Ketidakadilan Bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya tidak ada pegawai yang sudi mengundurkan diri dari pekerjaan, terutama bila masa kerja telah hampir mencapai usia sepuluh atau bahkan belasan dan puluhan tahun, karena yang kami andalkan saat pensiun ialah tidak lain pesangon itu.
Saya dan kawan-kawan pegawai lain akan terpaksa mengundurkan diri ketika kondisi lingkungan kerja tidak lagi kondusif, entah karena intimidasi manajemen, ketidakamanan lingkungan kerja, tekanan dari serikat pekerja boneka, dan berbagai faktor politis dan sosiologis lainnya. Jadi, apa memang betul, mengundurkan diri sekalipun masa kerja telah lama sekali, sama sekali tidak dapat pesangon?
Brief Answer: Demikianlah ketidak-adilan terbesar dalam rezim hukum ketenagakerjaan di Indonesia, sehingga bila seorang Pekerja telah memasuki usia pensiun, lalu mendapat intimidasi, sehingga sang Pekerja yang terpojokkan merasa terdesak / terdorong untuk mengundurkan diri, maka SHIETRA & PARTNERS memberi rekomendasi agar sang Pekerja di-putus hubungan kerja (PHK) dengan kriteria pelanggaran indisipliner—semisal tidak patuh pada perintah mutasi atasan, dengan tujuan mendapat pesangon dan hak-hak normatif lainnya (Note: PHK karena “pelanggaran berat” tetap mewajibkan Pengusaha membayar kompensasi pesangon berdasarkan best practice berbagai putusan PHI dan Mahkamah Agung).
Demikianlah keganjilan paling utama dalam konteks hukum ketenagakerjaan di tanah air: mengundurkan diri secara baik-baik, maka masa kerja hangus dan tidak mendapat pesangon. Namun, di-PHK oleh Pengusaha karena alasan pelanggaran berat sekalipun, tetap melahirkan kewajiban pembayaran kompensasi PHK berupa pesangon.
Oleh karenanya, setiap kalangan Pekerja / Buruh perlu memahami dengan baik, bahwasannya mengundurkan diri sekalipun secara baik-baik dan diajukan secara patut, dinyatakan oleh pengadilan hanya berhak atas kompensasi “Uang Penggantian Hak” dan “Uang Pisah (bila diatur dalam Peraturan Perusahaan / Perjanjian Kerja)”—tanpa “Pesangon” ataupun “Uang Penghargaan Masa Kerja”.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 690 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 29 September 2016, perkara antara:
- NETI HERAWATI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- YAYASAN PENDIDIKAN EKA WIJAYA, selaku sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat adalah Karyawati Tergugat pada Yayasan Pendidikan Eka Wijaya bekerja selama 8 tahun 2 bulan dengan status guru tetap yayasan sesuai dengan SK Pengangkatan tahun 2007, kemudian sejak 1 Juli 2012 diangkat sebagai Kepala Sekolah sesuai dengan SK Pengangkatan tahun 2012, dimana kemudian pada tanggal 1 Juli 2015 Penggugat diangkat oleh Tergugat sebagai Wakil Kepala Koordinator sekolah.
Pada tanggal 22 September 2015 Tergugat memanggil Penggugat untuk membicarakan berbagai hal terkait dengan masa depan sekolah, akan tetapi dalam pembicaraan dimaksud, justru Tergugat mengusir Penggugat dari ruangan sambil menggebrak meja karena Tergugat menuduh Penggugat sebagai propokator, selanjutnya Tergugat mengucapkan perkataan yang tidak sepantasnya sebagai seorang pimpinan Yayasan Pendidikan tanpa alasan yang jelas, dan Tergugat tidak memberikan waktu kepada Penggugat untuk memberikan keterangan dan/atau membela diri.
Penggugat dilarang untuk bekerja alias memutus Hubungan Kerja sepihak secara lisan tanpa adanya alasan yang jelas secara hukum dan Penggugat dilarang oleh Tergugat untuk memasuki lingkungan Yayasan Pendidikan Eka Wijaya.
Penggugat telah menempuh upaya perundingan dengan pihak Tergugat (bipartit), akan tetapi tidak mendapatkan kesepakatan. Selanjutnya Penggugat mengajukan permohonan perundingan secara tripartit kepada Dinas Sosial Tenaga kerja Kabupaten Bogor, dengan hasil berupa Anjuran tertulis yang menyatakan:
Menganjurkan :
1. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pihak yayasan sekolah Eka Wijaya yang beralamat di Jalan Mayor Oking Jaya Atmaja Nomor 54 Cibinong terhadap pihak pekerja a.n. Sdr. Neti Herawati dapat dipertimbangkan untuk dilakukan terhitung sejak akhir bulan Desember 2015;
2. Kepada pihak Yayasan sekolah Eka Wijaya agar memberikan uang pesangon kepada pihak pekerja berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 yaitu 2 (dua) kali Pasal 156 ayat (2), dan 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan (4) dan upah serta hak-hak lain yang belum diberikan agar dibayarkan.”
Penggugat menerima isi anjuran, sementara Tergugat tidak memberi jawaban atas anjuran yang dikeluarkan oleh Disnaker. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung kemudian memberi putusan Nomor 21/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg tanggal 19 Mei 2016, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar uang penggantian hak kepada Penggugat sebesar Rp14.220.832,00 (empat belas juta dua ratus dua puluh ribu delapan ratus tiga puluh dua rupiah);
3. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp551.000,00 (lima ratus lima puluh satu ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Pengggugat selain dan selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi karena PHI tidak memberikan pesangon, dengan alasan bahwa Penggugat tidak pernah melakukan pengunduran diri kepada Tergugat, justru Tergugat-lah yang tidak memperbolehkan Penggugat untuk bekerja di Yayasan Pendidikan Eka Wijaya.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 6 Juni 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 18 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa karena Penggugat yang tidak bekerja lagi pada Tergugat sejak tanggal 23 September 2015 meskipun telah dipanggil sebanyak 4 (empat) kali oleh Tergugat secara patut dianggap tindakan indisipliner, sehingga hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah putus karena Penggugat mengundurkan diri;
- Bahwa oleh karena berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat karena dikualifikasikan Penggugat mengundurkan diri, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 168 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Penggugat tidak berhak untuk mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, dan hanya berhak untuk menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Bahwa masa kerja Penggugat adalah selama 8 tahun 2 bulan sehingga digenapkan menjadi 9 tahun, dengan demikian besarnya uang penggantian hak yang akan dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat adalah 15% x ( 2 x 9 x Rp4.514.550,00 + 3 x Rp4.514.550,00) = Rp14.220.832,00 (empat belas juta dua ratus dua puluh ribu delapan ratus tiga puluh dua rupiah);
“Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan Judex Facti harus diperbaiki sekedar menambahkan amar putusan, bahwa Penggugat telah mengundurkan diri sehingga amar selengkapnya seperti yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi NETI HERAWATI tersebut;
“Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 21/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg tanggal 19 Mei 2016, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus karena penggunduran diri sejak tanggal 23 September 2015;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang penggantian hak kepada Penggugat sebesar Rp14.220.832,00 (empat belas juta dua ratus dua puluh ribu delapan ratus tiga puluh dua rupiah);
4. Menolak gugatan Pengggugat selain dan selebihnya.”
...
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.