Repetisi Kesalahan Versus Derajat Pelanggaran

LEGAL OPINION
Question: Pelanggaran yang sama yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang pegawai kami, apa bisa dikategorikan sebagai pelanggaran berat?
Brief Answer: “Repetisi kesalahan” dikategorikan sebagai kuantitas, sementara “derajat kesalahan” dikategorikan sebagai kualitas kesalahan—sehingga merupakan dua jenis konteks yang saling berbeda dan tak dapat dicampur-adukkan.
Pelanggaran secara berulang terhadap surat peringatan, seperti pelanggaran indisipliner, sekalipun menerbitkan hak bagi Pengusaha untuk mem-putus hubungan kerja (PHK) dengan Pekerja / Buruh, tetap melahirkan hak kompensasi bagi Pekerja berupa pesangon dan hak normatif lainnya—sehingga tidak terdapat sangkut-paut dengan repetisi.
Sementara yang dimaksud dengan pelanggaran substansial alias pelanggaran fundamental hubungan ketenagakerjaan, terkait erat dengan derajat kesalahan, dimana Pengusaha dapat seketika itu juga menerbitkan Surat Peringatan (level) Ketiga tanpa didahului Surat Peringatan Pertama ataupun Kedua, alias sebagai surat peringatan terakhir; atau bila derajat kesalahannya demikian tidak dapat ditolerir, dapat saja langsung diterbitkan surat skoorsing disertai permohonan penetapan PHK kepada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
PEMBAHASAN:
Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Penjelasan Resmi Pasal 161 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
“Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
“Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
“Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga.
“Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
“Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
“Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.”
Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai rujukan utama, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 238 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 24 Mei 2016, perkara antara:
- PT TJIPTA RIMBA DJAJA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- 7 (tujuh) orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat merupakan Pekerja Tetap yang telah mengabdi selama belasan hingga puluhan tahun pada Tergugat, namun kemudian Para Penggugat pada bulan November 2014 di-PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan indisipliner saat bekerja, mengingat sebelumnya Para Penggugat telah menerima Surat Peringatan (SP) I sampai dengan III.
Atas PHK yang terbit dari kesalahan indisipliner tersebut, Para Penggugat hanya diberikan kompensasi uang pisah sebesar 3 (tiga) bulan Upah, sehingga Para Penggugat menolak, dan selanjutnya mengadukan perkara PHK ini ke Dinas Tenaga Kerja Kota Medan. Berhubung tidak ditemukan penyelesaian, Mediator Disnaker menerbitkan Surat Anjuran, yang berbunyi dengan amarnya sebagai berikut:
1. Agar Pimpinan PT Tjipta Rimba Djaja membayarkan uang pesangon sebesar 1 (satu) Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja ayat (3), dan uang penggantian perumahan dan pengobatan sebagaimana diatur ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan rincian terlampir;
2. Agar upah selama dalam proses dibayarkan sampai adanya penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial;
3. Agar kedua belah pihak menyampaikan jawaban tertulis kepada Mediator Hubungan Industrial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah anjuran ini diterima dan bilamana salah satu menolak anjuran ini, maka berdasarkan Pasal 14 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan permasalahannya ke Pengadilan Hubungan Industrial c/q Pengadilan Negeri Medan.”
Tergugat tidak juga menunjukkan itikad untuk melaksanakan isi Anjuran, meski Tergugat telah melakukan PHK sepihak dan tidak prosedural sehingga melanggar Pasal 151 Ayat (3) yang mengatur:
“Dalam hal perundingan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.”
Tergugat menilai para Penggugat telah melakukan kesalahan-kesalahan yang sifatnya indisipliner sehingga diberikan Surat Peringatan (SP) I sampai dengan III, namun demikian bukanlah dapat diartikan Tergugat tidak berkewajiban memberikan kompensasi pesangon kepada para Penggugat.
Terhadap gugatan para Pekerja, selanjutnya Pengadilan Hubungan Industrial Medan telah menjatuhkan Putusan Nomor 122/Pdt.Sus- PHI/2015/PN Mdn., tanggal 26 Oktober 2015 dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
- Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat putus karena pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat (3) jo. Pasal 161 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menghukum Tergugat membayar upah selama belum ada penetapan pemutusan hubungan kerja oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 37/PUU-IX/2011 kepada Penggugat Wisman, Widodo, Samudro, Arianto, Aswad, Sahran dan Muliono masing-masing sebesar Rp22.224.000,00 sehingga jumlah seluruhnya Rp155.568.000,00 (seratus lima puluh lima juta lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah);
- Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak normatif Para Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti perumahan dan perobatan berdasarkan ketentuan Pasal 161 ayat (3) jo. Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan jumlah untuk masing-masing Penggugat adalah:
1. Penggugat I (Wisman) sebesar Rp 40.466.200,00
2. Penggugat II (Widodo) sebesar Rp 34.076.800,00
3. Penggugat III (Samudro) sebesar Rp 40.466.200,00
4. Penggugat I (Arianto) sebesar Rp 34.076.800,00
5. Penggugat I (Aswat) sebesar Rp 34.076.800,00
6. Penggugat I (Sahran) sebesar Rp 40.466.200,00
7. Penggugat I (Muliono) sebesar Rp 40.466.200,00
Jumlah seluruhnya Rp264.095.200,00 (Dua ratus enam puluh empat juta sembilan puluh lima ribu dua ratus rupiah);
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Selanjutnya, pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 4 November 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 19 Januari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah tepat dan benar dalam menerapkan hukum menyatakan pemutusan hubungan kerja sesuai ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Para Pekerja telah dikenai Surat Peringatan III atas pelanggaran yang dilakukan dalam hubungan kerja;
2. Bahwa ketentuan Pasal 158 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak dapat diterapkan dalam perselisihan ini karena telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 012/PUU-I/2003, sehingga tepat pemutusan hubungan kerja karena melanggar tata tertib kerja yang diatur dalam perjanjian kerja bersama, bukan kesalahan berat;
3. Bahwa namun demikian putusan harus diperbaiki sepanjang mengenai upah proses untuk Para Penggugat semula 12 (dua belas) bulan upah menjadi 6 (enam) bulan upah, berdasarkan lama proses penyelesaian perselisihan dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 03 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. TJIPTA RIMBA DJAJA, tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 122/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Mdn., tanggal 26 Oktober 2015 sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT TJIPTA RIMBA DJAJA tersebut;
2. Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 122/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Mdn., tanggal 26 Oktober 2015 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Konvensi:
- Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebahagian;
- Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat (3) juncto Pasal 161 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menghukum Tergugat membayar upah selama belum ada pemutusan hubungan kerja atau upah proses untuk Para Penggugat masing-masing sejumlah Rp11.112.000,00 (sebelas juta seratus dua belas ribu rupiah) sehingga seluruhnya berjumlah Rp77.784.000,00 (tujuh puluh tujuh juta tujuh ratus delapan puluh empat ribu rupiah);
- Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak normatif Para Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti perumahan dan perobatan berdasarkan ketentuan Pasal 161 ayat (3) juncto Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan jumlah untuk masing-masing Penggugat adalah:
1. Penggugat I (Wisman) sejumlah Rp 40.466.200,00
2. Penggugat II (Widodo) sejumlah Rp 34.076.800,00
3. Penggugat III (Samudro) sejumlah Rp 40.466.200,00
4. Penggugat IV (Arianto) sejumlah Rp 34.076.800,00
5. Penggugat V (Aswat) sejumlah Rp 34.076.800,00
6. Penggugat VI (Sahran) sejumlah Rp 40.466.200,00
7. Penggugat VII (Muliono) sejumlah Rp 40.466.200,00
Jumlah seluruhnya Rp264.095.200,00 (Dua ratus enam puluh empat juta sembilan puluh lima ribu dua ratus rupiah);
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.