Komitmen (yang Hanya) Selebar Carik Kertas Kontrak

ARTIKEL HUKUM
Apakah dengan telah ditandanganinya suatu kontrak / perjanjian, maka artinya barulah dimulai suatu bentuk perikatan hukum keperdataan sekaligus ikatan komitmen? Realitanya, penulis menjumpai fenomena ‘anti klimaks’ pasca ditanda-tanganinya suatu kontrak, baik kontrak bisnis, kontrak joint venture, kontrak akuisisi, kontrak ketenagakerjaan, dan kontrak keperdataan lainnya hingga masalah perjanjian pernikahan.
Banyak kalangan secara salah-kaprah berasumsi, ketika posisi dirinya lebih dominan daripada rekan bisnis yang saling mengikat kontrak, atau antara posisi dominan pengusaha terhadap para pencari kerja, maka itulah saatnya momen ‘aji mumpung’ menekan setajam yang mampu ditekan. Toh, daya tawar pihak seberang sangat lemah, dan hanya mampu menundukkan diri tanpa syarat. Alhasil, substansi kontrak kontras ‘berat sebelah’, tanpa menyisakan ‘ruang gerak’ ataupun ‘ruang bernafas’ apapun bagi pihak seberang.
Seiring perjalanan waktu, ketika pihak seberang menemukan alternatif rekan bisnis lain, atau ketika seorang pekerja menemukan calon majikan lain yang lebih potensial, maka mereka akan menunggu-nunggu hingga saatnya masa kontrak berakhir, atau bila kontrak dimungkinkan untuk diputus dan diakhiri sewaktu-waktu, tidak akan bagi mereka untuk berpikir dua kali untuk memutus hubungan dan beralih pada komitmen di “tempat lain”. Itulah, yang penulis istilahkan sebagai “komitmen yang hanya selebar carik lembaran kontrak”.
Tiada hubungan yang ‘berat sebelah’ yang mampu berjalan secara ‘langgeng’. Dalam ranah alam bawah sadar, perikatan yang ‘berat sebelah’ melahirkan perasaan terlecehkan bagi pihak yang tertekan, dan merasa dimanfaatkan dalam bentuk relasi yang berada dalam kondisi terjepit yang tidak dapat disebut sebagai relasi sismbiosis mutualisme (saling menguntungkan).
Untuk itu, mari kita bercemin pada perjalanan sejarah praktik bisnis niaga maupun hubungan industrial ketenagakerjaan. Ketika belum dikenal korporasi raksasa sebagaimana banyak bermunculan pada abad ke-21 ini, daya tawar antara pemberi kerja dan pihak buruh cenderung saling mengimbangi. Ketika jumlah penduduk dan angkatan kerja meningkat, sementara lapangan pekerjaan kiat ketat diwarnai persaingan para angkatan kerja terbuka dan para fresh graduates, menjadikan angkatan kerja ‘membanting harga’ bahkan rela membiarkan berbagai hak normatifnya sebagai pekerja ‘diobral’ sepanjang dapat memiliki upah kerja sebagai buruh/pekerja.
Pada sisi lain, ketika persaingan usaha kian keras akibat maraknya pemain (kompetitor) yang masuk merambah target pasar yang sama, mengakibatkan salah satu pelaku usaha ‘membanting’ harga, yang menyebabkan pihak pemberi order proyek mampu menekan semampu yang dapat ditekannya—jika perlu menghisap darah pihak rekanan hingga hisapan tetes darah terakhir.
Sama halnya seperti sumber daya tanah dan pemukiman yang terbatas, mengakibatkan harga sewa rumah menjadi melambung tinggi kian tahun, menyebabkan para partikelir ‘panen’ dengan posisi diatas angin diatas posisi terjepit kalangan penyewa yang tidak memiliki kediaman pribadi.
Sejatinya kemajuan dan kompleksitas ekonomi dan sistem keuangan menyebabkan ketimpangan yang berjarak (kesenjangan), dimana pemodal yang kuat selalu berada di posisi dominan yang memiliki daya tekan secara signifikan dalam setiap aspek hukum maupun non hukum. Bahkan, lembaga sekaliber Mahkamah Konstitusi RI mampu ‘disetir’ oleh kalangan pengusaha, menjadi simbolisasi bagaimana ‘daya tawar’ itu bermain dan mengambil peran secara efektif—tidak terkecuali Lembaga Legislatif ketika menyusun dan membahas draf undang-undang.
Suatu waktu, teriar kabar, para penghuni kediaman rumah dengan model menyerupai pemukiman-pemukiman di Kota Medan, Sumatera Utara, yang dipenuhi teralis, dengan alasan sebagai pengaman atau untuk tujuan keamanan, namun ketika terjadi bencana alam kebakaran, sang penghuni terjebak di dalamnya, dan tak dapat keluar dari jendela yang berteralis yang tidak dapat diterobos dari luar maupun dari dalam. Menjadi korban sistem keamanan yang dibuatnya sendiri. Kita menyebutnya sebagai, tragedi.
Terkadang, over protektionisme akan mengakibatkan sifat konsevatifisme yang membabi-buta. Sebagai reaksi berantainya, terjadi antipati. Dan antipati, selalu terbukti menyebar dengan cepat seperti persebaran dan penetrasi virus. Ingat, lingkungan kerja ialah sebuah komunitas / habibat, sama halnya seperti asosiasi kalangan pebisnis dimana informasi bergerak dengan cepat dari mulut ke mulut secara informal.
Sebagai ilustrasi, ketika sebuah perusahaan menyusun sebuah Peraturan Perusahaan yang diberlakukan bagi seluruh pekerja mereka, dengan asumsi ‘naif’ bahwasannya Peraturan Perusahaan berhak untuk dibentuk secara sepihak oleh pengusaha dan diberlakukan pula terhadap seluruh pekerja tanpa tawar-menawar apapun.
Mindset demikianlah yang dapat menjadi bumerang sewaktu-waktu bagi pihak pemberi kerja, mengharap membentuk culture hubungan industrial penuh kepatuhan yang diwarnai kehangatan dan keterbukaan, justru melahirkan antipati serta rasa berjarak, karena timbul persepsi / sugesti ‘warning’ di kepala para pekerja, bahwasannya pihak manajemen perlu diwaspadai, sebagai musuh, bukan sebagai tempat yang mampu menampung aspiratif pekerja.
Sama halnya seperti kontrak baku dalam relasi bisnis, relasi layanan swasta seperti relasi antara nasabah selaku konsumen dan perbankan selaku penyelenggara jasa keuangan, kini mulai timbul ‘alergi’ di kalangan hakim pemutus perkara di pengadilan, bahwasannya kontrak baku yang demikian timpang, akan melahirkan antipati dan disaat bersamaan memunculkan simpatik kepada pihak yang lebih lemah posisinya. Inilah fenomena yang tidak dijumpai oleh praktik hukum satu abad yang lampau.
Tiada loyalitas sepanjang komitmen hanya ditawarkan selebar “lebarnya carik lembaran kontrak” itu sendiri. Relasi yang langgeng dan jangka panjang, biasanya diwarnai oleh sesuatu yang ditawarkan di luar substansi perikatan kontrak, yang membuat kontrak itu seperti dimiliki oleh para pihak yang saling mengikatkan dirinya.
Adalah hal yang lumrah, dalam ilmu psikologi, bahwasannya setiap orang akan cenderung bergerak menjauhi rasa sakit, dan bergerak mendekati apa yang membuat mereka merasa senang dan aman. Segala fenomena seperti tingginya tingkat keluar-masuk karyawan, rekan bisnis yang sering berganti-ganti tanpa komitmen jangka panjang, dapat menjadi alarm (warning system) itu sendiri untuk melakukan introspeksi dan audit secara mendalam terhadap pola relasi yang selama ini terkukuhkan.
Dalam praktik kebiasaan bisnis orang-orang Timur, yang dilandasi oleh kepercayaan antar pebisnis, seringkali kepercayaan yang dipegang secara baik dan menampilkan komitmen untuk menjaga kepercayaan, melahirkan relasi yang langgeng—meski tidak pernah ada ‘hitam diatas putih’ apapun yang demikian tebal dan bertele-tele sebagaimana kontrak bisnis dewasa ini yang menjemukan dan terkesan kaku alias mekanistis.
Sebaliknya, kita jumpai hubungan relasi antara debitor terhadap kreditornya, sebagai salah satu ilustrasi, dimana akta kredit demikian tebal, mengatur segala hal, justru mengundang antipati dan kesan negatif dalam benak debitor yang tidak pernah diberi kesempatan guna pemahaman apapun atas apa yang harus mereka tanda-tangani, bahkan menegosiakan substansi kontrak kredit pun ditabukan. Take it or leave it, demikian relasi hubungan nasabah dan perbankan selama ini ditampilkan dengan demikian ‘dingin’ dan ‘beku’. Yang terjadi kemudian, muncul niat dalam benak nasabah untuk membangkang dan mendobrak kekakuan yang demikian timpang—meskipun artinya, menjadi nasabah ‘nakal’.
Sebaliknya pula, ketika Peraturan Perusahaan dirumuskan demikian tebal, demikian kaku, demikian sadistik terhadap relasi hubungan ketenagakerjaan yang sudah timpang dibuat kian berat sebelah, maka apa lagi yang didapat diharapkan oleh seorang pengusaha selain kepatuhan secara fisik, namun tidak akan pernah didapatkan olehnya untuk memenangkan hati dan perasaan para pegawainya (baca: respect and loyality). Ralasi ketenagakerjaan yang hambar dan cenderung pahit, melahirkan relasi yang sependek masa hidup siklus tanaman palawija.
Tidak pernah ada bukti faktual bahwa kontrak yang kaku dan monoton, demikian tebal namun hanya berbobot ‘berat sebelah’, tidak akan dilanggar salah satu pihak. Tidak terdapat relevansi pula, hubungan yang hanya sebagai perjanjian lisan, akan selalu berakhir cidera janji. Ketika kita bicara dari ‘hati ke hati’, dan membangun komitmen lewat konsistensi serta kepedulian akan jalinan relasi yang hendak dibangun, sejatinya ibarat membangun jembatan yang menghubungkan dua selat yang sangat panjang.
Seorang konsultan hukum yang baik, tahu dengan benar kapan suatu takaran harus dibuat seimbang, dan tahu kapan taraf negosiasi harus diseimbangkan agar membuat rasa saling menghargai dan dihargai satu sama lain. Tidak sekadar membuat satu kontrak besar namun berjangka pendek dan temporer, akan tetapi merangkaikan komitmen jangka panjang antara perusahaan klien dengan pihak calon rekanan bisnis sang klien, serta merajut relasi yang kohesif antara perusahana klien dengan para pekerjanya.
Bukan perkara mudah bagi seorang konsultan hukum untuk membuka cara pandang dan memperkenalkan sudut pandang yang lebih mengedepankan hubungan jangka panjang dalam berhadapan dengan berbagai keinginan klien yang tidak terbendung, namun itulah tugas utama seorang konsultan hukum yang ideal—mengedukasi, bukan sekadar mencetak kontrak yang besar.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.