Pengusaha Mem-pailitkan Dirinya Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Kami dengar perusahaan bisa meminta agar perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan permintaan perusahaan ke pengadilan, benarkah bisa?
Brief Answer: Tidak semudah itu, meski secara teori dimungkinkan. Syarat mutlak sederhananya sifat pembuktian hutang-piutang terhadap para kreditor, tetap berlaku, sekalipun dalam konteks permohonan pailit diajukan oleh pihak debitor itu sendiri.
Dalam praktik, bila yang mengajukan pailit ialah pihak debitor, maka selain prasyarat adanya minimum dua kreditor, salah satu hutang telah jatuh tempo, sederhananya sifat pembuktian hutang-piutang, juga neraca defisit keuangan wajib diaudit oleh akuntan publik sebelum dapat mengajukan permohonan pailit.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah perkara permohonan pailit yang cukup unik sekaligus menarik untuk SHIETRA & PARTNERS angkat sebagai rujukan, sebagai fenomena antinomi buruh yang mempailitkan pengusaha yang menunggak upah, sebaliknya dalam kasus berikut pihak pengusaha itu sendiri yang mengajukan pailit terhadap diri sang pengusaha itu sendiri karena merasa kondisi keuangan perusahaan diproyeksikan tidak sanggup membayar upah.
Dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara kepailitan register Nomor 515 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 30 Desember 2013, yang diajukan oleh PT. J AND J GARMENT INDONESIA, selaku Pemohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit, adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pakaian jadi (konveksi) dari textile semacam kemeja, celana, jaket, rok. rompi, blus, pakaian olah raga dan pakaian bayi.
Dalam menjalankan bidang usaha, pada mulanya usaha berjalan dengan baik, dan Pemohon senantiasa melakukan kewajiban-kewajiban pembayaran baik kepada para supplier, tenaga kerja, bank, maupun kewajiban pajak sebagaimana mestinya.
Namun memasuki awal tahun 2013, jalannya perseroan mulai berjalan kurang baik secara finansial yang disebabkan oleh persoalan dalam mengelola perseroan maupun dalam manajemen perseroan, serta terhentinya pesanan-pesanan oleh konsumen dan persoalan tersebut terus berlangsung sampai saat ini. Oleh karenanya, perseroan tidak mungkin dilanjutkan lagi.
Berdasarkan neraca keuangan terakhir, saat ini perseroaan memiliki hutang kepada pihak ketiga / kreditur yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta gaji karyawan yang tertunggak yaitu masing-masing dengan daftar tagihan sebagai berikut:
1.) Karyawan PT. J and J Garment Indonesia berjumlah 922 karyawan gaji tertunggak sejak tanggal 15 Juni 2013, sebesar Rp3.000.000.000.
2.) 59 pihak kreditor lainnya.
Meski seluruhnya telah jatuh tempo, namun Pemohon tidak mampu untuk melunasinya. Mengingat kondisi perseroan yang demikian, Direksi dan Para Pemegang saham kemudian membuat Keputusan Pemegang Saham Diluar Rapat Umum Pemegang Saham (Circulair Resolution) berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, yang pada pokoknya Para Pemegang Saham telah menyepakati rencana upaya Permohonan Pailit yang diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Maka terdapat fakta hukum bahwa Pemohon mempunyai 2 (dua) Kreditur / lebih yang telah jatuh tempo, dimana Pemohon tidak dapat membayarnya, sehingga dengan demikian telah memenuhi syarat untuk dapat dinyalakan Pailit berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Tentang Kepailitan, yang mengatur:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
Dikaitkan dengan kaedah Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (dua) Ayat 1 (satu) telah terpenuhi.”
Terhadap permohonan pernyataan pailit yang diajukan sang pengusaha, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor Nomor 41/Pdt.Sus/Pailit/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. tanggal 21 Agustus 2013, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa adanya fakta hak-hak buruh (kreditur lain 1) incasu hak-hak buruh kreditur lain 2 yang belum terpenuhi atau belum dibayar masih menimbulkan sengketa mengenai macam dan besarnya hak buruh sehingga pelaksanaanya masih menimbulkan sengketa maka menurut penilaian majelis hakim pembuktian terhadap perkara ini tidak bersifat sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU sehingga cukup beralasan menurut hukum permohonan Pernyataan pailit dari Pemohon pailit harus ditolak;
MENGADILI :
Menolak permohonan pernyataan Pailit dari Pemohon.”
Pihak pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan beragumentasi bahwa Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK secara jelas mengatur pembatasan agar suatu permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan, yaitu:
(i) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor; dan
(ii) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Dalam Perkara Kepailitan ini, kedua syarat diatas sudah terpenuhi, dengan total kreditur sebanyak 60 dan telah hadir 3 (tiga) kreditur dalam persidangan, dimana Pengadilan Niaga telah mengakui adanya hutang pemohon pailit kepada 3 (tiga) kreditor, yakni:
(i) Kreditur Karyawan PT. J and J yang diwakili Kuasanya;
(ii) Kreditur PT. Starnesia Garment;
(iii) Kreditur PT. Maju Jaya Abadi.
Dengan demikian seharusnya pengadilan mengabulkan permohonan yang diajukan oleh pengusaha untuk pailit, demikian sang pengusaha mendalilkan. Namun pihak pekerja dari sang pengusaha memberikan keterangan di persidangan, bahwa tidak benar terhentinya order dan usaha export Pemohon Pailit.
Disisi lain, Pengadilan Niaga mengakui hak-hak buruh belum terpenuhi atau belum dibayar, bukankah berarti adalah merupakan hutang Pemohon Kasasi kepada Kreditur (Karyawan)?
Pihak pengusaha merujuk pula ketentuan Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan substansi bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 1567 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156.
Pengusaha mengutip kaedah dalam Yurisprudensi Putusan Pengadilan Niaga No. 35/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt. Pst. Jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02K/N/2003, yang menyatakan:
“Apabila yang diperdebatkan itu hanya tentang jumlah besarnya utang, sedangkan adanya eksistensi utangnya itu sendiri sudah jelas terbukti, maka dalam hal demikian telah memenuhi pembuktian sederhana.”
Bahwa dengan kata lain yang dimaksud “terbukti secara sederhana” adalah kreditor dapat membuktikan bahwa debitor berutang kepadanya, dan utang tersebut belum dibayarkan oleh sang debitor, sekalipun telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudian kreditor tersebut dapat membuktikan di hadapan pengadilan, bahwa debitor mempunyai kreditor lain. Jika menurut hakim adanya hutang memang benar, tanpa melihat besar kecilnya jumlah tagihan kreditor, maka Hakim seharusnya mengabulkan permohonan Kepailitan yang diajukan.
Pengusaha mengutip pula pendapat ahli (doktrin) seorang Hakim Agung, Prof. Dr. Paulus Efendy Lotulung, SH dalam makalahnya yang berjudul “Pengertian Tentang Pembuktian Sederhana Dalam Kepailitan”, disebutkan:
“Apabila yang diperdebatkan itu hanyalah tentang jumlah besarnya utang, sedangkan adanya eksistensi utangnya itu sendiri sudah jelas terbukti, maka dalam hal demikian telah memenuhi pembuktian secara sederhana.”
Pengusaha mengajukan pula Yurisprudensi Putusan MA Nomor Register: 033 K/N/2003 Tanggal 19 Januari 2004, yang menyatakan:
“Sepanjang terbukti adanya kedudukan kreditor lain dari Termohon Pailit, maka syarat pailit sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU 4/1998 adalah terpenuhi, dan karenanya permohonan pailit a quo haruslah dikabulkan.”
Pengusaha mendalilkan, kondisi perusahaan saat ini sudah tidak lagi beroperasi, dan dengan mengingat kondisi perusahaan, maka pada hakikatnya secara bisnis sudah tidak dapat lagi melanjutkan roda usaha, terlebih untuk membayar upah para pekerja. Dimana terhadap dalil-dalil Pemohon Pailit, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 28 Agustus 2013 dan kontra memori tanggal 24 September 2013 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa hutang-hutang Pemohon Kasasi dihubungkan dengan neraca keuangan terakhir Pemohon Kasasi belum dilakukan audit oleh akuntan publik;
“Bahwa besarnya jumlah pembayaran pada para buruh membutuhkan perhitungan yang tidak sederhana;
“Oleh karena itu hal tersebut diatas tidak memenuhi alasan “sederhana dalam permohonan Pailit;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 41/Pdt.Sus/Pilit/2013/P.N.NIAGA. tanggal 21 Agustus 2013 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. J and J Garment Indonesia tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. J AND J GARMENT INDONESIA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.