggantian hak berupa cuti tahun sebesar 12 x Rp 89.739,00 = Rp
1.076.868,00;
- Uang Pisah sebesar 15 % x 4 x Rp 2.716.190,00 = Rp 1.086.476,00
“Berdasarkan pertimbangan
tersebut diatas maka petitum gugatan Penggugat dalam point 2 harus dinyatakan
tidak dapat dikabulkan oleh karenanya harus dinyatakan ditolak.
“MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat kepada
Penggugat pada tanggal 20 Januari 2014 tidak sah dan batal demi hukum;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk memanggil kepada Penggugat untuk bekerja
kembali di perusahaan Tergugat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan ini
dibacakan atau diberitahukan;
4. Memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan Surat Peringatan (SP)
II kepada Penggugat;
5. Membebankan biaya perkara sebesar Rp 419.000,00 (empat ratus sembilan belas
ribu rupiah) kepada Negara;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa, tidak
dapat dinilai dari nilai kerugian saja akan tetapi tujuan dari pemidanaan
tersebut adalah memberikan efek jera kepada pelakunya, apalagi perbuatan
tersebut merupakan pengulangan, oleh sebab itu sangsi yang diberikan telah
tepat sebagaimana peraturan perusahaan.
Kesalahan Penggugat sudah sangat jelas dan termasuk Tindak pidana, Pelanggaran
berat yang didukung oleh alat bukti yang kuat karena tertangkap tangan serta
diakui dilakukan sebagaimana hasil pemeriksaan, dapat dilakukan PHK dengan
alasan sebagai mana diatur dalam Peraturan Perusahaan. Dimana terhadap dalil-dalil
keberatan Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut dapat
dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal
11 Juni 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 30 Juni 2015 dihubungkan dengan
pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Bandung salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai
berikut:
“Bahwa terbukti Penggugat
melakukan pelanggaran berat, namun untuk memenuhi rasa keadilan maka adalah
adil penggugat di PHK dengan kompensasi sebagaimana diatur dalam pasal 161
ayat (3) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan;
“Bahwa dengan demikian pemutus
hubungan kerja Penggugat harus disertai dengan kompensasi Pemutusan Hubungan
Kerja sebagai berikut:
Mulai bekerja : 4 Desember 2005
P H K : 20 Januari 2014
Masa Kerja : 8 tahun 1 bulan
Gaji : Rp2.716.190,00
Keterangan:
Uang Pesangon 1 X 9 X Rp2.716.190,00 Rp24.445.710,00
Uang Penghargaan masa kerja 3 X Rp2.716.190,00 Rp 8.148.570,00
Jumlah Rp32.594.280,00
Uang Penggantian Hak 15% X Rp32.594.280,00 Rp 4.889.142,00
Upah Proses 6 X Rp2.716.190,00
Rp16.297.140,00
Total Rp53.780.562,00 (lima
puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluh ribu lima ratus enam puluh dua
rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. ORIENTAL ELECTRONICS INDONESIA dan
membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Bandung Nomor : 07/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG. tanggal 20 Mei 2015 serta Mahkamah
Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan
dibawah ini;
“M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. ORIENTAL ELECTRONICS
INDONESIA tersebut ;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Bandung Nomor : 07/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG. tanggal 20 Mei 2015;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat
sejak putusan ini diucapkan;
3. menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja
kepada Penggugat sejumlah Rp53.780.562,00 (lima puluh tiga juta tujuh ratus
delapan puluh ribu lima ratus enam puluh dua rupiah);
4. menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.