Hukum Resiprokal : Menerima & Memberi

ARTIKEL HUKUM
Mengapa aksi korupsi marak terjadi di Indonesia, yang pelakunya notabene merupakan para sarjana lulusan perguruan tinggi? Jawabannya sangat mengejutkan, dan inilah fakta yang penulis jumpai dalam praktik: demoralisasi justru terjadi di Perguruan Tinggi, dimana sikap kritis diberangus dan disaat bersamaan sikap arogansi ditumbuh-kembangkan.

Salah satu etos paling buruk yang telah dicetak oleh lembaga pendidikan tinggi hukum di Indonesia, ialah “etos instan”—alias mau mudahnya saja. Sering penulis jumpai, surat elektronik kepada alamat pribadi penulis maupun via telepon, yang seketika tanpa prolog ataupun perkenalan diri sang penelepon / penanya, dengan percaya diri langsung melontarkan pertanyaan: “Jika ... apakah boleh oleh hukum, bagaimana jika ... , apa ada contoh ilustrasi kasusnya ...
Memang Anda pikir Anda siapa?
Konsultasi hukum adalah profesi penulis, apakah Anda meminta agar penulis makan batu dan minum angin? Bagaimana bila kita balikkan keadaan, apa yang menjadi profesi Anda? Maukah Anda melayani penulis sesuai profesi tumpuan Anda selama ini mencari nafkah, namun penulis meminta pelayanan Anda secara cuma-cuma?
Sang penanya merasa tersinggung, mengatakan bahwa penulis adalah “sombong”, karena tak mau meladeni pertanyaan seorang mahasiswa. Sontak penulis bertanya balik, “Memang Anda ada memperkenalkan diri sebagai mahasiswa? Anda baru menjadi mahasiswa, namun sudah arogan. Bagaimana jika nanti sudah berpraktik di tengah masyarakat? Baru menjadi mahasiswa saja sudah pandai memutar-balik fakta. Jadi begini, cara dosen kamu mengajarkan, sama sekali tidak mengerti etika komunikasi.”
Bila seluruh klien penulis mengaku-ngaku sebagai mahasiswa, SHIETRA & PARTNERS bisa ‘gulung tikar’. Menjadi seorang mahasiswa bukan berarti mendapat keistimewaan secara instan. Untuk menjadi seorang mahasiswa tetap harus membayar biaya pendidikan, membeli buku teks pelajaran, dsb. Mengapa tidak bertanya kepada dosen-dosen di fakultas yang bersangkutan?
There is no free lunch. Itulah pelajaran berharga yang penulis petik, sejak duduk di bangku pendidikan tinggi hukum. Ketika penulis masih seorang mahasiswa fakultas hukum, untuk mewawancarai suatu legal division suatu korporasi, penulis harus berjuang dengan berkorban waktu, ongkos, tenaga, pikiran, dan perhatian—bukan dengan cara-cara instan yang tidak beretika.
Untuk memulai pencarian data dan permohonan audiensi, penulis mempersiapkan diri sebagai mahasiswa dengan membuat surat permohonan audiensi, surat pengantar dari fakultas, mengunjungi satu per satu korporasi, menunggu berjam-jam di kantor narasumber hanya untuk mendapat penolakan demi penolakan.
Saat kini, kalangan mahasiswa di Indonesia maunya serban instan, tidak mau repot, tinggal kirim email ke penulis, bahkan berani untuk menelepon penulis, meminta dilayani, tanpa terlebih dahulu memperkenalkan diri, bahkan juga tidak memperkenalkan nama ataupun status dirinya. Luar biasa!!!
Seperti inilah, kualitas pengajaran pada berbagai pendidikan tinggi di Indonesia, mencetak mahasiswa-mahasiswa serta lulusan-lulusan berpikiran picik, licik, dangkal, serta arogan. Sama sekali tidak mengenal kaedah sosial mengenai ‘etika komunikasi’.
Tidak ada satupun etika komunikasi yang mengajarkan agar seseorang penanya seketika memberondong pertanyaan tanpa perkenalan diri, dan tidaklah etis Anda meminta konsultasi kepada seorang konsultan pajak, sebagai contoh, tanpa ada rasa kewajiban membayar fee yang menjadi hak profesinya.
Anda sudah tahu diri sang tokoh adalah seorang konsultan pajak, mencari nafkah sebagai konsultan, namun masih saja tetap Anda meminta konsultasi perihal pajak padanya, namun tidak mau membayar layanan jasa profesional sang konsultan, sama artinya Anda telah merendahkan harga diri sang tokoh. Ini merupakan etika komunikasi paling mendasar.
Dalam tataran kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ), kemampuan berempati dan memahami perasaan orang lain merupakan level paling mendasar dari kecerdasan emosional. Manusia seyogianya berbeda dengan robot, manusia memiliki segi badaniah serta aspek mental / psikologis / batiniah.
Menafikan faktor psikologi lawan bicara, sama artinya merendahkan harkat dan martabat sang lawan bicara. Akar penyebabnya, ialah tidak pernah diajarkannya landasan paling fundamental dalam etika komunikasi maupun EQ, tidak lain ialah wujud gagalnya fungsi pendidikan disamping teladan buruk para pengajar itu sendiri.
Karena tidak mendapat pendidikan memadai perihal EQ, tidak heran bila banyak kalangan mahasiswa maupun masyarakat umum non mahasiswa yang meminta agar SHIETRA & PARTNERS memberi pelayanan secara gratis meski berbagai permasalahan hukum yang dikemukakan bermula dari akibat perbuatan keliru sang penanya itu sendiri. Sebagai contoh, meminjam dana kredit, gagal bayar, lalu meminta konsultasi bagaimana cara menghindari lelang eksekusi terhadap agunan, dan menuntut dilayani secara gratis pula. Tak ada kata yang lebih tepat untuk mewakili, selain ‘besar kepala’.
SHIETRA & PARTNERS sudah sangat berbesar dan berbaik hati menjadikan hukum-hukum.com sebagai sarana edukasi hukum (corporate social responsibility) bagi masyarakat, namun mengapa masyarakat masih merasa berhak untuk menuntut lebih, bahkan meminta agar penulis bekerja dan memeras keringat secara gratis demi kepentingan pribadi sang pengguna jasa? Bahkan tidak jarang pihak klien berani menipu penulis dengan tidak membayar jasa konsultasi yang telah disepakati, meski segala ilmu dan keterampilan hukum yang penulis berikan digunakan sepenuhnya oleh para klien tidak tahu malu tersebut.
Bila Anda meminta dilayani secara profesional, maka Anda pun harus bersikap profesional. Inilah prinsip kedua dari hubungan antar manusia, yakni prinsip resiprokal / resiprositas. Dengan memberi, Anda berhak untuk meminta. Mengapa untuk sendi paling prinsipil ini pun, banyak anggota masyarakat yang gagal untuk memahami?
Anda bukan seorang pengemis, dan profesi Anda pun bukanlah seorang pengemis. Maka berhentilah berpura-pura untuk menjadi seorang pengemis. Seorang pengemis tidak pernah punya permasalahan hukum perihal sengketa tanah, sengketa kredit, sengketa wanperstasi, dsb. Jadi, berhentilah berlagak seperti seorang pengemis.
Anda yang merupakan mahasiswa fakultas hukum juga bukan seorang yang buta baca tulis, yang mampu berupaya untuk melakukan riset, bukan mau mudahnya saja bertanya tanpa mau mengeluarkan waktu dan tenaga. Jadi, berhentilah bersikap seperti seorang yang tidak berpendidikan.
Menjadi pertanyaan terbesar, memangnya apa saja yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi, kalau begitu? Mengapa lembaga-lembaga tersebut masih layak disebut perguruan tinggi bila hal paling mendasar saja, gagal untuk diajarkan pada para peserta didiknya?
Terlebih ironis, banyak diantara kalangan mahasiswa hukum yang mencoba mengirimkan pertanyaan kepada alamat surat elektronik pribadi penulis ataupun mencoba menghubungi langsung penulis via telepon, menanyakan hal-hal seputar hukum yang sebetulnya dapat mereka temukan sendiri lewat riset regulasi maupun putusan pengadilan—mereka adalah para calon sarjana hukum.
Bila mereka dapat bersusah payah untuk melakukan riset, mengapa kemudian mereka masih mengharap jalan instan dengan bertanya kepada penulis? Apakah keliru bila penulis memarahi para calon sarjana hukum pemalas ini?
Kesimpulannya, sebelum Anda menuntut pihak lain, cobalah renungkan baik-baik kalimat ini: Anda pikir diri Anda itu siapa? Apakah Anda adalah klien yang berhak meminta pandangan hukum? Apa saja kewajiban yang telah Anda berikan kepada saya untuk menuntut saya meladeni Anda? Anda adalah mahasiswa kampus Anda, bukan mahasiswa saya, bukan? Apakah Anda demikian teganya, meminta saya untuk memakan batu dan meminum pasir? Apa saja jirih payah yang telah Anda keluarkan untuk mendapatkan suatu data dan ilmu hukum?
Ironis sekali model pedagogis di bangku perguruan tinggi hukum di Indonesia, sebagaimana telah penulis rasakan dan alami sendiri ketika masih merupakan seorang mahasiswa fakultas hukum. Sangat kering akan pendidikan moral maupun pendidikan emosional yang diberikan pada para peserta didik—bila tidak dapat disebutkan berkebalikannya: pendidikan demoralisasi.
Di lain kesempatan, ketika Anda merasa berhak untuk dilayani oleh penulis secara cuma-cuma, maka sebutkan dahulu apa yang menjadi profesi Anda, dan apakah selama ini Anda pun memberikan layanan kepada orang lain sesuai profesi Anda secara cuma-cuma. Jika sudah demikian, lantas Anda dan keluarga Anda akan makan apa?
Renungkanlah baik-baik, sebelum Anda menuntut seorang profesional untuk melayani Anda. Bila Anda menyebut diri Anda klien yang profesional, sehingga menuntut pelayanan secara profesional, maka bersikaplah layaknya seorang klien yang profesional. Menyadari, meminta diberikan pelayanan sesi konsultasi secara gratis kepada seseorang yang berprofesi sebagai konsultan hukum, sama artinya meminta agar sang konsultan bekerja secara rodi bagi Anda. Bila Anda tak bersedia bekerja sesuai profesi Anda secara tanpa bayaran, mengapa Anda merasa berhak untuk membudaki orang lain?
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.