Rasionalisasi Pelanggaran Berat dalam Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Saat ini di pabrik, ada beberapa oknum buruh yang kerjanya seperti provokator, sehingga suasana kerja para buruh lainnya di pabrik menjadi resah sekaligus gerah juga dibuatnya, manajemen juga dibuat panas-dingin karena berbagai isu dan rumor tidak benar yang merusak reputasi perusahaan juga berimbas pada suasana kerja yang tidak lagi bisa kembali kondusif bila oknum ini masih bercokol. Provokasi para buruh agar melawan manajemen secara tidak patut, lewat rumor-rumor menyesatkan, apa mungkin dikategorikan sebagai kesalahan berat?
Brief Answer: Meski secara norma kaedah peraturan perundang-undangan, konsepsi / terminologi “Pelanggaran berat” telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi RI dari Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, namun dalam realita praktiknya, kaedah demikian masih dirasakan relevan kebutuhannya, bahkan oleh Mahkamah Agung RI.
Hukum yang baik, tidak memberikan “blangko kosong” untuk di-“tulis” sesuka hati isi diatasnya, baik terhadap Pengusaha ataupun pihak Pekerja / Buruh dalam suatu hubungan industrial. Menyatakan seorang Pekerja yang bisa jadi beritikad buruk sebagai “tidak dapat melakukan pelanggaran berat”, sama artinya menafikan realita di lapangan akan keberadaan berbagai oknum Pekerja / Buruh yang melakukan kesalahan secara disengaja dengan niat tidak baik yang bersifat fundamentil.
PHK akibat ‘pelanggaran berat’ hanya dapat dimungkinkan, sepanjang dimaknai sebagai upaya terakhir alias ultimum remedium bagi pihak Pengusaha. Sebenarnya, perihal pelanggaran berat atau tidaknya, dapat di-PHK atau tidaknya, tetap menjadikan pihak Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung RI sebagai filter pintu gerbang terakhir, yang akan menilai dan memutus.
Pada dasarnya, selalu terdapat Pekerja yang nakal dan Pekerja yang baik, sama halnya demikian sifat-sifat berbagai kalangan Pengusaha. Fakta realita yang tidak arif bila kita pungkiri. Demi kedamaian kerja, seorang oknum Pekerja yang menjadi provokator tentulah bijak untuk di-PHK, karena kerap terjadi aksi Buruh bermula dari seorang oknum provokator di internal kalangan Buruh itu sendiri. Oleh karenanya, hukum yang baik juga selalu menawarkan solusi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut memiliki relevansi terkait tindakan provokasi yang menciptakan kondisi lingkungan kerja yang tidak baik, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 3 Agustus 2016, perkara antara:
1. TRI HARYANTO; 2. IDANG MULYADI; 3. MARION KOVA, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Para Tergugat; melawan
- PERUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (Peruri), selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Para Tergugat membuat berita rumor ‘miring’, yang menyudutkan seorang pejabat Kepala Divisi Produksi Uang Giral pada Peruri, sehingga sang Kadiv. Produksi Uang meminta kepada Penggugat, agar Penggugat melakukan penyelidikan dan memproses Para Tergugat sesuai peraturan di instansi Peruri, yaitu:
- Merupakan berita yang tidak benar dan merusak nama baik Sdr. Ahsari baik selaku pribadi maupun sebagai Kadiv. Produksi Uang, baik di dalam maupun diluar lingkungan instansi;
- Membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif, khususnya di dalam Divisi Produksi Uang Penggugat yang sedang bekerja keras memenuhi target produksi yang demikian tinggi.
Aksi Tergugat telah menimbulkan keresahan dan kecurigaan diantara para pekerja, instansi khususnya di Divisi Produksi Uang pada Unit Kerja Seksi Cetak, sehingga mengakibatkan kondisi kerja di Divisi Produksi Uang pada Unit Kerja Seksi Cetak menjadi tidak kondusif.
Mengenai rumor tidak benar yang diterbitkan para Tergugat, para pekerja Unit Kerja Seksi Cetak membuat pernyataan sikap, yang menyatakan:
- Akibat dari laporan tersebut membuat para pekerja Unit Kerja Seksi Cetak saling curiga dan membuat suasana tidak kondusif;
- Para pekerja Penggugat meminta kepada Penggugat memberikan sanksi yang berat terhadap pemberi laporan yang tidak benar dan tidak sesuai fakta;
- Hal tersebut diperlukan sebagai pembelajaran dan membuat jera serta tidak sembarangan kepada semua pihak agar tidak membuat laporan yang tidak benar;
- Para pekerja Penggugat mengancam akan melakukan mogok kerja apabila Penggugat tidak memberikan sanksi berat terhadap pihak yang memberikan laporan tidak benar dan tidak sesuai ke Badan Pemeriksa Keuangan RI.
Sebagai akibat dari kondisi kerja yang tidak kondusif tersebut, para pekerja Penggugat khususnya dari Unit Kerja Seksi Cetak Kembali membuat Pernyataan tertanggal 6 Agustus 2014 yang menyatakan bahwa:
- Mesin Komori tidak mendapat masalah dalam sistem kerjanya;
- Membenarkan bahwa masalah yang terjadi selama ini mengenai mesin Komori adalah rekayasa dari beberapa orang yang akan membuat lingkungan unit kerja seksi cetak dalam Penggugat tidak kondusif (saling curiga sesama teman).
Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama Peruri periode 2014—2015 (“PKB”) mengatur:
“Dilarang melakukan tindakan atau perbuatan membalas dendam, memfitnah, menyebarkan isu negatif dan mengadu domba, yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi karyawan/karyawati dan/atau pekerja lain atau perusahaan.”
Pasal 109 ayat (1) a butir 3 huruf j PKB, mengatur:
“Jenis hukuman: (1) Jenis hukuman disiplin terdiri dari Hukuman Pokok dan Hukuman Tambahan, sebagai berikut:
a. Hukuman Pokok:
1. Hukuman Ringan;
2. Hukuman Sedang;
3. Hukuman Berat:
a.) …
j.) Pemberhentian tidak dengan hormat."
Lebih lanjut Pasal 109 ayat (3) huruf c PKB, mengatur:
“Hukuman Berat diberikan jika karyawan/karyawati melanggar ketentuan Pasal 107 ayat (16) sampai dengan ayat (29) dan Pasal 108 ayat (15) sampai dengan ayat (49).”
Akibat tindakan Para Tergugat yang melanggar Pasal 108 ayat (45) PKB yaitu menyebarkan isu negatif, Penggugat memutuskan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Para Tergugat. Dalam putusan internal instansi, Pejabat Yang Berwenang Menghukum (PYBM) menjatuhkan hukuman yang menyatakan Para Tergugat terbukti bersalah melakukan pelanggaran Pasal 108 ayat (45) PKB.
Dalam putusan internal instansi tentang penetapan hukuman disiplin, setelah melakukan pemeriksaan tingkat banding terhadap Para Tergugat, atasan Pejabat Yang Berwenang Menghukum (“APYBM”) menjatuhkan hukuman kepada Para Tergugat berupa pemberhentian tidak dengan hormat, sesuai PKB Pasal 109 ayat (1) a butir 3. j, karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap PKB Pasal 108 ayat (45).
Penggugat mengenakan skorsing dalam rangka proses PHK kepada Para Tergugat terhitung sejak 18 Maret 2015. Tindakan Para Tergugat dinilai telah menciptakan hubungan kerja yang tidak harmonis dengan Penggugat sehingga hubungan kerja tidak lagi dapat dipertahankan.
Tindakan Para Tergugat menyebarkan rumor yang tidak benar, telah menimbulkan keresahan dan kecurigaan diantara para pekerja, dan tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 108 ayat (45) PKB, mengakibatkan hubungan kerja yang tidak kondusif lagi untuk dipertahankan.
Penjelasan bagian umum Undang-Undang Nomor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menerangkan:
“Perselisihan Hubungan Industrial dapat pula disebabkan oleh Pemutusan Hubungan Kerja. Ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan Hubungan Kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.”
Atas skorsing menuju proses PHK tersebut, Penggugat menawarkan pembayaran kompensasi serta hak-hak normatif lainnya kepada Para Tergugat. Terhadap gugatan instansi Peruri, Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 09/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg., tanggal 31 Maret 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat terhitung sejak tanggal putusan ini diucapkan;
3. Memerintahkan Penggugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak kepada Para Tergugat sebesar total Rp666.468.872,00 dengan perincian: kepada Tergugat I (Tri Haryanto) sebesar Rp243.467.429,00; kepada Tergugat II (Idang Mulyadi) sebesar Rp213.535.959,00 dan kepada Tergugat III (Marion Kova) sebesar Rp209.465.484,00.”
Para Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa PHI telah keliru untuk menyatakan putusnya hubungan kerja karena Para Tergugat telah melakukan pelanggaran berat berupa menyebarkan isu negatif sebelum adanya putusan pidana yang menyatakan bahwa Para Para Tergugat telah bersalah melakukan tindak pidana menyebarkan isu negatif, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU/2003 yang telah menyatakan Pasal 158, 159, dst. tentang pelanggaran/kesalahan berat, dihapus karena dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945.
Dimana terhadap dalil Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 25 April 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 20 Mei 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Para Pemohon Kasasi terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yaitu menyebarkan isu negatif tentang pelaksanaan SAT dan FAT, maka sesuai ketentuan Pasal 109 ayat (1) d butir j juncto Pasal 109 ayat (3) huruf c, maka beralasan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Pemohon Kasasi dan mewajibkan kepada Termohon Kasasi untuk membayar Uang Pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Bahwa sesuai Pasal 124 ayat (2) Perjanjian Kerja Bersama hanya mengatur pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja karena pelanggaran berat tetap diberikan kompensasi, maka Para Pemohon Kasasi yang di PHK karena pelanggaran berat, maka berdasarkan keadilan sesuai ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan masa kerja Pemohon Kasasi I selama 31 (tiga puluh satu) tahun dan 6 (enam) bulan, masa kerja Pemohon Kasasi II selama 25 (dua puluh lima) tahun dan 10 (sepuluh) bulan, serta Pemohon Kasasi III selama 25 (dua puluh lima) tahun dan 2 (dua) bulan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi Tri Haryanto dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. TRI HARYANTO, 2. IDANG MULYADI, 3. MARION KOVA, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.