Harapan Semu Dibalik Gugatan, Konteks Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Para buruh di pabrik sudah demo dan mogok secara mendadak, tidak pula sesuai aturan, tidak juga masuk kerja ketika sudah dipanggil, apa ada resikonya bila para buruh yang mogok itu kami pecat dengan alasan sudah mengundurkan diri, seperti misal para buruh itu akan dapat menggugat perusahaan?
Brief Answer: Perihal akankah Pekerja / Buruh menggugat Pengusaha, itu dapat saja dilakukan, namun jika terbukti bahwa rencana mogok kerja tidak disampaikan secara patut, tidak juga akibat gagalnya perundingan, bahkan hingga taraf tidak kembali masuk kerja meski telah dipanggil secara patut dan layak, maka dari berbagai kecenderungan putusan Pengadilan Hubungan Industrial hingga Mahkamah Agung, adalah sah dan berdasar bagi Pengusaha untuk menyatakan putus hubungan kerja dengan kriteria ‘mengundurkan diri’.
Sebaliknya pula, pihak Pekerja / Buruh yang mau menyadari secara objektif kesalahan hukum yang telah dilakukannya, akan memahami bahwa adalah suatu kesia-siaan melakukan upaya gugatan terhadap Pengusaha, karena hasilnya telah dapat diprediksi bahkan sebelum gugatan diperiksa dan diputus oleh pengadilan.
Pihak Pekerja / Buruh yang hanya mengandalkan harapan semu, seakan lembaga gugatan dapat membalik semua fakta kejadian yang ada, akan mendapati diri mereka “rugi dua kali” dalam arti yang sesungguhnya. Gugatan, ibarat pisau tajam, yang dapat digunakan untuk melukai lawan, namun tidak jarang terjadi justru melukai pihak pemegangnya sendiri.
Masyarakat yang cerdas akan mengandalkan jasa layanan konsultan hukum untuk mencegah terjadinya sengketa ataupun pelanggaran hukum sebagai fungsi preventif dan mitigasi perkara. Sementara masyarakat yang mengandalkan gugatan sebagai langkah kuratif, akan mendapati “penyakit kronis” yang amat sukar diharapkan untuk disembuhkan.
Dalam dunia litigasi, gugatan dapat berujung pada kekalahan dan membawa kerugian yang jauh lebih besar bagi pihak penggugat. Dahulu demikian, kini pun demikian, dan dimasa mendatang juga akan berlaku prinsip serupa.
Dari pengalaman pribadi penulis, banyak pihak-pihak yang secara menggebu-gebu hendak menggugat, namun semua itu berangkat dari asumsi semu bahwa dirinya “selalu benar” atau “tidak dapat salah”, dengan keyakinan akan menang, tanpa pernah mau secara terang mengakui kontribusi kesalahan yang dilakukan dirinya, dan tanpa mau menyadari potensi resiko dibalik setiap aksi gugatan.
Gugatan pihak penggugat yang pada akhirnya ditolak hakim di pengadilan, pada gilirannya hanya akan merusak nama baik / reputasi pihak penggugat itu sendiri. Jika sudah demikian, menyesal belakangan pun sudah terlambat. Di zaman modern ini, gugatan bukan lagi hal yang dapat digunakan sebagai alat penekan atau menakut-nakuti pihak tergugat. Penggugat yang tidak arif, akan melukai dirinya sendiri.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 58 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 19 September 2016, perkara antara:
- 258 orang Pekerja, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula merupakan Para Penggugat; melawan
- PT. SRIREJEKI PERDANA STEEL, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat.
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 74/G/2017/PHI.Bdg, tanggal 13 Oktober 2014, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap para Penggugat tidak sah dan batal demi hukum;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali para Penggugat pada posisi dan jabatan semula;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar uang proses kepada para Penggugat masing-masing Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari apabila Tergugat tidak melaksanakan isi putusan secara suka rela, sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp591.000,00 (lima ratus sembilan puluh satu ribu Rupiah);
7. Menolak gugatan para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 58 K/Pdt.Sus-PHI/2015, tanggal 3 Maret 2015 sebagai berikut:
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. SRIREJEKI PERDANA STEEL;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 74/G/2014/PHI.PN.Bdg tanggal 13 Oktober 2014;
Mengadili Sendiri:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi /Pekerja sejak 22 November 2013;
3. Menghukum Pemohon Kasasi membayar Uang Ganti Kerugian sesuai ketentuan Pasal 26.B Huruf d Kep: 78/MEN/2001;
4. Menghukum Pemohon Kasasi membayar Uang Ganti Kerugian sebesar perhitungan Pasal 26.B Huruf d Kep: 78/MEN/2001 kepada Termohon kasasi: Wirin Mulyadi, Rahmanti Igan dan Adi Juli Irwanto;
5. Menolak gugatan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan-alasan peninjauan kembali tanggal tanggal 30 November 2015 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 21 Januari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Putusan Mahkamah Agung Nomor 58 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 3 Maret 2015 tidak melakukan kekeliruan yang nyata atau kekhilafan Hakim dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali tidak beralasan hukum karena tidak terdapat kekeliruan nyata atau kekhilafan hakim dengan pertimbangan:
1. Bahwa perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara Para Pemohon Peninjauan Kembali dengan Termohon Peninjauan Kembali berawal dari mogok secara spontan dengan tuntutan mempekerjakan kembali para pengurus serikat pekerja yang di-PHK akibat melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan;
2. Bahwa mogok kerja Para Pemohon Peninjauan Kembali tidak dilakukan secara sah karena tanpa memberitahu sekurang-kurangnya 7 hari kerja sebelum melaksanakan mogok (secara spontan), dan tidak akibat gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 137, 140 Undang-Undang 13 Tahun 2003 Juncto Pasal 3, 4 Kepmenakertrans Nomor Kep-232/Men/2003, dan telah mangkir kerja dari tanggal 15 November 2013 sampai dengan tanggal PHK oleh Pengusaha tanggal 22 November 2013 (7 hari secara terus menerus), dipanggil untuk masuk kerja melalui pengumuman, dengan surat panggilan tertulis sebanyak 2 (dua) kali sehingga telah memenuhi Pasal 6 Kepmenakertrans a quo kualifikasi mengundurkan diri;
3. Bahwa dengan demikian adil memperoleh hak kompensasi PHK sesuai ketentuan Pasal 26 B huruf d Kepmenaker Nomor Kep-78/Men/2001 sebagaimana penerapan hukum oleh Judex Juris;
4. Bahwa adapun memori Para Pemohon Peninjauan Kembali mengenai apakah telah mangkir 7 hari atau tidak dengan dalil selama mogok kerja tidak dapat masuk kerja kembali karena dilarang Pengusaha dan niat masuk kerja telah dibuktikan dengan absensi manual sehingga tidak memenuhi kualifikasi mangkir, hanyalah merupakan penafsiran atau perbedaan pendapat yang menurut Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI tidak merupakan suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 67 huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, lagipula mengenai kebenaran fakta pelarangan masuk kerja menurut keterangan 2 (dua) saksi Tergugat di bawah sumpah kurang lebih 140 orang Pekerja yang melakukan mogok telah memenuhi pengumuman dan panggilan Pengusaha bekerja kembali sampai dengan perkara ini diperiksa Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali: LUKMAN AMRULLOH, dan kawan-kawan tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
“Menimbang, bahwa karena permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, maka Para Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.