Putusan Hakim: Kuantitas atau Kualitas?

ARTIKEL HUKUM
Sebenarnya, apakah ada pengaruhnya, antara tumpukan berkas perkara yang mengantre untuk diputus dengan tingkat keadilan, atau dengan kata lain, antara bobot tugas perkara yang tidak proporsional dengan jumlah personel hakim, terlebih jumlah Hakim Agung yang terbatas, harus memeriksa dan memutus ribuan perkara dari seluruh penjuru negeri, apa mungkin dengan jumlah beban sedemikian besar, dapat menghasilkan putusan yang berkualitas?
Wajar, bila seorang hakim menolak atau berkilah menjawabnya. Bukanlah pertanyaan yang mudah untuk diajukan bagi kalangan hakim, karena kalangan hakim yang bersedia menjawab pertanyaan tersebut sama artinya membuka ‘aib’ kalangan hakim itu sendiri yang selama ini telah ditutup rapat agar tidak membuat panik dan cemas warga masyarakat di Tanah Air. Dalam kesempatan kali ini, penulis akan mengungkap rahasia terbesar praktik peradilan di Indonesia. Artikel ini cukup kelam, sehingga pembaca yang menyukai “the happy ending stories” hendaknya tidak perlu melanjutkan pembacaan artikel singkat ini.
Mengajukan pertanyaan semacam itu kepada kalangan hakim, sama artinya mengundang ‘perang dingin’ dengan kalangan hakim. Sejatinya, pertanyaan tersebut dapat kita jawab sendiri, lewat introspeksi dan perenungan diri.
Bobot kerja, berbanding terbalik dengan kualitas dan tingkat ketelitian. Ini merupakan hukum kinerja yang tidak dapat dikelabui oleh pembenaran diri. Setidaknya itulah pengalaman pribadi penulis yang berkecimpung dibidang hukum.
Tanpa harus terlebih dahulu mengecap pengalaman sebagai seorang hakim, namun ketika semakin banyak limpahan bobot kerja, tanpa diberi kesempatan untuk melakukan delegasi maupun pembagian bobot kerja, semua harus ditangani seorang diri, sama artinya mengorbankan kualitas dan tingkat ketelitian. Dalam berbagai putusan pengadilan, hingga penyusunan regulasi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, hampir selalu penulis jumpai kekeliruan pengetikan yang terbilang fatal.
Baru-baru ini kita simak pula pemberitaan bagaimana Mahkamah Agung RI melakukan kekeliruan dalam mengetik amar putusan sengketa SOP DPD DKI Jakarta mengenai masa jabatan Ketua DPD yang hanya dibatasi 2,5 tahun sementara ketua DPR diberikan masa jabatan 5 tahun. Itu merupakan kasus clerical error putusan yang terungkap. Yang tidak terungkap ataupun tersadari, jauh lebih masif.
Dilematis, itulah jawaban yang hendak penulis kemukakan atas pertanyaan yang sebenarnya terbilang klise. Sebanyak apapun kini Mahkamah Agung membuka program “Ca-Kim” (calon hakim), pada hakekatnya jumlah Hakim Agung pada institusi Mahkamah Agung RI tetaplah ‘itu-itu saja’, sebanyak atau sesedikit apapun berkas perkara yang masuk ke Mahkamah Agung.
Namun menjadi pertanyaan lanjutan yang menarik, mengapa hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, gagal untuk memuaskan para pencari keadilan untuk cukup atas putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi saja selaku judex factie, tanpa perlu menambah bobot kerja Mahkamah Agung yang sudah luar biasa sibuknya?
Mengapa masyarakat justru berspekulasi dengan “melempar” perkara mereka hingga tingkat kasasi? Mengapa masyarakat tidak puas atas putusan judex factie? Sebelum membuat hipotetis atas postulat demikian, penulis hendak mengangkat sebuah ilustrasi nyata berikut.
Dalam sebuah kejadian menarik, diadakan sayembara foto terbaik yang diikuti oleh ribuan peserta. Foto-foto yang masuk ke panitia, diadakan seleksi dan sortir, terkumpul beberapa foto yang ditetapkan sebagai finalis. Namun, panitia kemudian merasa yang lolos seleksi babak pertama untuk menjadi finalis, terlampau sedikit untuk masuk dalam pemilihan putaran kedua, maka diambillah beberapa foto peserta yang sebelumnya telah gagal proses seleksi.
Apa yang kemudian terjadi? Secara mengejutkan, dalam seleksi final, foto yang semula tidak lolos seleksi putaran pertama, ternyata terpilih sebagai juara Kesatu foto terbaik.
Terkadang, putusan bukan hanya perihal selera, bukan hanya persoalan momen semata, namun juga perihal tingkat perenungan. Ketika para panita menyeleksi ribuan foto yang masuk ke meja panitia, tidak mendapat proporsional waktu yang cukup untuk mencerap setiap foto para peserta, sehingga tidak lolos seleksi. Dan ketika foto tersebut dicermati ulang, barulah didapati penerungan mendalam sehingga keindahan di balik foto tersebut dapat ditanggkap oleh indera pikiran dan kesadaran panitia yang menjadi juri.
Sama halnya dalam konteks hakim ketika memutus suatu perkara, upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali merupakan momen untuk merenungkan ulang, diputus oleh Mahkamah Agung yang sama dengan lembaga yang memutus dalam tingkat kasasi. Hukum dan berbagai sendi kehidupan manusia, tidak lepas dari khasanah psikologi sosial.
Kembali pada pertanyaan serupa, mengapa perkara demikian ‘deras’ mengalir ke Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung? Jawabnya ialah Lembaga Yudikatif itu sendiri yang membuka ruang bagi pencari keadilan maupun para spekulan untuk berspekulasi.
Atas suatu preseden putusan hakim sebelumnya, atas perkara dengan corak kejadian serupa, hakim dengan mengatasnamakan “independensi hakim”, merasa berhak untuk memutus secara menyimpang dari berbagai yurisprudensi yang telah ada—tanpa sanksi atau hukuman apapun dari Mahkamah Agung RI, sehingga mulai lahirlah ‘jentik-jentik’ hakim korup yang merasa bebas diberikan ruang untuk melahirkan putusan yang korup.
Buktinya? Sesederhana merujuk pada kasus Akil Mochtar, dimana sang Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI masih menjabat dan belum kedapatan tertangkap tangan karena melakukan praktik kolusi jual-beli putusan sengketa Pilkada, tiada satupun pengamat maupun akademisi yang selama masa jabatan Akil Mochtar mengkritisi satupun putusan sang Ketua Mahkamah Konstitusi.
Jangan pula kita lupakan, Akil Mochtar saat masih muda belia, merupakan pengacara idealis yang telah menolong Sengkon dan Karta. Bermula dari tergoda menyimpangi preseden ketika menjabat sebagai hakim, terjadilah kebiasaan, “ketagihan” sampai akhirnya menjerumuskan sang tokoh. Akil Mochtar terjerumuskan oleh sistem hukum yang memandang remeh fungsi dan peran preseden.
Adalah “fakta logika”, bilamana Akil Mochtar bukan saja baru satu atau dua kali menjatuhkan putusan yang korup, namun dimulai dari coba-coba, tanpa teguran dari lembaga manapun, tanpa kritik dari para kritikus, berkat dalih “independensi hakim”, sebetapa menyimpang pun segala putusannya dari berbagai yurisprudensi sebelumnya, toh, semua itu dipandang hal yang sudah lumrah dalam sistem hukum di Indonesia yang tidak mengenal derajat paling minimum dalam daya prediktabilitas suatu putusan.
Karena hakim bebas memutus dan menyimpang dari preseden, hakim “independen”, dan karena yurisprudensi tidak mengikat layaknya sistem keluarga hukum Anglo Saxon ala Common Law (yang bersemboyan the binding force of precedent), maka lahirlah bibit-bibit spekulan, yang berlomba-lomba untuk berspekulasi.
Ujungnya, sebagai domino effect, kebijakan “pintu bebas” dan “hakim yang liberal” demikian justru menjerat dan mencekik lembaga Mahkamah Agung RI itu sendiri. Kini, kita beralih pada persepsi seorang spekulan yang kian marak “ber-ju-di” dalam meja hijau pengadilan.
Preseden? Cuma persuasif saja daya ikatnya. The persuasive binding of precedent, demikian para Profesor Hukum di Indonesia berkata, sambil tersenyum lebar, tanpa mau menyadari bahaya laten dibalik ujaran dan pemikian demikian. Tidak heran, bila para peserta didiknya menjelma sarjana hukum-sarjana hukum “spekulan”.
Seorang spekulan, tidak berangkat dari sebentuk kepastian tertentu, bahkan beranjak dari tanpa kepastian menuju ke ketidakpastian, selain atas dasar fondasi peruntungan belaka.
Ketika hukum tidak mengenal sebentuk kepastian yang hanya dapat ditawarkan oleh keberlakuan preseden yang benar-benar mengikat hakim tanpa dapat ditawar, maka atas perkara serupa seperti yang telah diputus sebelumnya, hakim saat kini dapat membuat putusan yang sangat bertolak belakang dari putusan sebelumnya, meski corak karakter perkaranya adalah kongkuren.
Itulah yang kemudian penulis maksudkan, sebagai membuka ruang ‘bermain’ bagi cetusan-cetusan bibit-bibit pikiran nakal di kalangan hakim Ketika ‘ruang bermain’ ini dibuka lebar-lebar, bahkan oleh lembaga peradilan itu sendiri, sebanyak para manusia yang gemar ber-ju-di, maka sebanyak itu pula para spekulan peradilan ‘bermain’.
Dari sudut pandang suram dan kelam sekaligus mengerikan ini, para litigator di Indonesia bukanlah seorang sarjana hukum sejati sebagaimana di-impresikan oleh sosok litigator di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon yang demikian percaya diri dan berwibawa. Anda akan kecewa bila memiliki asumsi bahwasannya kaum litigator di Indonesia mampu menang hanya karena dirinya seorang jenius.
Bagaimana tidak, sejenius dan sehebat apapun seorang litigator di peradilan Indonesia, bila hakim dapat memutus sesuka hati sesuai “selera” pribadi sang hakim pemutus, dan sebanyak apapun Anda mengajukan bukti preseden, hakim merasa berhak menyimpang dari segala preseden tersebut.
Salah satu korbannya, ialah penulis sendiri. Dalam uji materiil di Mahkamah Konstitusi, telah terdapat belasan yurisprudensi, dengan kaedah yang menghasilkan norma hukum bahwasannya kalangan hukum bahkan akademisi memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, atas dasar kepedulian terhadap potensi merusak keberlakuan dan penafsiran suatu pasal atas suatu undang-undang.
Apa yang kemudian terjadi ketika penulis mengutip dan merujuk berbagai preseden tersebut diatas yang sudah tidak dapat terbantahkan lagi? Dengan seenak hati Mahkamah Konstitusi generasi kini merusak sendiri sendi-sendi preseden yang selama ini telah dibentuk dan diwariskan oleh para mantan Hakim Konstitusi generasi sebelumnya. Bila kita melihat konteks kejadian ini dengan kacamata budaya hukum Anglo Saxon, sudah dapat dipastikan dan dapat kita vonis: sang hakim yang menyimpang dari preseden melakukan judicial corruption.
Se-korup putusan MK RI atas frasa “dapat” (potential loss) dalam UU Tipikor yang oleh para Hakim MK RI generasi sebelumnya telah diputus “DITOLAK”, kemudian oleh kesembilan Hakim MK RI (termasuk Patrialis Akbar yang seakan memutus untuk kepentingan dirinya sendiri) atas perkara serupa diputus “DIKABULKAN”.
Sementara, bila kita merujuk preseden, putusan “DITOLAK” hanya dapat menghasilkan putusan “TIDAK DAPAT DITERIMA” bila kembali diajukan ulang—bahkan seorang mahasiswa hukum tahu akan hal ini. Bagaimana mungkin, para Hakim MK RI yang merupakan para kalangan Profesor Hukum, bahkan Doktor Hukum, tidak mengetahui konsep paling mendasar dalam ilmu hukum? Jawab: tahu, tapi pura-pura lupa.
Indikator dan parameter yang digunakan negara-negara bersistem hukum Anglo Saxon, ialah preseden itu sendiri. Ketika hakim menyimpang dari preseden, maka saat itu pula perilaku korup sang hakim terdeteksi, sehingga penyakit korup tidak terjangkit tanpa sentuhan kuratif seketika itu pula untuk dicegah, diberantas, dan diluruskan.
Sebaliknya, di Indonesia, ketika preseden disimpangi, dengan latar belakang koruptif apapun, tidak mendapat teguran ataupun sanksi dari Mahkamah Agung RI, sehingga sang hakim berlanjut pada judicial corruption tingkat / derajat yang lebih tinggi dan lebih ekstreem, sehingga pada akhirnya merusak sistem hukum. Kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar adalah efek “puncak gunung es”.
Ketika kita menghendaki putusan yang berkualitas, tidak bisa tidak kita harus membuat jumlah perkara yang masuk kepada institusi peradilan, bersifat proporsional dengan perbandingan jumlah hakim pemutus. Tanpa membuat sistem preseden mengikat layaknya sistem hukum Anglo Saxon, hakim akan terus tergoda untuk korup—ingat semboyan Lord Acton yang tidak lekang oleh waktu: power tends to corrupt.
Ketika hakim tergoda untuk korup, spekulan bermunculan. Ada gula, (maka) ada semut. Ketika spekulan muncul bak jamur di musim penghujan, maka gugatan dan upaya hukum Kasasi hingga Peninjauan Kembali tidak lagi mampu dibendung. Inilah yang pada hulunya, penulis juluki sebagai “jerat lingkaran setan”. Semua pemangku kepentingan menjadi “korban sistem”.
Selamat datang dalam sistem hukum yang korup civil law ala Eropa Kontinental yang tidak pernah disinggung oleh para akademisi hukum manapun di Indonesia. Adalah beban tanggung jawab moril penulis pribadi untuk mengungkap ‘borok’ tersembunyi di balik wibawa sistem peradilan di Indonesia. Ketika tiada lagi derajat prediktabilitas paling minimum, tiada lagi “pegangan”, maka tiada lagi hukum.
Itulah juga sebabnya, penulis selalu mendengungkan, kepastian hukum adalah nafas dan pilar penopang keadilan. Tiada keadilan yang mampu ditawarkan ketika tiada kepastian hukum. Dan, tiada kepastian hukum bila tiada derajat prediktabilitas paling minimum. Bahkan cuaca yang sukar diprediksi sekalipun, masih mampu diprediksi dengan derajat keakuratan tertentu lewat berbagai instrumen pengukur demi kepentingan maskapai penerbangan dan keselamatan penumpangnya. Bahkan, otoritas mewajibkan setiap bandara memiliki menara penyiar prediksi cuaca.
Hukum tidak lagi bersemboyan: hakim adalah “corong” undang-undang. Namun, hakim adalah / menjelma hukum itu sendiri. Itulah juga sebabnya, penulis berani menyatakan secara eksplisit, betapa jutaan sarjana hukum di Indonesia telah “dibohongi pakai” teori dalam teks ilmu hukum di Indonesia yang menyatakan bahwa hakim adalah “corong” undang-undang.
NOTE Penulis: Kalangan mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Hukum hendaknya cukup mengetahui isu yang dibahas dalam artikel ini, dan menjadi perenungan pribadi, tanpa perlu berdebat dalam lembar ujian ataupun di hadapan dosen, bila Anda tidak ingin mendapat nilai kelulusan “E”— karena pemikiran penulis belum lazim di Indonesia, sehingga cukup dipahami untuk Anda pribadi. Syukur bila Anda kelak menjadi regulator yang tergerak melakukan deregulasi.
Mungkinkah semua ini utopia? Mengubah sistem hukum civil law menuju common law, jauh lebih sukar ketimbang mengubah konstitusi, karena artinya berjalan dengan melawan arus dalam ‘kemiringan’ 180 derajat. Dua generasi yang berani mendobrak kebekuan ini pun belum tentu mampu mengubah tradisi budaya hukum yang telah mengakar dan mendarah-daging.
Mereka yang belum pernah bersentuhan dengan lembaga peradilan di Indonesia, mudah untuk dibodohi mitos demikian. Fakta dalam realita, hakim menjelma hukum itu sendiri, bukan hakim yang menghamba pada hukum—namun sang hakim itu sendiri yang memandang dirinya sendiri sebagai hukum. Sistem hukum civil law lebih banyak mudarat ketimbang faedahnya. Itulah yang terjadi, ketika kita menafikan peran preseden.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.