Rasionalisasi Asas Itikad Baik dalam Kontraktual

LEGAL OPINION
Question: Jika sudah ditunjuk sebagai swasta pemenang tender pengadaan jasa proyek pemerintah kan, ada kontrak pengerjaan. Nah, semua isi kontrak itu ditentukan sepihak dari pihak panitia penyelenggara tender. Pemenang tender hanya bisa nurut saja. Setelah disimak isinya, tak ada sebutkan sanksi bagi pihak pemerintah bila melanggar maksud kerjasama dalam tender ini. Sementara pencantuman perihal sanksi bagi pemenang tender, banyak sekali pasal didalamnya. Apa artinya pihak pemerintah boleh seenaknya melanggar kontrak? Apalagi yang akan dihadapi nantinya bila ada kenapa-kenapa, adalah otoritas pemerintah.
Brief Answer: Bila hakim yang memeriksa dan memutus perkara dengan karakter demikian, masih memiliki pola bernalar hukum yang konservatif, maka gugatan pihak swasta selaku pemenang tender pengadaan barang / jasa akan ditolak karena tiada pencantuman secara detail terkait klausul sanksi dari pihak pemerintah—dengan alasan: tidak disepakati adanya perikatan perihal sanksi bagi para pihak ataupun bagi salah satu pihak bila melanggar perjanjian.
Sebaliknya, hakim dengan pola paradigma berpikir hukum yang lebih moderat, mulai melakukan rasionalisasi, dengan menyadari adanya ketidakseimbangan posisi antar para pihak yang saling mengikatkan diri, sehingga elemen pemenuhan ganti-rugi yang sebenarnya berpayung pada “pasal perbuatan melawan hukum” dibelakukan pula dalam suatu hubungan kontraktual “wanprestasi” guna “di-sempurna-kan”.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret dengan karakter yang sebaliknya, dimana tiada pengaturan bukan diartikan tidak dapat menuntut pemenuhan, dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa wanprestasi register Nomor 2817 K/Pdt/2013 tanggal 12 Juni 2014, perkara antara:
- PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PELALAWAN cq. KEPALA DINAS PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH (dahulu), DINAS PEKERJAAN UMUM (sekarang), SUB. DINAS CIPTA Karya, cq. PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN KEGIATAN PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA IBADAH (Multy years) DAHULU (MASA TAHUN ANGGARAN 2007); dan
- KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PELALAWAN;
... sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Tergugat dan Turut Tergugat; melawan
- PT. Adhi Karya (Persero) Tbk., selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Pelelangan Umum diadakan oleh Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Pelalawan Tahun Anggaran 2007, dengan sumber dana APBD Murni Multi Years. Penggugat yang memiliki usaha dibidang kontraktor jasa konstruksi berminat untuk mengikuti pelelangan dengan kemudian melengkapi syarat-syarat yang ditentukan untuk mengikuti pelelangan umum tersebut.
Pada 29 November 2007, diumumkan Pemenang Pelelangan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa, dimana Penggugat dinyatakan sebagai pemenang Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Ibadah di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau.
Menindaklanjuti evaluasi akhir dari yang dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa, selanjutnya diterbitkan Surat Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen tentang Surat Penunjukan Penyedia Jasa (SPPJ), dengan harga Borongan Rp29.588.000.000 dengan Jaminan Pelaksanaan sebesar Rp1.479.400.000 dengan jangka waktu pelaksanaan 20 bulan kalender dengan jangka waktu pemeliharaan 6 bulan kalender.
Setelah penerbitan Surat-Surat Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen Dinas Kimpraswil Kabupaten Pelalawan, yang diterbitkan oleh Sub. Dinas Cipta Karya, maka kemudian dibuatlah Kontrak Induk antara Pejabat Pembuat Komitmen atas nama Pemerintah Kabupaten Pelalawan dengan Kepala Cabang PT. Adhi Karya (Persero), Tbk.
Kemudian diperintahkan kepada pemenang pelelangan untuk segera melakukan proses pekerjaan dengan terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja.
Kemudian seiring berjalannya waktu pelaksanaan pekerjaan pembangunan, pihak otoritas pemerintahan membuat kebijakan moneter tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Jenis Minyak Tanah, Bensin, Premium dan Minyak Solar.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) secara langsung maupun tidak langsung telah berdampak pada setiap sektor industri dan ekonomi termasuk juga pada sektor usaha jasa konstruksi. Akibat dari kenaikan tersebut, barang-barang dan peralatan serta bahan yang dipakai dalam pembangunan proyek sarana dan prasarana menjadi naik sehingga mengakibatkan bertambahnya biaya atau nilai dari kesepakatan komitmen awal yang tertuang dalam kontrak perjanjian.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 16 tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang merupakan kebijakan pemerintah. Berdasarkan Perjanjian Kontrak Induk, Kontrak Anak beserta Addendumnya, pekerjaan pembangunan sarana dan prasarana yang dikerjakan oleh Penggugat telah memasuki tahap akhir, artinya pekerjaan fisik pembangunan telah selesai, oleh karenanya kemudian dilakukan serah terima pertama (PHO) oleh Penggugat kepada Tergugat berdasarkan Berita Acara Serah Terima antara Penggugat dan pihak Kuasa Pengguna Anggaran pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pelalawan unit kerja Bidang Cipta Karya.
Telah tuntasnya kewajiban Penggugat dengan telah dilakukannya serah terima objek perjanjian sesuai batas waktu yang diatur dalam kontrak induk.
Atas kenaikan harga terkait Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2008, tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, kemudian diupayakan Penyesuaian Harga/Eskalasi dalam pengerjaan pelaksanaan Pembangunan, nominalnya sampai dengan gugatan ini diajukan tidak pernah diupayakan perhitungan audit oleh Tergugat,  sehingga perhitungan nilai penyesuaian harga/eskalasi tidak dapat ditentukan besaran nominalnya.
Adanya kebijakan resmi pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak, berimbas pada biaya pengerjaan proyek, sehingga Penggugat merasa dirugikan dengan mengeluarkan biaya ekstra diluar kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak induk.
Pekerjaan yang dikerjakan oleh Penggugat kini telah dinikmati oleh masyarakat penggunaannya, sementara penyesuaian harga/eskalasi yang telah dimohonkan oleh Penggugat belum juga dipenuhi oleh Tergugat.
Terhadap penyesuaian harga/eskalasi, secara hukum Para pihak sepakat atas pekerjaan tersebut yang disebabkan telah terpenuhinya ketentuan dalam Kontrak Induk Pembangunan, terdapat pengaturan dalam Pasal 10 perihal Penyesuaian dan Konpensasi Harga Borongan, sebagai berikut:
“Penyesuaian harga borongan dapat diberikan kepada Pihak Kedua yang diakibatkan adanya eskalasi biaya dan perhitungan penyesuaian biaya sesuai dengan ayat (2) Pasal ini dan harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Pihak Kedua dapat diberikan konpensasi bila terbukti mengalami kerugian dalam menyediakan barang/jasa untuk hal-hal sebagai berikut:
- Pihak Pertama memodifikasi atau mengubah jadwal dengan pihak lain yang dapat memperngaruhi pekerjaan Pihak Kedua;
- Keterlambatan pembayaran kepada Pihak Kedua;
- Pihak Pertama tidak memberikan gambar-gambar spesifikasi atau instruksi sesuai jadwal yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan;
- Pihak Kedua belum bisa masuk lokasi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan;
- Pihak Pertama menginstruksikan kepada Pihak Kedua untuk melakukan pengujian tambahan dan ternyata setelah dilaksanakan pengujian tidak ditemukan kerusakan/kegagalan/penyimpangan. Kompensasi diberikan berupa penambahan harga sesuai perjanjian/kontrak dan atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan;
- Kenaikan harga bahan, barang, peralatan dan upah setelah surat perjanjian/kontrak dan selama masa pelaksanaan pekerjaan berlangsung ditanggung oleh Pihak Kedua;
“Pihak Kedua tidak dapat mengajukan klaim tuntutan untuk yang dijelaskan pada ayat (3) Pasal ini, kecuali ada kebijakan dari Pemerintah Republik Indonesia atau Pemerintah Propinsi Riau dalam bidang moneter secara resmi menyatakan tentang kenaikan tersebut yang diatur dalam ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan demikian, Penggugat menilai tidak ada alasan bagi Tergugat untuk tidak memenuhi penyesuaian harga/eskalasi terhadap pekerjaan yang telah dituntaskan oleh Penggugat karena hal tersebut telah disepakati dan tertuang dalam kontrak induk pekerjaan.
Penggugat mengutip pula Keppres Nomor 80 tahun 2003, yang menyatakan: “untuk kontrak yang jangka waktu pelaksanaannya lebih dari 12 (dua belas) bulan, bila dianggap perlu dalam dokumen pengadaan dapat dicantumkan ketentuan tentang penyesuaian harga (price adjustment) dan sekaligus dijelaskan rumus-rumus penyesuaian harga yang akan digunakan.”
Lamanya pengerjaan proyek Penggugat ialah 24 bulan, jadi sudah seharusnyalah Kontrak ini memuat tentang penyesuaian harga/eskalasi seperti apa yang diamanatkan oleh undang-undang.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa mengatur pula urutan hirarki bagian-bagian dokumen kontrak di dalam surat perjanjian, dengan maksud apabila terjadi pertentangan ketentuan antara bagian satu dengan bagian yang lain, maka yang berlaku adalah ketentuan berdasarkan urutan yang ditetapkan sebagai berikut:
20.1 Surat perjanjian;
20.2 Surat penawaran berikut kuantitas dan harga;
20.3 Amandemen kontrak;
2A.4 Ketentuan khusus kontrak;
20.5 Ketentuan umum kontrak;
20.6 Spesifikasi khusus;
24.7 Spesifikasi umum;
20.8 Gambar-gambar;
20.9 Dokumen lainnya seperti: jaminan-jaminan, SPPBJ, berita acara hasil pelelangan, berita acara penjelasan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;
Pasal 10 ayat (4) Kontrak Induk mengatur tentang dimungkinkannya terjadi penyesuaian harga apabila ada kebijakan resmi dari Pemerintah dalam bidang moneter, yang mengakibatkan kenaikan harga sebagai suatu force majeure, sehingga penyesuaian harga/eskalasi yang terjadi diakibatkan adanya Pengumuman Pemerintah yang secara resmi menyatakan kenaikan harga BBM yang kemudian berakibat pada kenaikan ongkos pengerjaan proyek.
Note SHIETRA & PARTNERS: Bila dahulu kala, seperti perihal anjloknya Kurs mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dinilai tetap mengikat para pihak yang saling mengikat diri dalam hubungan kontraktual berdasar atas “itikad baik”, seperti telah terjadi pada era Krisis Moneter Indonesia pada tahun 1998. Permasalahan hukum kedua, force majeur adalah alasan pemaaf untuk membatalkan perjanjian, ataukah justru sebagai alasan pembenar untuk menuntut sesuatu yang tidak pernah disepakati sebelumnya seperti kasus tersebut? Frasa “dimungkinkan”, artinya berpulang kepada kebijakan / kesediaan pengguna jasa, apakah akan memberikan penyesuaian biaya atau tidaknya.
Dengan dalil-dalil demikian, Penggugat menilai bahwa pemerintah telah melakukan wanprestasi kepada Penggugat, dimana Tergugat tidak melakukan permintaan kepada Intansi terkait yang merupakan tanggung jawab Tergugat untuk melakukan permintaan audit dan segera melakukan pembayaran penyesuaian harga/eskalasi kepada Penggugat berdasarkan hasil audit.
Akibat wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat, Penggugat mengalami kerugian nilai penyesuaian harga/eskalasi yang jumlahnya belum dapat diperhitungkan besaran nominalnya oleh karena belum dilaksanakan audit oleh intansi terkait atas permintaan Tergugat.
Sementara dalam bantahannya pihak Tergugat menyebutkan, Penggugat mengajukan gugatan ingkar janji (wanprestasi) dan ganti kerugian, namun secara nyata tidak merincikan besarnya nilai kerugian yang dimaksud Penggugat, sehingga Tergugat tidak mengerti terhadap besaran kerugian yang diderita Penggugat.
Sebagaimana ketentuan Yurisprudensi Mahkamah Agung, bahwa agar tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga (vide Pasal 1239 jo. 1247 BW) dapat dikabulkan oleh hakim asalkan dibuat secara rinci, nyata dan dicantumkan dalam surat gugatan.
Disamping itu dikatakan Penggugat bahwa Tergugat telah wanprestasi tidak membayar eskalasi, dalam hal ini Tergugat membantah bahwa tidak terdapat ingkar janji/wanprestasi karena pengerjaan proyek telah rampung progress 100% diiringi pembayaran akhir lunas 100% atas prestasi Penggugat ditandai dengan adanya PHO (penyerahan pertama) dan FHO (penyerahan final / akhir), sehingga membuktikan tidak terjadi kerugian karena kontrak telah selesai tanpa kendala / hambatan penyelesaian pekerjaan. Oleh karena dasar hukum dalil gugatan Penggugat tidak jelas dan kabur.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Pelalawan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 07/PDT.G/2012/PN.Plw., tanggal 28 November 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Penggugat adalah pihak yang benar dan harus dilindungi;
- Menyatakan Kontrak Induk Nomor 641/KIM/CK-PSAP/KTR/MY-06/XII/2007/808., tertanggal 11 Desember 2007, Pelaksanaan Pekerjaan proyek Pembangunan di Pangkalan Kerinci pada Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Ibadah Kabupaten Pelalawan Riau adalah sah dan berharga menurut hukum;
- Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat;
- Memerintahkan kepada Tergugat untuk segera melakukan permintaan audit kepada lembaga/intansi yang terkait berkenaan penyesuaian harga / eskalasi pekerjaan yang telah dikerjakan Penggugat;
- Menyatakan hasil seluruh audit Tergugat berdasarkan permintaan audit Tergugat yang dilakukan oleh intansi terkait, yang menghasilkan nilai penyesuaian harga/eskalasi adalah sah, bernilai dan berharga serta wajib dan harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat;
- Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian Penggugat, berupa:
Materiil: Melakukan pemenuhan pembayaran Penyesuaian Harga/ Eskalasi berdasarkan) Kontrak Induk Nomor 641/KIM/CK-PSAP/KTR/MY-06/XII/2007/808., dengan nilai final sebesar Rp29.588.000.000,00 (dua puluh sembilan miliar lima ratus delapan puluh delapan juta rupiah);
- Menghukum Turut Tergugat untuk wajib mematuhi isi putusan ini;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Para Tergugat, Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru dengan Putusan Nomor 38/Pdt/2013/PT.R., tanggal 17 Juni 2013.
Pihak pemerintah mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa permohonan kasasi diajukan pada tanggal 19 Juli 2013, sedangkan memori kasasi baru diterima di Kepaniteraan Negeri Palelawan pada tanggal 15 Agustus 2013, sedangkan permohonan kasasi telah diajukan pada tanggal 19 Juli 2013, dengan demikian pengajuan memori kasasi tersebut telah melewati tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
M E N G A D I L I :
“Menyatakan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PELALAWAN cq. KEPALA DINAS PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH (dahulu), DINAS PEKERJAAN UMUM (sekarang), SUB. DINAS CIPTA KARYA, cq. PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN KEGIATAN PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA IBADAH (multy years) DAHULU (MASA TAHUN ANGGARAN 2007) DIJABAT OLEH H. AMRASUL ABDULLAH, S.T., 2. KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PELALAWAN, tersebut, tidak dapat diterima.”
Putusan diatas merupakan salah satu putusan yang menghadirkan nuansa berbeda dari berbagai putusan mainstream terkait persepsi perikatan kontraktual, dimana selama ini apa yang tertuang dalam kontrak menjadi satu-satunya fokus pandang, sementara konteks kondisi luar tidak diakui.
Terlebih, biasanya force majeur hanya menjadi alasan untuk membatalkan kontrak, dimana menjadi pertanyaan bersama bagi kita bersama: mengapa pihak Penggugat tetap melaksanakan isi kontrak, sementara terdapat escape clause untuk membatalkan kontrak lewat keberadaan kebijakan resmi pemerintah pusat terkait kenaikan harga BBM?
Tetap dilanjutkannya perikatan kontraktual oleh pihak Penggugat, bukankah artinya dapat dimaknai sebagai tidak berkeberatannya pihak Penggugat untuk melanjutkan isi perikatan dengan biaya pengerjaan yang telah ditawarkan dalam kontrak?
SHIETRA & PARTNERS menilai, diajukannya gugatan oleh Penggugat bukanlah suatu langkah bijak, sebab bila sejak awal dikalkulasi proyek tak dapat berjalan akibat rugi yang diderita akibat kenaikan biaya BBM yang merupakan kebijakan resmi pemerintah, maka proyek tak perlu dilanjutkan—terlebih Penggugat menyatakan kenaikan harga BBM baru terjadi saat proyek menjelang tuntas.
Menggugat pengguna jasa sama artinya memutus siklus/rantai potensi kerja sama di masa mendatang. Terkadang, sebagai nasehat hukum terbaik, instrumen gugatan perlu digunakan “sehemat” mungkin. SHIETRA & PARTNERS menilai, pihak Penggugatlah yang telah “kalah” untuk konteks dimasa mendatang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.