Single Economic Entity Doctrine Konteks Akuisisi

LEGAL OPINION
Akuisisi yang Berbuntut Sanksi KPPU Terkait Kumulasi Total Aset
Question: Ada rencana membeli sebuah perusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama dengan perusahaan saya. Memang perusahaan yang hendak saya ambil-alih ini adalah kompetitor saya selama ini. Tapi kompetitor lainnya masih banyak, sehingga rasanya takkan ada kaitannya dengan ranah monopoli usaha.
Brief Answer: Dalam rezim hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdapat beberapa indikator praktik monopoli usaha, salah satunya ialah jumlah aset kekayaan gabungan antara perusahaan pelaku akuisisi dan perusahaan yang diakuisisi—tidak terkecuali perusahaan yang diakuisisi ialah perusahaan berbentuk terbuka (Tbk.). Mengingat, perusahaan dengan total aset yang besar akan memiliki kecenderungan melakukan aksi monopoli usaha dikemudian hari meski pada saat kini belum tampak gelagatnya.
Sekalipun benar dapat dibuktikan bahwa pihak pelaku usaha tidak melakukan monopoli usaha dalam aksi akuisisi, namun terdapat ancaman sanksi hukuman bila pelaku usaha tidak memerhatikan jumlah kumulasi nominal aset gabungan, oleh sebab terdapat regulasi KPPU yang mengatur perihal kewajiban melaporkan rencana akuisisi bila kumulatif aset gabungan melewati ambang batas (treshold) nilai minimum tertentu.
Tidak ada salahnya sebagai langkah antisipasi, lakukan notifikasi kepada otoritas (KPPU) atas setiap rencana akuisisi, merger, ataupun konsolidasi, tanpa terpaku oleh nilai aset ‘diatas kertas’ pembukuan perusahaan yang terlibat akuisisi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS sajikan sebagai cerminan, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa Persaingan Usaha register Nomor 95 K/Pdt.Sus-KPPU/2015 tanggal 22 September 2015, perkara antara:
- PT. BALARAJA BISCO PALOMA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Pemohon Keberatan; melawan
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan.
Pemohon Keberatan mengajukan keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 02/KPPU-M/2014 tanggal 8 April 2014 yang amarnya sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 29 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor membayar denda sebesar Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
3. Memerintahkan setelah Terlapor melakukan pembayaran denda, maka salinan bukti pembayaran denda tersebut harus dilaporkan dan diserahkan ke KPPU.”
Yang pada pokoknya menyatakan sang pengusaha telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU No. 05/1999”) jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57/2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“PP Nomor 57/2010”), dengan alasan bahwa pihak pengusaha terlambat memberitahukan pengambil-alihan saham PT. Subafood Pangan Jaya (“PT. SPJ”) kepada KPPU.
Pengusaha diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan pengambil-alihan saham karena menurut KPPU, Nilai Aset Gabungan setelah pengambil-alihan saham adalah sejumlah Rp4.403.235.992.422,00. Alih-alih menggunakan nilai aset badan hukum PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. saja, KPPU justru memperhitungkan nilai aset PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. yang digabungkan dengan aset dari seluruh anak-anak perusahaannya—beranjak dari disandarkannya perhitungan aset PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. pada Laporan Keuangan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. yang dikonsolidasikan dengan anak-anak perusahaannya.
KPPU disaat bersamaan mengakui, tidak terdapat dugaan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan pengambil-alihan saham perusahaan PT. Subafood Pangan Jaya oleh PT. Balaraja Bisco Paloma.
Pasal 5 PP Nomor 57/2010 memiliki kaedah normatif, suatu pengambil-alihan saham yang mengakibatkan jumlah Nilai Aset Gabungan perusahaan pengambil alih dan perusahaan yang diambil alih melebihi Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah), wajib diberitahukan kepada KPPU.
Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 57/2010, memiliki pengaturan sebagai berikut:
“Nilai aset dan/atau nilai penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dihitung berdasarkan penjumlahan nilai aset dan/atau nilai penjualan dari:
a. Badan Usaha Hasil Penggabungan, atau Badan Usaha Hasil Peleburan, atau badan usaha yang mengambilalih saham perusahaan lain dan Badan Usaha yang diambilalih, dan;
b. Badan Usaha yang secara langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau dikendalikan oleh Badan Usaha Hasil Penggabungan, atau Badan Usaha Hasil Peleburan, atau badan usaha yang mengambilalih saham perusahaan lain dan badan usaha yang diambil-alih.”
Penjelasan Pasal 5 ayat 4 PP Nomor 57/2010:
“Yang dimaksud dengan ‘dikendalikan’ adalah:
a. Pemilikan saham atau penguasaan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dalam badan usaha, atau;
b. Adanya pemilikan saham atau penguasaan suara kurang dari atau sama dengan 50% (lima puluh persen) tetapi dapat mempengaruhi dan menentukan kebijakan pengelolaan badan usaha dan/atau mempengaruhi dan menentukan pengelolaan badan usaha.”
Sementara bila kita merujuk pada Butir 11 Bab III Lampiran Perkom Nomor 03/2012:
“Pelaku Usaha Pengendali adalah pelaku usaha yang memiliki saham atau menguasai suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dalam Badan Usaha atau memiliki saham atau menguasai suara kurang dari atau sama dengan 50% (lima puluh persen) tetapi dapat mempengaruhi dan menentukan kebijakan pengelolaan badan usaha dan/atau mempengaruhi dan menentukan pengelolaan badan usaha.”
Penjelasan Lampiran Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“Lampiran Perkom Nomor 03/2012”), yang mengatur sebagai berikut:
“Nilai penjualan dan/atau aset hasil penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan adalah jumlah nilai penjualan dan/atau aset yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai penjualan dan/atau aset tahun terakhir yang telah diaudit dari masing-masing pihak yang melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan ditambah dengan nilai penjualan dan/atau aset dari seluruh badan usaha yang secara langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau dikendalikan oleh badan usaha yang melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
“Dengan demikian, nilai aset dan/atau nilai penjualan tidak hanya meliputi nilai aset dan/atau nilai penjualan dari perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, tetapi juga nilai aset dan/atau nilai penjualan dari perusahaan yang terkait secara langsung dengan perusahaan yang bersangkutan secara vertikal, yaitu induk perusahaan sampai dengan Badan Usaha Induk Tertinggi dan anak perusahaan sampai dengan anak perusahaan yang paling bawah;
“Badan Usaha Induk Tertinggi adalah pengendali tertinggi dari badan usaha yang akan melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.”
Adapun definisi ‘pengendali’ dijumpai dalam Butir 11 Bab III Lampiran Perkom Nomor 03/2012 yang menguraikan sebagai berikut:
“Pelaku usaha pengendali adalah pelaku usaha yang memiliki saham atau menguasai suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dalam badan usaha; atau memiliki saham atau menguasai suara kurang dari atau sama dengan 50% (lima puluh persen) tetapi dapat mempengaruhi dan menentukan kebijakan pengelolaan badan usaha dan/atau mempengaruhi dan menentukan pengelolaan badan usaha.”
Senada dengan itu, pengertian dari ‘pemegang saham mayoritas’ yang dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, disebutkan:
“Mayoritas saham adalah pemegang saham yang memiliki lebih dari 50% (lima puluh per seratus) dari modal yang ditempatkan dan disetor Perusahaan.”
Pihak pengusaha beragumentasi, Apabila kita mengkaji unsur-unsur yang termaktub dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 05/1999, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua pengambilalihan saham wajib diberitahukan kepada KPPU. Pengambilalihan saham yang wajib diberitahukan kepada Termohon Keberatan hanyalah pengambilalihan saham yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 28 UU No. 05/1999 dan mengakibatkan nilai aset dan/atau penjualan melebihi jumlah tertentu.
Pasal 29 UU No. 05/1999 mengatur:
“Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal penggabungannya, peleburan atau pengambilalihan tersebut.”
Sementara ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU No. 05/1999 mengatur bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kaedah Pasal 28 UU No. 05/1999:
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Dasar berpikir hanya kewajiban bagi badan usaha yang hendak atau telah mengambilalih saham untuk melakukan pemberitahuan kepada KPPU, lahir dari norma Pasal 28 UU No. 05/1999, yakni agar untuk mencegah terciptanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat—sehingga telah terjadinya monopoli usaha bukanlah prasyarat mutlak.
Apabila kita merujuk pada kesesuaian antara ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 05/1999 dengan Pasal 28 ayat (2) UU No. 05/1999 diatas, maka pengambilalihan saham yang wajib diberitahukan kepada KPPU hanyalah pengambilalihan saham yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat—demikian pihak pengusaha mendalilkan.
Pengusaha menyimpulkan, suatu pengambilalihan saham yang mengakibatkan jumlah aset dan/atau penjualan melebihi jumlah tertentu dan tidak diberitahukan kepada otoritas, tidaklah melanggar ketentuan Pasal 29 UU No. 05/1999 apabila pengambilalihan saham tersebut tidak berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Sementara KPPU dalam argumentasinya mengungkapkan, Budhi Istanto dan Joko Mogoginta selain merupakan pemegang saham dari PT. Tiga Pilar Corpora, namun juga menjabat di PT. Tiga Pilar Corpora dan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. Dengan adanya bukti tersebut, maka jelas terlihat bahwa PT. Tiga Pilar Corpora dapat mempengaruhi dan menentukan kebijakan pengelolaan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk, dikarenakan jabatan yang dipegang oleh Budhi Istanto dan Stefanus Joko Mogoginta di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. merupakan jabatan strategis yang dapat mempengaruhi dan menentukan arah kebijakan pengelolaan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. Maka dapat disimpulkan telah terbukti adanya bentuk kendali yang nyata yang dilakukan PT. Tiga Pilar Corpora terhadap PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. termasuk PT. Balaraja Bisco Paloma (Pemohon Keberatan).
Fakta-fakta yang saling berkelindan tersebut menunjukkan bagaimana PT. Tiga Pilar Corpora mengendalikan PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. Sehingga PT. Tiga Pilar Corpora dapat dikualifikasikan sebagai Badan Usaha Induk Tertinggi dari Pemohon Keberatan.
Terhadap keberatan pihak pengusaha, selanjutnya Pengadilan Negeri Tangerang memberikan Putusan Nomor 01/KPPU/2014/PN Tng., tanggal 17 Juli 2014, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa kewajiban melakukan pemberitahuan dalam tenggang waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari dimaksud bukanlah sebagai akibat dari telah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi karena nilai aset gabungan akibat pengambilalihan saham tersebut melebihi batas jumlah minimum sebesar Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah);
“Menimbang, bahwa dengan demikian dalil Pemohon Keberatan yang menyatakan bahwa Pemohon Keberatan tidak berkewajiban melakukan pemberitahuan kepada KPPU sehubungan dengan pengambilalihan saham tersebut, tidaklah berdasar hukum;
“Menimbang, bahwa telah terbukti Pemohon Keberatan telah melakukan pemberitahuan pengambilalihan saham PT. Subafood Pangan Jaya, dimana pemberitahuan tersebut dilakukan secara terlambat dengan alasan bahwa pada bulan Januari tahun 2012 Pemohon Keberatan diberitahu bahwa sanksi PP 57/2010 belum diberlakukan dan KPPU tidak menginformasikan kepada Pemohon Keberatan mengenai pemberlakuan sanksi tersebut berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2012, yang dengan demikian telah terbukti bahwa Pemohon Keberatan terlambat melakukan pemberitahuan pengambilalihan saham PT. Subafood Pangan Jaya bukanlah karena perhitungan nilai aset gabungan tidak mencapai batas jumlah minimum Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah) akan tetapi karena beranggapan sanksi tentang hal tersebut belum diberlakukan;
“Menimbang, bahwa dengan paradigma bahwa Pemohon Keberatan telah melakukan kewajibannya untuk melakukan pemberitahuan pengambilalihan saham PT Subafood Pangan Jaya, dimana keterlambatan pemberitahuan tersebut terjadi bukanlah karena penghitungan nilai aset gabungan tidak mencapai batas jumlah minimum, tetapi karena beranggapan sanksi tentang hal tersebut belum diberlakukan, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon Keberatan telah mengetahui bahwa nilai aset gabungan akibat pengambilalihan saham PT Subafood Pangan Jaya telah melebihi batas jumlah minimum Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah);
“Menimbang, bahwa dengan demikian dalil Pemohon Keberatan yang mendalilkan tidaklah ada kewajiban bagi Pemohon Keberatan untuk memberitahukan pengambilalihan saham tersebut kepada Termohon Keberatan, adalah tidak beralasan hukum dan dinyatakan ditolak;
MENGADILI :
1. Menolak permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan untuk seluruhnya;
2. Menguatkan Putusan KPPU Nomor 02/KPPU-M/2014 tanggal 8 April 2014.”
Pihak pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok argumentasi, bahwa ‘single economic entity doctrine’ (doktrin Entitas Ekonomi Tunggal) tidak dikenal dalam sistem Hukum Indonesia yang hanya menganut prinsip ‘Separate Entity And Limited Liability’. Single economic entity doctrine yang diterapkan KPPU dalam memutus, dinilai tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Selain itu, single economic entity doctrine / doktrin entitas ekonomi tunggal bukanlah doktrin di bidang ilmu hukum, melainkan doktrin dalam bidang ilmu ekonomi. Single economic entity doctrine pun diklaim pengusaha sebagai bertentangan dengan doktrin/prinsip “separate entity and limited liability” yang dianut oleh sistem hukum Indonesia, dimana berdasarkan doktrin/prinsip “separate entity and limited liability” tersebut suatu badan hukum (perseroan) adalah terpisah dan terlepas dari pemegang sahamnya, sehingga harta kekayaan suatu perseroan tidak dapat dikatakan sebagai harta kekayaan pemegang sahamnya terlepas dari ada atau tidaknya pengendalian oleh pemegang saham tersebut.
Dalam hukum Indonesia, pengusaha melanjutkan argumentasi, setiap badan hukum dipandang sebagai entitas atau subjek hukum yang terpisah dan mandiri sesuai hak dan kewajibannya sehingga tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai satu kesatuan.
Hukum Indonesia menganut doktrin/prinsip “separate entity and limited liability” yang memandang aset dari suatu badan hukum adalah terpisah dan terlepas dari pemegang sahamnya, sehingga harta kekayaan suatu perseroan tidak dapat dikatakan sebagai harta kekayaan pemegang sahamnya terlepas dari ada atau tidaknya pengendalian oleh pemegang saham tersebut. Dengan kata lain, hukum Indonesia memandang aset-aset anak perusahaan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. sebagai aset yang terpisah dan bukan milik dari PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. selaku induk perusahaan.
Pengusaha juga mendalilkan, fakta hukum adanya Laporan Keuangan Konsolidasian tidak digunakan dalam laporan perpajakan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. dan anak-anak perusahaannya. Laporan dan beban pajak PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. tidak menjadi satu dengan anak-anak perusahaannya. Selain itu, apa yang menjadi utang dan piutang dari PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. pun tidak dibebankan kepada atau dinikmati oleh anak-anak perusahaannya, begitupula sebaliknya—Note SHIETRA & PARTNERS: meski dalam fakta realitanya pengusaha dalam sebuah Grub Usaha kerap melakukan praktik transfer pricing.
Dimana terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 7 Agustus 2014 dan kontra memori kasasi tanggal 4 September 2014, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, ternyata tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa keberatan kasasi tersebut tidak didukung dengan alasan yang cukup untuk dapat diterima dan tidak mengajukan secara tepat adanya kesalahan penerapan hukum dalam Putusan Judex Facti yang dimohonkan upaya hukum kasasi;
- Bahwa Judex Facti/Pengadilan Negeri sudah menerapkan hukum secara tepat dan benar menolak permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan sekarang Pemohon Kasasi untuk seluruhnya karena Pemohon Keberatan sekarang Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan alasan keberatannya. Sedangkan Putusan KPPU Nomor 02/KPPU-M/2014 sudah tepat dan benar pertimbangan hukumnya sehingga Judex Facti menguatkan Putusan tersebut;
- Bahwa “pengambil alihan saham PT. Subafood Pangan Jaya dengan nilai asset gabungan telah melebihi batas minimum dan terlambat melakukan pemberitahuan kepada KPPU, sehingga telah melanggar Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Jo. Pasal 5 PP Nomor 57 Tahun 2010”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 01/KPPU/2014/PN Tng., tanggal 17 Juli 2014 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. BALARAJA BISCO PALOMA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BALARAJA BISCO PALOMA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.