Alternatif Asuransi Jiwa Ketenagakerjaan

LEGAL OPINION
Question: Apakah boleh, perusahaan dan pihak pegawai menyepakati untuk mengikuti program asuransi jiwa swasta selain program asuransi jiwa tenagakerja yang diadakan pihak pemerintah?
Brief Answer: Selama disepakati antara pemberi kerja dengan pihak pekerja, maka berlaku asas kebebasan berkontrak (pacta sunt servanda). Program jaminan sosial tenaga kerja yang diselenggarakan pemerintah merupakan standar paling minimum—artinya, sepanjang terdapat program lain dengan standar yang lebih tinggi, dimana pekerja pun menyepakati demikian, maka pilihan program proteksi demikian adalah sah-sah saja, sebagaimana juga dipraktikkan oleh sebuah BUMN dalam contoh kasus pada bagian pembahasan.
Dalam konteks komponen iuran jaminan kematian ataupun kecelakaan kerja, yang dilihat ialah nilai manfaat pertanggungan, bukan lembaga asuransi jiwa swasta atau pemerintah yang menjadi sentral perhatian. Ketika nilai pertanggungan manfaat asuransi swasta dinilai telah lebih tinggi dari program jaminan pemerintah dengan premi 100% yang dialokasikan oleh hukum ketenagakerjaan, maka tiada lagi alasan bagi hakim untuk memaksakan pemberlakuan standar paling minimum sebagaimana program asuransi ketenagakerjaan yang diselenggarakan pemerintah.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat memberi gambaran secara lugas, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk pada relevansi putusan Mahkamah Agung RI sengketa jaminan sosial tenaga kerja register Nomor 777 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 3 November 2016, perkara antara:
- Ahli waris dari Almarhum HALIMIN BIN A. ROZAK, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Para Penggugat; melawan
- PT. BUKIT ASAM (Perserto) Tbk., selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat; dan
- BPJS KETENAGAKERJAAN cq. Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Wilayah Sumbagsel, cq. Kepala Kantor BPJS Ketangakerjaan Cabang Muara Enim, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat.
Para Penggugat merupakan ahli waris dari Almarhum Halimin Bin A Rozak, Pegawai PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., dengan Jabatan Operator ATU Senior, yang ditugaskan dilokasi penambangan batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Sementara itu Tergugat merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berpedoman pada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berdasarkan hasil kesepakatan antara Tergugat dengan Serikat Pegawai Bukit Asam (PKB PT BA-SPBA Tahun 2014-2016).
Pada tanggal 25 Januari 2015, Halimin Bin A Rozak mengalami kecelakaan kerja yakni tertimbun tanah di lokasi tambang batubara PT. Bukit Asam Tanjung Enim, yang mengakibatkan meninggal dunia, dimana oleh Turut Tergugat kejadian tersebut ditetapkan sebagai Kecelakaan Kerja.
Ahli waris dari Pekerja/Buruh yang meninggal akibat dari kecelakaan kerja berhak menerima Santunan Kematian Akibat Kecelakaan Kerja atau biasa disebut juga dengan Santunan Kecelakaan Kerja dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebesar 48 bulan upah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2010 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993, yang pada pokoknya menyatakan, besaran santunan kematian dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) sebesar 60% x 80 bulan upah = 48 bulan upah.
Sementara yang dimaksud dengan terminologi “Upah”, ialah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja termasuk tunjangan. Sehingga, menurut Penggugat, santunan kecelakaan lerja program BPJS yang wajib dibayar oleh Turut Tergugat kepada Para Penggugat adalah 60% x 80 bulan upah atau sebesar 48 x Rp10.781.191,00 (upah pekerja) = Rp517.521.168,00.
Sementara pada tanggal 9 Maret 2015, Para Penggugat selaku ahli waris Pekerja, menerima Santunan Kecelakaan Kerja dari Turut Tergugat sebesar Rp141.889.612,32,00. Oleh sebab besaran Santunan Kecelakaan Kerja yang dibayar oleh Turut Tergugat tidak sesuai harapan, maka Para Penggugat menyampaikan surat klarifikasi kepada Turut Tergugat mempertanyakan dasar upah pembayaran santunan.
Turut Tergugat kemudian memberi tanggapan, BPJS telah melakukan penetapan sesuai upah yang dilaporkan pihak perusahaan, dan pembayaran klaim tersebut ke rekening ahli waris, dengan perincian: (a) Santunan Kecelakaan Kerja 60% x 80 bulan x Rp2.956.033,59,00 = Rp141.889.612,32,00.
Berdasarkan data yang diungkap Turut Tergugat, Para Penggugat baru mengetahui ternyata Tergugat melaporkan upah pekerjanya sebagai dasar pembayaran premi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada Turut Tergugat adalah sebesar Rp2.956.033,59.
Tergugat yang melaporkan besar upah sebagai dasar pembayaran Premi BPJS Almarhum Halimin Bin A Rozak sebesar Rp2.956.033,59,00 dinilai bertentangan dengan hukum, karena seharusnya yang menjadi dasar pembayaran premi BPJS oleh Tergugat kepada Turut Tergugat adalah upah yang dibayarkan Tergugat kepada Almarhum Halimin Bin A Rozak yaitu sebesar Rp10.781.191,00.
Penggugat merujuk norma Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, yang memiliki pengaturan:
“Apabila pengusaha dalam menyampaikan data terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut.”
Penggugat meminta Tergugat untuk melakukan pembayaran kekurangan santunan Kecelakaan Kerja sebesar Rp375.631.556,00 dengan perincian: Santunan yang seharusnya diterima Para Penggugat dikurangi dengan Santunan yang telah dibayar oleh Turut Tergugat, Rp517.521.168,00 - Rp141.889.612,32 = Rp375.607.556,00.
Tidak mendapat tanggapan, selanjutnya Para Penggugat menyampaikan permohonan Mediasi dan meminta Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Muara Enim untuk menetapkan Kekurangan Santunan Kecelakaan Kerja.
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Pada Disnaker Muara Enim menerbitkan Surat Keputusan tentang Penetapan Kecelakaan Kerja, dan mewajibkan Tergugat untuk membayar kekurangan Santunan Kecelakaan Kerja sebesar Rp375.607.556,00—Note Penulis: terdapat fenomena masif pejabat pada Disnaker yang tidak memahami dengan baik berbagai regulasi terkait ketenagakerjaan, sebagaimana ketika berbagai perusahaan yang terpaks ‘down grade’ atas program asuransi kesehatan yang dipaksakan mengikuti BPJS Kesehatan.
Penetapan Pegawai Pengawas tidak diindahkan Tergugat, maka Para Penggugat mengajukan Gugatan Perselisihan Hak dengan tuntutan agar Tergugat membayar kekurangan Santunan Kecelakaan Kerja sebesar Rp375.607.556,00 dengan perincian: Santunan yang seharusnya diterima Para Penggugat sebesar Rp517.521.168,00 dikurangi dengan Santunan yang telah dibayar oleh Turut Tergugat sebesar Rp141.889.612,32.
Terhadap gugatan para ahli waris Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Klas IA Palembang kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 11/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Plg., tanggal 30 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, setelah memeriksa dan meneliti Nota Pemeriksaan serta Keputusan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Muara Enim Nomor: 560/891/Nakertrans/6.3/2015 tanggal 15 Juli 2015, ternyata pihak Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Muara Enim dalam menerbitkan surat-surat tersebut tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial nasional, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan penyelenggara Jaminan Sosial, serta ketentuan perundang-undangan bersangkutan, bahkan surat-surat tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek yang telah dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sebagaimana ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sehingga demi hukum surat-surat tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
“Menimbang, bahwa dalam pembahasan pembuatan dan pembahasan mengenai diberlakukannya PKB tersebut, Tergugat dengan SPBA telah menyepakati sebagai dasar perhitungan Premi Jamsostek adalah sebesar 40% dari gaji;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi.-saksi yang diajukan Tergugat, hal mana keterangan saksi JULISMI, S.T. selaku pengurus SPBA pada pokoknya menerangkan sebagai dasar perhitungan Premi Jamsostek sebesar 40% dari gaji telah disepakati oleh SPBA dengan PT. Bukit Asam (Persero) Tbk selaku Tergugat, sedangkan terhadap bukti T-5 berupa Keputusan Direksi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Nomor 107/KEP/Int-0100/PG.09/2012 tanggal 02 Mei 2012 yang menetapkan dasar perhitungan Premi Jamsostek adalah sebesar 40% (empat puluh perseratus) dari gaji tidak pernah ditolak ataupun dipermasalahkan oleh SPBA selaku Serikat Pekerja di perusahaan Tergugat;
“bahwa setoran iuran Premi Kecelakaan Kerja ke BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku adalah sebesar 100% (seratus perseratus) dari Penghasilan pekerja/buruh sebulan, dan tidak diatur bahwa pengusaha dapat menyetorkan iuran secara terbagi ke lembaga/badan lainnya selain BPJS Ketenagakerjaan meskipun manfaat yang didapat lebih baik dari Klaim BPJS, hal mana apabila Tergugat melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut maka merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, akan tetapi perbuatan tersebut merupakan pokok perkara yang terpisah dari pokok perkara dalam perselisihan hak ini;
“Menimbang, bahwa Nota Pemeriksaan serta Keputusan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Muara Enim Nomor 560/891/Nakertrans/-6.3/2015 tanggal 15 Juli 2015 tersebut selain didasarkan ketentuan Undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku dan telah dicabut, juga tidak mempertimbangkan bahwa Para Penggugat selaku Ahli waris Almarhum Halimin Bin A.Rozak terbukti telah menerima Santunan kematian akibat kecelakaan kerja seluruhnya adalah sebesar Rp.633.194.490,00 (enam ratus tiga puluh tiga juta seratus sembilan puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh Rupiah), bukan hanya menerima sebesar Rp141.889.612,00;
“Menimbang, bahwa kekurangan pembayaran Santunan kematian akibat kecelakaan kerja sebesar Rp375.607.556,00 sebagaimana yang dituntut Para Penggugat, sepatutnya juga dengan mempertimbangkan Bantuan Biaya Pegawai meninggal dunia akibat Kecelakaan Kerja sebesar Rp484.504.878,00 dari Tergugat yang merupakan Klaim dari setoran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja sebesar 60% (enam puluh perseratus) dari gaji yang disetorkan oleh Tergugat ke Lembaga/Badan asuransi lainnya selain ke BPJS Ketenagakerjaan yang telah diterima oleh Para Penggugat;
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Para Penggugat adalah ahli waris yang sah dari Almarhum Halimin T.BA:6386126607;
3. Menyatakan meninggalnya Almarhum Halimin Bin A. Rozak, Pegawai PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Nomor PT.BA: 6386126607 adalah meninggal akibat kecelakaan kerja;
4. Menghukum Para Penggugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp221.000,00 (dua ratus dua puluh satu ribu Rupiah);
5. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selebihnya.”
Ahli waris Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mendalilkan bahwa nota pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi domain yurisdiksi PTUN untuk menyatakan sah atau tidaknya, bukan PHI.
Pasal 72 Ayat (2) dan Ayat (5) PKB PT. BA - SPBA Tahun 2014-2016, telah menetapkan besaran Pembayaran Premi (iuran) BPJS, sebagaimana tercantum dalam Pasal 72 ayat (3) Selengkapnya berbunyi: Pembayaran Premi Jamsostek adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan dan/atau sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan tentang JSN dan BPJS yang berlaku.
Pasal 72 ayat (5) PKB PT.BA - SPBA tahun 2014-2016 mewajibkan perusahaan menyelesaikan Klaim Asuransi yang menjadi Hak Pegawai. Begitupun tentang besaran iuran dan tanggungjawab terhadap Iuran JKK program BPJS, telah ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, selengkapnya berbunyi:
- Ayat (1) huruf a: iuran program jaminan kecelakaan kerja kelompok V: 1,74% dari upah sebulan;
- Ayat (2): Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
Dimana terhadapnya kasasi dimohonkan ahli waris pekerja, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Palembang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan sesuai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Surat Keputusan Direksi tentang Pemberian Santunan Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja karena terbukti Tergugat telah memasukkan Pewaris dari Para Penggugat (Pekerja) ke asuransi lain dengan menyetor kekurangan premi yang disetor ke BPJS sehingga setoran preminya 100% (seratus persen);
- Bahwa Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kewenangan mengesampingkan bukti Penetapan Pegawai Pengawas karena sesuai fakta-fakta di persidangan ternyata penetapan tersebut keliru sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Palembang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: ERMAWATI BINTI TOYIB, dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. ERMAWATI BINTI TOYIB, 2. WENNY LIDYA BINTI HALIMIN, 3. DORESCA SURYA BIN HALIMIN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.