KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kerugian Immateriil sebagai Ciri Khas Gugatan PMH

LEGAL OPINION
Question: Bukankah kerugian imateriel hanya dapat terbit dari perbuatan melawan hukum? Tapi mengapa banyak gugatan wanprestasi yang mencantumkan tuntutan ganti kerugian materiel dan imateriel? Apakah artinya gugatan perdata demikian dapat dipastikan akan di-mentah-kan hakim bila diajukan eksepsi oleh lawan?
Brief Answer: Jika merujuk pada teori serta doktrin ilmu hukum, antara gugatan wanprestasi dan tipe karakter gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) memang dipisahkan secara tegas, sehingga tidak dapat dicampur-aduk. Berbagai preseden putusan Mahkamah Agung RI (MA RI) mengukuhkan doktrin demikian, bahwa permohonan ganti kerugian immateriil merupakan ciri khas yang hanya dapat dimiliki oleh jenis gugatan PMH.
Mengingat sistem hukum civil law sebagaimana diadopsi oleh Indonesia tidak mengakui daya mengikat preseden ataupun yurisprudensi yang telah ada sebelumnya, maka hakim merasa dibenarkan untuk menyimpang dari berbagai preseden yang telah ada, bahkan menegasikan yurisprudensi dengan menyatakan sah gugatan yang tidak taat asas doktrinal.
PEMBAHASAN:
Bila kita berbicara mengenai kepastian hukum, tampaknya tidak ditawarkan oleh sistem hukum dan peradilan di Indonesia yang hingga saat kini tidak mengakui daya ikat yurisprudensi, sebagaimana akan kita jumpai secara konkret dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa gugatan perdata register Nomor 3059 K /PDT/2013 tanggal 28 Mei 2014, perkara antara:
- WIWI HELWIAH, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat II; melawan
- JOSTEIN HAUGUM, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
- HEIDY PERMATA WACHYUNI, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat I.
Yang menjadi pokok sengketa, ialah perihal hutang-piutang yang macet, dimana alih-alih mengikat agunan tanah dengan instrumen hukum legal seperti Hak Tanggungan, namun justru debitor diikat dengan surat kuasa untuk menjual, yang dinilai sang debitor bahwa harga / nilai hasil penjual yang dilakukan oleh sang kreditor terlampau rendah sehingga mengakibatkan sang debitor dianggap masih memiliki sisa hutang yang belum terlunasi.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 649/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel., tanggal 27 Oktober 2013 dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalil bantahan Tergugat-Tergugat yang menyatakan bahwa perjanjian peminjaman tertanggal 15 Juni 2009 mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dilakukan oleh Penggugat, berdasarkan bukti-bukti bantahan dari Tergugat-Tergugat yaitu bukti TI-1 s/d TI-3 dan TI-1 s/d TII-2 tidak dapat dibuktikan oleh Tergugat-Tergugat, maka oleh sebab itu Majelis berpendapat bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan gugatannya bahwa Tergugat-Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi (ingkar janji), sehingga petitum angka 2 dan 3 patut untuk dikabulkan;
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI
- Menolak Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan perjanjian peminjaman tertanggal 15 Januari 2009 sah dan berlaku mengikat sebagai Undang-Undang menurut hukum;
3. Menyatakan bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi;
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ganti rugi secara materiil sebesar : Sisa pinjaman pokok USD 79,706.72 (tujuh puluh sembilan ribu tujuh ratus enam tujuh puluh dua sen Dollar Amerika Serikat);
5. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat II, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya No.376/PDT/2012/PT.DKI., tanggal 14 Januari 2013.
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mengemukakan bahwasannya Perjanjian Pinjam-Meminjam dengan Jaminan Benda Tidak Bergerak harus dibuatkan/dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT, sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah.
Disamping itu pihak Tergugat menggarisbawahi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana majelis hakim membuat pertimbangan hukum yang berkaitan dengan mencampur-adukkan antara wanprestasi dengan PMH, dengan menyatakan :
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim membaca dan mempelajari surat gugatan Penggugat dimana di dalam posita gugatan Penggugat telah diuraikan dengan jelas mengenai duduknya persoalan yang menjadi dasar gugatan Penggugat yang secara jelas menguraikan tentang wanprestasi yang dilakukan Tergugat-Tergugat, dalam hukum acara perdata bagian dari gugatan ini disebut Fundamentum Petendi dan selanjutnya dalam surat Gugatan Penggugat telah dilengkapi dengan hal-hal yang diinginkan atau diminta oleh Penggugat yang disebut petitum gugatan yaitu agar Tergugat-Tergugat membayar pinjaman pokok ditambah bunga sebagaimana yang diuraikan dalam posita gugatan Penggugat;
“Menimbang, bahwa dengan dituntutnya kerugian immateriil dalam petitum gugatan Penggugat, bukanlah berarti Penggugat telah mencampur-adukan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, oleh karena kerugian immateriil yang dituntut oleh Penggugat adalah akibat dari perbuatan wanprestasi yang dilakukan Tergugat-Tergugat, sehingga hal tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai dalil dari perbuatan melawan hukum oleh karena kerugian yang dituntut oleh Penggugat adalah akibat yang ditimbulkan dari wanprestasi, maka dengan demikian Majelis berpendapat bahwa eksepsi ini adalah tidak beralasan hukum sehingga haruslah ditolak.”
Dimana terhadap kasasi yang diajukan sang debitor, selanjutnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, terbukti bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah wanprestasi sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : Wiwi Helwiah tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : WIWI HELWIAH Tersebut.”
Bukankah sejatinya para warga negara pencari keadilan sedang “ber-ju-di”, bila kecenderungan putusan hakim demikian sukar diprediksi? Bila berjumpa hakim pemutus ber-‘selera’ tinggi, akan menghasilkan putusan yang taat asas preseden demi tercipta kepastian hukum. Sebaliknya, bila berjumpa hakim pemutus yang yang memandang remeh peran yurisprudensi, alhasil para pencari keadilan bagai ‘mencari-cari’ di dalam gelap sembari meraba-raba hal yang belum pasti—namun menggantungkan nasib sepenuhnya pada selera sang hakim pemutus.
Terlepas dari benar atau tidaknya suatu konstruksi hukum “wanprestasi” dapat menyinggung perihal kerugian materiil dan immateriil, semestinya lembaga peradilan memiliki pendirian yang jelas dan tegas secara tersurat, secara konsisten, agar masyarakat pencari keadilan tidak senantiasa ‘meraba-raba’ di ruang hampa ketidakpastian. Dalam berbagai putusan Mahkamah Agung lainnya, masih kerap dijumpai putusan yang dinyatakan sebagai “gugatan yang kabur/tidak jelas (obscuure libel)” karena dinilai rancu karena mencampuradukkan “wanprestasi” dan “PMH”.
Ketika tiada lagi sebentuk kepastian hukum untuk dipegang dan diandalkan masyarakat umum pencari keadilan, maka asa yang tersisa ialah spekulatif mencari ‘peruntungan’ di meja hijau. Jika berjodoh dengan hakim yang tegas menolak gugatan ‘campur-aduk’, maka karakter kasus diatas akan dinyatakan “gugatan tidak dapat diterima karena obscuure libel.
Sementara ketika berjodoh dengan hakim yang memandang bahwa ‘wanprestasi’ dan ‘PMH’ adalah kongruen, gugatan ‘campur-aduk’ akan “dikabulkan”.
Maka dari itu, penulis menilai bahwa bersengketa di peradilan, ialah perihal berurusan dengan “selera” hakim pemutus, bukan lagi perihal masalah yuridis teknis. Dan, ketika kita berbicara mengenai ‘berurusan dengan selera hakim pemutus’, maka tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan keterampilan sarjana hukum yang menggugat ataupun yang menjadi pihak tergugat—sepenuhnya tunduk dan mengandalkan ‘selera’ sang hakim.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.