Jurusita Pengadilan Memonopolisir Kewenangan Penarikan Objek Fidusia

LEGAL OPINION
Salah Kaprah Eksekusi oleh Jurusita Vs. Eksekusi oleh Pejabat Lelang Negara atas Objek Jaminan Fidusia
Question: Apa benar, bahwa kendaraan yang diikat fidusia, hanya boleh ditarik oleh pihak lembaga pembiayaan lewat jurusita pengadilan?
Brief Answer: Memang pernah terdapat beberapa putusan pengadilan bahkan hingga Mahkamah Agung RI, yang menyatakan bahwa kreditor pemegang agunan jaminan fidusia yang hendak menarik objek jaminan fidusia dari debitornya yang macet, wajib melalui perantara jurusita pengadilan.
Namun padangan Lembaga Yudikatif demikian tidaklah tepat guna, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Jumlah personil jurusita yang terbatas;
- Biaya penggunaan jurusita tidak sebanding dengan nilai jaminan fidusia yang berupa kendaraan bermotor;
- Ekonomi berbiaya tinggi;
- Keengganan dari personel jurusita itu sendiri untuk melaksanakan penarikan karena objek jaminan fidusia bukanlah benda tetap;
- Pungutan liar terjadi secara masif dan vulgar dalam lingkungan peradilan terkait eksekusi dan aparatur jurusita;
- Berbagai akta baku pembebanan jaminan Fidusia telah menegaskan secara tersurat bahwa kreditor diberi kewenangan oleh debitor untuk menarik objek jaminan bila sewaktu-waktu debitor ingkar janji—alias penarikan ialah berdasarkan pemberian kuasa dari debitor itu sendiri, yang mana telah diizinkan oleh sang debitor saat membuat komitmen pelunasan piutang dalam akta kredit.
Terkadang, sebagaimana penulis akui dalam realita, amat sangat sukar menghadapi hakim-hakim pemutus yang tidak memahami dengan baik seluk-beluk suatu bidang disiplin ilmu dalam implementasinya dalam dunia bisnis dan dunia praktik.
Berbagai kendala yang dihadapi pelaku usaha dan masyarakat umum terkait regulasi, tidak mampu dilihat oleh mereka yang “bersarang” diatas menara gading yang melihat undang-undang secara tekstual (bukan kontekstual) semata—tanpa mau menyadari kesukaran serta implikasinya dalam praktik. Alias, putusan yang tidak “membumi”.
PEMBAHASAN:
Putusan Mahkamah Agung RI sengketa pembiayaan kendaraan bermotor berikut menjadi salah satu ilustrasi konkret bagaimana lembaga peradilan dapat berlaku demikian diktatorial, sebagaimana tertuang dalam putusan kasasi register Nomor 1503 K/Pdt/2013 tanggal 26 Agustus 2014, perkara antara:
- PT. ASTRA SEDAYA FINANCE, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- SRI KUSTIYAH, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
- KHOLIQ INDRA JAYA, sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat.
Bermula dari fasilitas pembiayaan atas dasar Perjanjian Pembiayaan Dengan Jaminan Fidusia, dijamin dengan 1 buah kendaraan atas nama Sri Kustiyah (Penggugat), yang sekaligus menjadi objek pembiayaan pembeliannya. [Note SHIETRA & PARTNERS: meski agak rancu, sebab Lembaga Pembiayaan dengan Lembaga Keuangan Perbankan memiliki produk jasa yang saling berbeda, yakni antara Leasing dan Kredit, sehingga cukup diragukan bahwa objek jaminan fidusia sudah atas nama Penggugat.]
Penggugat telah mengalami keterlambatan untuk pembayaran angsurannya, yakni 24 hari terhitung sejak tanggal keterlambatannya, namun pihak Tergugat melalui pihak Turut Tergugat pada tanggal 11 Mei 2011, telah melakukan “penarikan objek pembiayaan” yang berada di tempat/lokasi usaha (gudang) Penggugat tanpa seijin pihak Penggugat.
Sengketa timbul ketika Penggugat selaku debitor berniat melakukan upaya pembayaran untuk penyelesaian seluruh kewajibannya yang tertunggak, namun telah ternyata ditolak oleh pihak Tergugat. Penggugat juga memohon agar dapat diizinkan membayar seluruh kewajiban yang tertunggak berikut dendanya saja, tanpa ada tambahan beban biaya “penarikan objek pembiayaan” sebesar Rp3.000.000,00. Namun, pihak Tergugat tidak bersedia untuk menangggapinya.
Sang debitor merujuk pada regulasi Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR, tanggal 12 November 1998, tentang Kualitas Aktiva Produktif, serta Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002, tanggal 06 September 2002, tentang Perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR, tanggal 12 November 1998, tentang Kualitas Aktiva Produktif, yang mengatur bahwa: kualitas kredit berada dalam golongan macet yakni ketika terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari.
Dengan demikian, Penggugat mendalilkan, perbuatan pihak Tergugat melalui pihak Turut Tergugat yang telah melakukan “penarikan objek pembiayaan” yang masih dalam kurun waktu selama 24 hari keterlambatan tersebut adalah keliru, yang dapat juga dikategorikan sebagai tindak pidana perampasan atas objek pembiayaan, sehingga pihak Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Kota Kediri agar pihak Tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
Note SHIETRA & PARTNERS: Sebenarnya argumentasi tersebut dapat dikategorikan “tidak pada tempatnya”. Contoh, bila antara kreditor dan debitor disepakati pembiayaan / fasilitas kredit selama hanya 180 hari, apakah artinya debitor bebas menunggak selama 270 hari? Terlagipula, peraturan otoritas Bank Indonesia hanya mengikat bagi lembaga keuangan perbankan konteks kredit, bukan pembiayaan semacam leasing.
Adapun yang menjadi argumentasi “akrobatik” pihak debitor, bahwa pihak Turut Tergugat telah melakukan tindakan eksekusi yang bukan menjadi kewenangannya—yang tampaknya pengadilan hingga Mahkamah Agung terjebak oleh perangkap frasa “eksekusi” demikian sehingga menjadi berkonotasi dengan jurusita.
Terhadap gugatan sang debitor, Pengadilan Negeri Kediri kemudian menjatuhkan putusan, lewat Putusan Nomor 02/Pdt.G/2012/PN.Kdr, tanggal 6 Juni 2012, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena itulah walaupun dalam posita gugatan dijelaskan hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat didasarkan pada adanya suatu perjanjian karena Penggugat sebagai debitur (konsumen jasa pembiayaan), telah terjadi perikatan hukum dalam bentuk Perjanjian Pembiayaan Dengan Jaminan Fidusia, namun dalam pelaksanaan perjanjian dimaksud, Tergugat ternyata telah melakukan eksekusi objek pembiayaan yang tidak berdasarkan hukum sama sekali dan didalilkan sebagai tindak pidana perampasan objek pembiayaan tersebut, sehingga dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, kini dipertimbangkan apakah benar tindakan Tergugat dalam melakukan eksekusi objek pembiayaan yang dilakukan oleh karyawannya sendiri tanpa melibatkan juru sita yang sah untuk itu, merupakan perbuatan melawan hukum, yang merugikan Penggugat sebagai berikut;
“Menimbang, bahwa oleh karena itulah adanya bukti Tergugat berupa perjanjian dan ataupun peringatan akan ditariknya objek pembiayaan (vide bukti T-1 sampai dengan T-11) tidak dapat melumpuhkan dalil-dalil Penggugat, bahwa tindakan Tergugat bertentangan dengan hukum dan mengakibatkan kerugian bagi diri Penggugat;
“Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan bukti-bukti Penggugat maupun Tergugat yang diajukan di persidangan dan pertimbangan hukum tersebut di atas, ternyata telah didapat suatu fakta bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan eksekusi objek pembiayaan tanpa melibatkan juru sita yang sah untuk itu;
“Menimbang bahwa Tergugat sebagai suatu badan usaha yang bergerak di bidang jasa pembiayaan dalam bertindak melakukan transaksi pembiayaan, tentunya harus dilakukan menurut hukum dan atau berdasarkan sistem dan peraturan operasional managerial yang berlaku standard (baku) yang sebelumnya sudah ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan kerja (operasional) yang bersifat tetap, dan sesuai dengan kebutuhan dalam praktik kehidupan pembiayaan pasti sudah ditentukan aktifitas dan kegiatan serta tindakan transaksi pembiayaan pada usaha jasa pembiayaan tersebut sehingga dalam prosedur transaksi pembiayaan dan eksekusi objek pembiayaan telah ditentukan syarat-syaratnya;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan lingkup pokok masalah perkara ini, maka tindakan Tergugat dalam melakukan eksekusi mobil objek pembiayaan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat, tentunya selain diperhatikan unsur-unsur dan kriteria serta syarat adanya suatu perbuatan melawan hukum sebagaimana telah dipertimbangkan di bagian awal putusan ini, yang utama dan harus dipertimbangkan adalah adanya kewajiban yang bertimbal balik dan seimbang antara Penggugat selaku debitur lembaga pembiayaan apakah telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in goodfaith) dan penuh tanggung jawab (and with full sense of responsibility) dalam hubungannya dengan tindakan Tergugat yang telah melakukan eksekusi objek pembiayaan, sebagai derivative action yang lahir dari alas hak yang utama (primary rights) selaku pihak yang berkepentingan atas eksekusi objek pembiayaan tersebut;
“Menimbang, bahwa tindakan Tergugat dalam melakukan eksekusi objek pembiayaan tersebut, ternyata tidak didasarkan pada kepatutan selaku kreditur Penggugat, dan ataupun orang yang dapat menyelenggarakan suatu pembiayaan atas suatu produk. Dengan demikian membuktikan bahwa ternyata penyelenggaraan eksekusi objek pembiayaan oleh Tergugat bertentangan dengan kewajiban hukumnya selaku lembaga pembiayaan dalam kedudukannya selaku kreditur Penggugat, dan perbuatannya tersebut jelas telah melanggar hak subjektif Penggugat selaku debitur yang ingin melakukan pembayaran atas barang yang dibelinya;
“Menimbang, bahwa oleh karena itulah seharusnya sejak semula Tergugat telah mengetahui bahwa kedudukannya sebagai kreditur Penggugat dalam melakukan eksekusi objek pembiayaan tersebut, jelas bertentangan dan melanggar hak subjektif Penggugat, dan bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain;
“Bahwa untuk eksekusi atas jaminan-jaminan kredit dapat dilaksanakan setelah posisi kualitas kredit berada dalam golongan macet (terdapat tunggakan pokok dan/bunga yang telah melampaui 270 hari; [Note SHIETRA & PARTNERS: Parate eksekusi secara falsafahnya dapat terjadi karena dua pemicu: karena macetnya kredit, dan/atau karena wanprestasi. Sehingga, parate eksekusi bukan hanya dapat terjadi karena macetnya kredit, namun juga dapat terjadi karena wanprestasinya debitor. Contoh, bila akta kredit menyatakan salah satu kriteria wanprestasi ialah bila debitor jatuh dalam keadaan pailit atau dicabut izin usahanya oleh pemerintah, maka seketika itu juga parate eksekusi dapat dilakukan oleh kreditor, meski status kredit belum macet. Sehingga, antara macetnya kredit dan wanprestasi, tidaklah selalu identik.]
“Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil-gugatan mengenai adanya perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan Tergugat dan merugikannya;
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat sebagai pihak yang jujur dan beritikat baik;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta Rupiah);
5 Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri diatas telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan putusan Nomor 444/PDT/2012/PT.SBY. tanggal 4 Januari 2013.
Pihak Lembaga Pembiayaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mendalilkan bahwa Tergugat adalah Perusahaan Pembiayaan yang termasuk ke dalam Lembaga Pembiayaan alias Leasing. Namun pihak Tergugat selaku Lessor kemudian terjebak dalam argumentasi berikut: Pasal 15 Undang- Undang Fidusia telah mengatur, Sertifikat Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang penuh. Dengan demikian akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa perlu lagi suatu putusan pengadilan. [Note SHIETRA & PARTNERS: bagaikan harimau yang telah masuk perangkap kata-kata sang debitornya sendiri, dan menjadi terluka sendiri oleh karenanya. Eksekusi, selalu identik dengan sosok jurusita, bukankah demikian? Meskipun sejatinya tidak, namun seringkali menjebak persepsi.]
Dimana terhadap keberatan-keberatan sang kreditor, Mahkamah Agung secara salah kaprah membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena meneliti dengan saksama Memori Kasasi tanggal 21 Maret 2013 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 9 April 2013 dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Kediri yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Surabaya ternyata tidak salah menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup, karena terbukti Tergugat telah melakukan penarikan objek pembiayaan tanpa melibatkan jurusita yang sah dan tidak didasarkan pada kepatutan sehingga melanggar hak subjektif Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT.ASTRA SEDAYA FINANCE, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. ASTRA SEDAYA FINANCE, tersebut.”
Bila Mahkamah Agung masih mempertahankan salah kaprah mengenai penarikan objek jaminan fidusia sebagai monopoli lembaga peradilan lewat jurusitanya, maka praktis tiada lagi Lembaga Pembiayaan yang akan bertahan di Indonesia, dimana berbagai kredit macet tiada mampu diselesaikan, mengingat Lelang Eksekusi terhadap jaminan fidusia tidak akan dapat dilangsungkan sepanjang kreditor pemohon eksekusi tidak menguasai fisik objek jaminan fidusia (aturan prosedur yang berlaku pada Kantor Lelang Negara).
Kasus kredit macet objek pembiayaan kendaraan bermotor, demikian masif, tidak akan mampu diakomodasi oleh personel jurusita pengadilan yang sangat terbatas. Bila pandangan Mahkamah Agung dipaksakan, maka lembaga pembiayaan akan lumpuh.
Akan lebih rancu lagi, yakni ketika kita mengingat bahwa Leasing memiliki makna hukum sebagai “sewa guna usaha”, artinya: debitor hanya menyewa dari sang kreditor. Artinya pula, objek jaminan fidusia masih atas nama kreditor, belum terjadi Hak Opsi balik nama objek jaminan keatas nama sang debitor. Apa salah, kreditor menarik objek miliknya sendiri yang dalam status disewakan kepada sang debitor?
Permasalahan hukum terbesar, sebagaimana telah penulis alami sendiri dalam praktik berhubungan dengan istitusi bernama Mahkamah Agung RI, ialah: Mahkamah Agung selaku lembaga peradilan, menutup diri dari pihak luar (masyarakat umum) yang hendak berkorespondensi, tidak pernah membalas surat-menyurat yang menggambarkan kendala yang dialami pelaku usaha maupun masyarakat dalam praktiknya, bahkan menutup diri dari komunikasi—yang entah bagaimana justru terbuka bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan kolutif bersimbiosis dengan para mafia kasus.
Bila Mahkamah Agung bersikap terbuka terhadap suara para pelaku usaha dan masyarakat umum, maka tragedi peradilan seperti kasus konkret yang telah penulis uraian diatas, tentunya tidak perlu terjadi dan kini menjadi noda diatas sejarah peradilan yang sangat merugikan pelaku usaha bidang pembiayaan.
Mungkin inilah, akibat ditutupnya mata Dewi Themis (sosok wanita yang digambarkan mengangkat timbangan pada satu tangan sementara tangan lain memegang belati) dengan kain penutup mata, sehingga tidak mampu mendengar jeritan dan permasalahan yang terjadi dalam ranah “akar rumput”. Bukan hanya buta, namun juga tuli.
Namun, pertanyaan yang juga layak untuk kita ajukan ialah: bila leasing, bukan kredit, maka artinya objek jaminan fidusia masih atas nama sang Lessor. Jika masih atas nama Lessor, untuk apa membebani sang debitor dengan berbagai biaya pembebanan fidusia? Toh, hubungan hukum leasing (sewa guna usaha) sejatinya tidak membutuhkan jaminan agunan apapun untuk diikat fidusia.
Dalam leasing, yang ialah antara penyewa dan pihak pemberi sewa. Ibarat rental kendaraan, apakah penyewa yang tidak mengembalikan objek sewa, wajib menggunakan jurusita? Namun, kembali lagi, siapa suruh membebani konsumen dengan biaya akta fidusia dan biaya sertifikat jaminan fidusia bila dalam pandangan lessor yang ada ialah hanya sebatas hubungan sewa-menyewa dengan sang konsumen?
Sebenarnya, penarikan objek jaminan fidusia bukanlah eksekusi, namun dalam rangka persiapan eksekusi (dikuasainya objek jaminan fidusia sebagai prasyarat pengajuan lelang eksekusi). Eksekusi jaminan fidusia itu sendiri adalah berupa pelelangan yang terbuka bagi umum pada Kantor Lelang Negara, sehingga eksekusinya tidaklah pernah melanggar hukum, karena tunduk pada peraturan di Kantor Lelang Negara serta dilakukan oleh Pejabat Lelang Negara yang berwenang menentukan sah atau tidaknya eksekusi—bukan kewenangan jurusita pengadilan.
Dalam konteks eksekusi jaminan kebendaan seperti ekekusi Hak Tanggungan maupun Fidusia, eksekutornya bukanlah jurusita pengadilan, namun Pejabat Lelang pada Kantor Lelang Negara, dan yang berwenang menentukan sah atau tidaknya permohonan eksekusi, ialah Pejabat Lelang Kelas 1 pada Kantor Lelang Negara, bukan seorang Jurusita penagdilan. Tidak ada aturan hukum manapun yang menyatakan bahwa Pejabat Lelang lebih rendah derajatnya dari seorang juru sita pengadilan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.