Antara Mangkir & Mengundurkan Diri

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apakah antara mangkir kerja seorang karyawan selalu dapat dimaknai pihak perusahaan sebagai pengunduran diri? Jadi kapan mangkir kerja baru dapat disebut sebagai mengundurkan diri, jika demikian?
Brief Answer: Terdapat dua elemen mendasar untuk pihak Pengusaha dapat menyatakan pekerjanya telah mengundurkan diri: mangkir 7 (tujuh) hari secara berturut-turut, dan telah dipanggil secara patut oleh Pengusaha sebanyak 2 (dua) kali namun Pekerja bersangkutan tetap tidak masuk bekerja untuk kembali menunaikan tugasnya. Salah satu elemen tidak terpenuhi, maka Pekerja tidak dapat dikualifikasi sebagai mengundurkan diri, namun hanya sebatas no work no paid.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 63 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 29 Mei 2014, perkara antara:
- LEGIMIN, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PIMPINAN CV. MAJU JAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan tenaga kerja Tergugat, perusahaan yang bergerak di bidang Motor Derek. Penggugat telah mengabdikan diri selama 22 tahun kepada Tergugat sebagai tenaga supir, yaitu suatu pekerjaan yang bersifat tetap, tidak bergantung pada musim ataupun cuaca, serta bukan berkaitan dengan produk baru atau kegiatan usaha yang masih dalam tahap penjajakan.
Oleh karena hubungan kerja antara Penggugat beserta karyawan lainnya dengan Tergugat tidak pernah dibuatkan secara tertulis, maka pada tahun 2012, Penggugat beserta karyawan lainnya meminta agar dibuatkan perjanjian kerja secara tertulis agar diperoleh suatu kepastian hukum yang menyangkut hak dan kewajiban antara tenaga kerja dengan Tergugat selaku pelaku usaha.
Akan tetapi, sebagai respon, Tergugat menyusun draf perjanjian kerja secara tertulis yang isinya merugikan dan menjerat diantaranya: Tergugat bebas memberikan upah/gaji lebih rendah dari UMK Kota Medan dan bebas untuk tidak mengikutsertakan dalam program Jamsostek, sehingga Penggugat beserta karyawan lainnya tidak bersedia menandatangani.
Betapa terkejutnya Penggugat menerima reaksi Tergugat yang menempelkan pengumuman di pintu masuk tempat bekerja pada tanggal 31 Mei 2012 yang menyatakan bahwa perusahaan ditutup sampai batas waktu yang tidak ditentukan sehingga Penggugat termasuk karyawan lainnya tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Medan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 54/G/2013/PHI.Mdn. tanggal 21 Oktober 2013, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sesuai keterangan saksi Suwandi dan haris di persidangan terbukti bahwa Penggugat tidak masuk kerja setelah melaksanakan unjuk rasa pada tanggal 31 Februari 2012 bahkan pada tanggal 10 Juni 2012 Tergugat telah memberi kesempatan dan menghimbau Penggugat supaya masuk kerja, namun Penggugat dan rekan-rekan Penggugat tidak bersedia kerja kembali meski telah dipanggil melalui handphone, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat telah mangkir dan tidak menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat terbukti tidak masuk kerja setelah unjuk rasa dan pada tanggal 10 Juni 2012 Tergugat telah memberikan kesempatan dan menghimbau Penggugat supaya masuk kerja, namun Penggugat tidak bersedia kerja kembali, sehingga Majelis Hakim berpendapat Penggugat tidak secara bersungguh-sungguh berkeinginan untuk bekerja lagi.
“Dengan demikian Penggugat dapat dikualifikasikan telah mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara tegas mengatur bahwa pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Menimbang bahwa tuntutan selanjutnya dari Penggugat yaitu tentang tindakan Tergugat yang tidak memberikan hak nomative Penggugat berupa upah yang layak dan setidaknya sesuai dengan besaran UMK Kota Medan, sehingga akibat tindakan Tergugat tersebut telah menyebabkan kerugian bagi Penggugat yakni kekurangan upah sejak tahun 2006 sampai dengan bulan juni 2012 yang jika diperhitungkan berjumlah Rp53.879.980 Majelis berpendapat tidak cukup dibuktikan oleh Penggugat yang seharusnya terlebih dahulu dihitung dan ditetapkan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Kota Medan, maka dari itu tuntutan tersebut haruslah dinyatakan ditolak;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus karena Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri;
- Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja tersebut berupa uang pisah dan uang penggantian hak perumahan dan perobatan sebesar Rp7.630.972,- (tujuh juta enam ratus tiga puluh ribu sembilan ratus tujuh puluh dua rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan menyatakan bahwa pihak Pengusaha yang sebenarnya telah sengaja memberhentikan Penggugat, yakni dengan cara menempelkan sebuah pengumuman di pagar areal tempat kerja yang secara resmi diberi stempel dan tanda-tangan, agar Pemohon Kasasi bersama karyawan lainnya tidak dapat masuk bekerja atau dengan kata lain diberhentikan secara perlahan–lahan.
Pengumuman oleh pihak Pengusaha ditempel tepat di pagarnya, yang berisikan “Terhitung sejak mulai tanggal 31 Mei 2012 Perusahaan tidak melakukan operasional apapun hingga waktu yang tidak ditentukan.”
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 11 November 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 16 Desember 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi mendasarkan pada pertimbangan hukum, bahwa Termohon telah mengundurkan diri, dengan ketidak hadirannya bekerja, dan hal tersebut dibenarkan dalam putusan PHI;
“Bahwa, mangacu ketentuan yang berlaku khususnya Pasal 168 ayat 1 Tahun 2003 terhadap pekerja yang mangkir untuk dapat didiskualifikasi mangkir harus telah dilakukan panggilan kerja secara patut 2 kali secara tertulis, hal mana tidak terbukti dilakukan Termohon Kasasi;
“Bahwa, namun oleh karena kedua belah pihak sama-sama ingin mengakhiri hubungan kerja sama dengan alasan telah melakukan perbuatan indisipliner / melanggar peraturan perusahaan yakni mangkir bekerja, maka PHK tehadap Pemohon Kasasi atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dengan mengingat masa kerja Penggugat yang telah 23 tahun;
“Menimbang, bahwa namun demikian terlepas dari keberatan-keberatan atau alasan kasasi dari Pemohon Kasasi a quo putusan PHI a quo khususnya dalam pokok perkara yang pada pokoknya mendasarkan pada pertimbangan hukum Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri, putusan mana tidak dapat dibenarkan karena telah salah dalam penerapan hukumnya;
“Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terhadap pekerja yang mangkir 5 hari kerja/lebih a quo untuk dapat dikualifikasikan mengundurkan diri a quo harus telah dilakukan panggilan kerja 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta sebagaimana yang disimpulkan oleh PHI tidak ada bukti Tergugat telah melakukan 2 (dua) panggilan kerja sebagaimana dimaksud kecuali hanya ada panggilan kerja pada tanggal 10 Juni 2012, maka atas mangkirnya a quo Penggugat tidak dapat dikualifikasikan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa karena kedua belah pihak pada pokoknya telah sama-sama ingin mengakhiri hubungan kerja, maka dengan memperhatikan ketentuan Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus terhitung sejak putusan PHI diucapkan tanggal 21 Oktober 2013;
“Menimbang, bahwa karena dalam PHK a quo adanya kesalahan/pelanggaran mangkir yang dilakukan oleh Penggugat, maka atas PHK a quo Penggugat berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak atas perumahan serta pengobatan dan perawatan dengan menerapkan ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa sebagaimana yang didalilkan Penggugat dan dalil a quo tidak dibantah oleh Tergugat, Penggugat telah memulai hubungan kerja sejak bulan Maret 1990 sehingga sampai dengan tanggal 21 Oktober 2013 mempunyai hubungan kerja selama 23 tahun lebih dan besarnya upah sebagaimana yang ditetapkan oleh PHI a quo sebesar Rp1.374.950,00/bulan, maka atas PHK a quo Penggugat berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak atas perumahan serta pengobatan dan perawatan dengan perhitungan sebagai berikut :
- Uang Pesangon : 9 x Rp1.374.950,00 = Rp12.374.550,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja : 8 x Rp1.374.950,00 = Rp10.999.600,00
- Uang Penggantian Hak Atas Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan : 15% x (Rp12.374.550,00 + Rp10.999.600,00) = Rp 3.506.122,00
Jumlah =Rp26.880.272,00
“Menimbang, bahwa putusan PHI yang ada pokoknya menolak gugatan/tuntutan Penggugat lainnya selain berkenaan dengan kompensasi PHK a quo, putusan mana telah tepat dan benar dalam penerapan hukumnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas serta kontra memori kasasi, karena Mejelis Hakim PHI telah salah dalam menerapkan hukum, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 beralasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, dan oleh karenanya permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi a quo harus dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Legimin tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 54/G/2013/PHI.Mdn. tanggal 21 Oktober 2013 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini :
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : LEGIMIN tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 54/G/2013/PHI.Mdn. tanggal 21 Oktober 2013;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus sejak putusan PHI diucapkan tanggal 21 Oktober 2013;
- Menghukum Tergugat membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak atas penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan dengan perhitungan sebagai berikut:
- Uang Pesangon : 9 x Rp1.374.950,00 = Rp12.374.550,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja : 8 x Rp1.374.950,00 = Rp10.999.600,00
- Uang Penggantian Hak Atas Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan : 15% x (Rp12.374.550,00 + Rp10.999.600,00) = Rp 3.506.122,00
Jumlah = Rp26.880.272,00
- Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.