Pekerja Kontrak Tidak Mendapat Upah Proses Meski Menjelma PKWTT

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) menyatakan meski status pekerja kontrak yang PKWT demi hukum dinyatakan hakim sebagai PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), namun bila perusahaan memecat secara sepihak, pekerja tidak dapat upah selama masa sengketa (Upah Proses) dengan alasan PKWT telah berakhir masa berlakunya? Apa iya, bisa sampai terjadi begitu, kedengarannya aneh sekali dan sukar dipercaya.
Brief Answer: Begitulah adanya, dan tren-nya saat ini kecenderungan para Pengusaha mengikat para Pekerjanya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), tidak lain tidak bukan guna menghindari resiko Upah Proses alias Upah Skoorsing, sekalipun jenis pekerjaan bersifat tetap dan demi hukum beralih menjadi PKWTT.
Hal tersebut akan sangat kentara ketika masa kerja Pekerja kurang dari 3 tahun, maka yang sangat diharapkan oleh Pekerja, bukanlah Uang Pesangon yang tidak seberapa, namun Upah Proses. Ketika Upah Proses tidak lagi menjadi resiko bagi pihak Pengusaha, sama artinya memasung Pekerja yang pada gilirannya mengurungkan niat untuk menggugat pemberi kerja yang memutus hubungan kerja secara sepihak.
Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bagai menjadi ‘duri dalam daging’, disebabkan diatur dalam pasal tersebut, bahwa hubungan kerja berakhir karena habisnya masa kerja dalam kontrak, tanpa perlu adanya penetapan dari lembaga penyelesian perselisihan (Pengadilan Hubungan Industrial / PHI).
Ironis memang, dan Mahkamah Agung RI telah secara konsisten memberlakukan kaedah normatif demikian, meski disaat bersamaan menyatakan “demi hukum” PKWT menjelma PKWTT, dimana Mahkamah Agung tidak akan sungkan menganulir putusan PHI yang memberi Upah Proses terhadapnya. Mahkamah Konstitusi RI pun membenarkan praktik demikian, tanpa langkah koreksi apapun.
Selama pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan terkait diskriminasi terhadap Pekerja Kontrak (PKWT) belum direvisi oleh parlemen, maka Mahkamah Agung tidak salah sepenuhnya karena memutus demikian. Kontribusi konkret ketidakadilan justru dikontribusikan oleh lembaga Mahkamah Konstitusti RI yang membenarkan praktik demikian lewat pembiaran dengan menyatakan tiada hal yang keliru dengan pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan terkait Pekerja Kontrak yang “demi hukum” beralih menjadi PKWTT namun tanpa Upah Proses—legitimasi dan justifikasi oleh MK RI yang tidak pada proporsinya karena menafikan fungsi dan perannya selaku pengawal konstitusi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut SHIETRA & PARTNERS angkat sebagai cerminan, yakni putusan Mahkamah Agung sengketa PHK disertai perseliihan hak / kepentingan, register Nomor 336 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 22 Juni 2015, perkara antara:
- PT. JABA GARMINDO, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
1. MUHAMAD NAHROWI; 2. LUTFI ADI SUSANTO; 3. AKHMAD AFANDA RISANTO; 4. SUHERMAN; 5. JUMADI; 6. APRIL LOVE ANDRYANTO S., selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Mediator Hubungan Industrial Disnaker terhadap sengketa ketenagakerjaan ini, menerbitkan Anjuran tertulis dengan amarnya menganjurkan hal-hal sebagai berikut:
“Menganjurkan :
1. Agar hubungan kerja antara PT. Jaba Garmindo dengan pekerja Sdr. Akhmad Afanda R, Dkk (6 orang) belum berakhir dan masih tetap berlanjut;
2. Agar perusahaan PT. Jaba Garmindo membayar upah pekerja Sd.rAkhmad Afanda R, Dkk (6 orang) selama tidak dipekerjakan.”
Pekerja menerima Anjuran, sementara Pengusaha menolak. Adapun sengketa bermula dari konstruksi fakta hukum bahwa Para Penggugat adalah Buruh yang bekerja pada Tergugat. Tanggal 31 Oktober 2013, Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Para Penggugat dengan alasan sudah berakhir masa kontraknya.
Para Penggugat menolak PHK, oleh sebab Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara Para Penggugat dan Tergugat dilakukan perpanjangan lebih dari 1 (satu) kali, sementara Pasal 59 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur: PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Tergugat tidak melakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, sehingga melanggar norma Pasal 59 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.”
Jika melanggar, berlaku ketentuan Pasal 59 Ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003: status demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dengan demikian pihak Pekerja beragumentasi, dikarenakan demi hukum hubungan kerja antara Para Penggugat dan Tergugat demi hukum telah berubah menjadi PKWTT, maka Tergugat tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Para Penggugat dengan dalih masa kontraknya sudah berakhir.
Penggugat selaku Pekerja mengutip ketentuan Pasal 155 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 (yang sayangnya hanya relevan diberlakukan terhadap Pekerja Tetap PKWTT):
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya; [Note SHIETRA & PARNTERS: Perhatikan, Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan tidak mensyaratkan putusan PHI dalam putusnya hubungan kerja PKWT.]
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Serang kemudian memberikan Putusan yang senada dengan Anjuran Mediator Disnaker, Nomor 35/Pdt.G/2014/PHI.SRG. tanggal 27 Oktober 2014, dengan amar:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dan Tergugat tidak pernah putus;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat di perusahaan Tergugat dengan tetap membayar upah dan hak-hak lainnya yang selama ini diterima oleh Para Penggugat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar upah dan hak-hak lainnya selama proses perselisihan ini berlangsung kepada Para Penggugat dari bulan November 2013 sampai dengan Mei 2014 sebesar Rp87.600.000,00; (delapan puluh tujuh juta enam ratus ribu rupiah).”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa terlepas dari keberatan-keberatan tersebut, keberatan kasasi dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori kasasi tanggal 17 November 2014 dan kontra memori kasasi tanggal 10 Desember 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa perselisihan antara Pemohon Kasasi / Pengusaha dengan Termohon Kasasi / para Pekerja sama sekali tidak berkaitan dengan alasan pemutusan hubungan kerja yang dilarang peraturan perundang-undangan, sebagaimana ditentukan Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, melainkan perselisihan mengenai pengakhiran hubungan kerja dalam PKWT, oleh karenanya tidak ada alasan hukum menyatakan hubungan kerja tidak pernah putus sebagaimana amar putusan Judex Facti; [Note SHIETRA & PARTNERS: Pernyataan yang sadis dari Mahkamah Agung, namun kesalahan yang paling utama terletak pada diskriminasi regulasi yang mengatur antara Pekerja Kontrak dan Pekerja Tetap itu sendiri.]
2. Bahwa PKWT atau kontrak yang mengatur hubungan kerja antara Pemohon dengan Para Termohon telah berakhir dan atau tidak diperpanjang, namun ternyata jenis perkerjaan tidak bersifat sementara melainkan secara terus-menerus sebagaimana telah tepat dan benar dipertimbangkan Judex Facti berdasarkan Surat Nomor 560/1533.13/Disnakertrans/2014 (vide bukti P-5), dan keterangan saksi Penggugat. Dengan demikian hubungan kerja antara Pemohon dengan Para Termohon berubah menjadi PKWTT karena melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Bahwa terhadap fakta hukum yang demikian hubungan kerja dapat dinyatakan putus dengan membayar uang kompensasi 2 kali uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 setara dengan tindakan efisiensi sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Serta adil tanpa upah proses karena perselisihan mengenai pengakhiran PKWT yang sebelumnya ditanda-tangani pengusaha bersama pekerja, hanya menurut penilaian pengadilan menjadi PKWTT sehingga tepat Pemutusan Hubungan Kerja dinyatakan sejak tanggal berakhirnya PKWT aquo;
4. Bahwa hak kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja yang diterima Para Penggugat, masing-masing adalah: ...;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. JABA GARMINDO, tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 35/PHI.G/2014/PN.SRG.tanggal 27 Oktober 2014 selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. JABA GARMINDO, tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 35/PHI.G/2014/PN.SRG. tanggal 27 Oktober 2014;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dan Tergugat;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Para Penggugat, masing-masing sebesar Rp45.160.500,00 (empat puluh lima juta seratus enam puluh ribu lima ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.