Hakekat Upah Proses

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa esensi paling utama dari Upah Proses? Sangat sukar untuk memahami, karena saya dengar simpang siur itu pemberian Upah Proses oleh pengadilan.
Brief Answer: Ada perintah larangan bekerja seperti biasa atau tidak, oleh pihak Pengusaha saat terjadi sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK) antara Pengusaha dan sang Pekerja / Buruh. Sederhananya, Upah Proses adalah Upah (selama) Skoorsing.
Ketika Pengusaha tidak melarang Pekerja untuk masuk kerja seperti biasa selama perkara / sengketa PHK masih diperiksa dan belum diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka berlakulah asas no work no paid.
Dalam praktik serta dalam regulasi UU Ketenagakerjaan, Upah Proses masih menjadi priviledge Pekerja Tetap (PKWTT), mengingat keberlakuan Pasal 61 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memberi peluang Upah Proses bagi Pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).
Mengenai besaran Upah Proses, itulah yang masih simpang-siur hingga saat ini—alias tidak terdapat keseragaman putusan hakim, dan tiada preseden yang disakralkan sebagai yurisprudensi tetap oleh otoritas di Mahkamah Agung.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman perihal Upah Proses, SHIETRA & PARTNERS merujuk sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 844 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 2 Februari 2016, perkara antara:
- HERMAN EFENDI, sebagai Pemohon Kasasi I / Termohon Kasasi II dahulu Penggugat; melawan
- PT. SUPRA VISUAL ADVERTENSI, selaku Termohon Kasasi I/ Pemohon Kasasi II dahulu Tergugat.
Penggugat diputus hubungan kerjanya oleh Tergugat sejak tanggal 5 Agustus 2014, dengan Surat PHK yang diterbitkan oleh sang Pengusaha. Fakta hukum paling utama tersebut sebenarnya sudah cukup mengindikasikan, bahwa pihak Pengusaha telah menolak keberadaan sang Pekerja di lingkungan pabrik/kantor, karena Pengusaha melakukan PHK secara sepihak (PHK secara politis), tanpa melalui proses pengajuan PHK ke PHI.
Meski demikian, perkara berikut menjadi pelajaran berharga bagi kalangan Pekerja, untuk tetap berupaya masuk kerja seperti sedia kala meski menghadapi “PHK secara politis” guna meraih Upah Proses. Paling tidak, hingga terdapat sebuah alat bukti dokumentasi pihak Pengusaha menolak keberadaan / hadirnya sang Pekerja dalam lingkungan kerja, berupa dihapusnya data presensi dalam mesin absensi, dihalanginya oleh petugas penjaga gerbang kantor, dsb.
Tergugat adalah sebuah perusahaan yang berdiri kurang lebih pada tahun 1996 dan bergerak dibidang Advertising (Digital Printing). Sementara Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tahun 2011 dengan jabatan sebagai finishing (produksi).
Pada saat Penggugat diterima bekerja di tempat Tergugat, tidak ada Perjanjian Kerja antara Penggugat dengan Tergugat. Setelah 3 bulan masa percobaan kerja yang disyaratkan oleh Tergugat, Penggugat menandatangani Surat Pernyataan yang dibuat oleh Tergugat yang isinya: “Apabila sewaktu-waktu Penggugat dipecat / di-PHK oleh Tergugat, Penggugat tidak akan menuntut apapun.”
Penggugat terpaksa menandatangi Surat Pernyataan demikian, dikarenakan berada dibawah intimidasi Tergugat dengan ancaman tidak diperbolehkan bekerja di tempat Tergugat apabiia menolak menandatangani Surat Pernyataan tersebut.
Setelah ditandatangani, salinan Surat Pernyataan tersebut tidak diberikan kepada Penggugat, melainkan dipegang / disimpan oleh Tergugat. Disamping itu, Tergugat tidak pernah memberikan / mensosialisasikan isi Peraturan Perusahaan kepada Penggugat maupun kepada para Pekerja lainnya.
Dalam surat PHK, Tergugat beralasan bahwa Penggugat melakukan pelanggaran indisipliner mengacu pada Peraturan Perusahaan (PP). Setelah diterbitkan surat PHK dari Tergugat, Penggugat tetap datang bekerja seperti biasa karena menganggap PHK yang dilakukan oleh Tergugat adalah sepihak serta bertentangan dengan Undang-Undang.
Pada tanggal 07 Agustus 2014, Tergugat mengeluarkan Surat Pemberitahuan yang isinya adalah tidak memperbolehkan Penggugat untuk masuk / berada didalam / lingkungan tempat Tergugat. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 22 Juni 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dengan alasan apapun hanya dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada pekerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, tetapi faktanya Tergugat telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat pada tanggal 05 Agustus 2014, sebelum memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa oleh karena Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat dinyatakan batal demi hukum, maka hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat harus dinyatakan belum pernah terputus, karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011, tanggal 19 September 2011 Tergugat berkewajiban membayar Upah Penggugat selama proses PHK dari bulan Agustus s/d adanya putusan hukum dari Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
“Menimbang, bahwa sekalipun secara yuridis Tergugat berkewajiban membayar Upah Penggugat selama proses Pemutusan Hubungan Kerja Penggugat dari bulan Agustus 2014 sampai adanya putusan hukum dari Pengadilan Hubungan Industrial, namun demikian mengingat Penggugat juga tidak melakukan tugas dan kewajiban kerjanya secara aktif di perusahaan selama proses PHK, maka menurut Majelis yang adil dan patut mengenai besarnya Upah selama proses yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar 8 x Upah, oleh karenanya petitum Penggugat angka (4) dan (5) yang memohon kepada Majelis agar menghukum Tergugat untuk membayar Upah Penggugat selama proses PHK haruslah dikabulkan sebagian;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Nomor 002/SVA/LT/HRD/8/2014 adalah tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menyatakan Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Perusahaan yang berlaku di Perusahaan Tergugat;
4. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Upah Penggugat selama proses Pemutusan Hubungan Kerja yang seluruhnya sebesar Rp39.178.050,00 (tiga puluh sembilan juta seratus tujuh puluh delapan ribu lima puluh rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Baik Pengusaha maupun Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan/keberatan dari Pemohon Kasasi I /Termohon Kasasi II tersebut tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi Pemohon Kasasi I tanggal 18 Juni 2015 dan memori kasasi dari Pemohon Kasasi II tanggal 23 Juni 2015 serta kontra memori kasasi Termohon Kasasi II tanggal 14 September 2015, maka Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya, kecuali khususnya mengenai Upah Proses perlu dilakukan perbaikan dari 9 bulan menjadi tidak diberikan (nihil), karena Pemohon Kasasi II/ Termohon Kasasi I tidak pernah mengeluarkan perintah larangan untuk masuk kerja kepada Pemohon Kasasi I / Termohon Kasasi II, lagi pula Pemohon Kasasi I / Termohon Kasasi II telah melakukan pelanggaran indisipliner dan telah mendapatkan Surat Peringatan I, Surat Peringatan II, Surat Peringatan III, sehingga penerapan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah sesuai.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I: HERMAN EFENDI dan Pemohon Kasasi II: PT SUPRA VISUAL ADVERTENSI tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 22 Juni 2015, sehingga amarnya sebagaimana tersebut di bawah ini;
M E N G A D I L I :
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: HERMAN EFENDI dan Pemohon Kasasi II PT. SUPRA VISUAL ADVERTENSI tersebut;
2. Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 22 Juni 2015, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Nomor 002/SVA/LT/HRD/8/2014 adalah tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menyatakan Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Perusahaan yang berlaku di perusahaan Tergugat;
4. Menyatakan “putus” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak yang seluruhnya sebesar Rp19.650.050,00 (sembilan belas juta enam ratus lima puluh ribu lima puluh rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.