Piutang Kantor Pajak Bukan Kreditor Konteks Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Selaku kreditor perorangan, saya bukanlah lembaga keuangan yang dapat mengakses database Sistem Informasi Debitor (SID) yang selama ini hanya dapat diakses perbankan dan lembaga pembiayaan. Karena tidak dapat mengakses SID, maka saya tidak tahu, apakah ada kreditor lain selain saya, sementara untuk mempailitkan debitor, wajib ada dua kreditor yang mana piutang saya sudah jatuh tempo namun tidak dapat tertagih. Apa mungkin, bila saya menjadikan pihak piutang pajak Kantor Pajak sebagai kreditor lainnya agar syarat formil mengajukan pailit dapat terpenuhi tanpa resiko ditolak hakim?
Brief Answer: Dalam praktik di Pengadilan Niaga, pernah terjadi permohonan pailit pihak Kreditor terhadap Debitornya ditolak, dengan alasan piutang pajak negara atas pajak terutang sebuah/seorang wajib pajak, bukan termasuk dalam kriteria “Kreditor” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepailitan.
Meski terdengar janggal, namun demikianlah resiko Pengadilan Niaga hingga Mahkamah Agung RI dapat kembali memutus dengan rona vonis yang serupa dikemudian hari. Dalam praktik, ketika diadakan rapat verifikasi kreditor maupun dalam rangka voting pembahasan rencana perdamaian, kedudukan piutang Kantor Pajak dikategorikan sebagai Kreditor Preferen yang berhak mengajukan / mencatatkan / mendaftarkan tagihan pajak terutang, serta berhak bersuara dalam voting—sehinggga menjadi ambigu ketika Mahkamah Agung memiliki pandangan bahwa piutang negara tidak dikategorikan sebagai “Kreditor”.
Bila Kreditor Separatis tidak dihitung sebagai seorang “Kreditor”, karena memiliki agunan jaminan kebendaan yang dapat sewaktu-waktu dieksekusi ketika debitor cidera janji (alias alat pelunasan sudah berada di tangan sang kreditor), masih dapat dimaklumi sebagaimana pandangan Mahkamah Agung dalam beberapa putusan. Namun piutang pajak negara bukan termasuk dalam kategori Kreditor Separatis seperti pemegang jaminan Hak Tanggungan maupun Fidusia.
Ambivalensi memang menjadi bibit ketidak-pastian hukum, yang pada gilirannya menciptakan ketakutan serta frustasi para pencari keadilan, dimana semua vonis digantungkan pada ‘selera’ hakim dalam memutus yang mengakibatkan putusan pengadilan menjadi sukar diprediksi tendensinya.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi yang dapat SHIETRA & PARTNERS angkat ke permukaan, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa finansial register Nomor 15 K/N/1999 tanggal 14 Juli 1999 dimana salah satu Hakim Agung pemutusnya ialah Yahya Harahap, perkara antara:
- PT. WAHANA PANDUGRAHA, sebagai Pemohon kasasi, dahulu Termohon pailit (Debitur); melawan
- PT. LIMAN INTERNASIONAL BANK, selaku Termohon kasasi, dahulu Pemohon Pailit (Kreditur).
Termohon telah berhutang kepada Pemohon sebesar Rp. 11.479.503.474,72 dengan perincian: Utang pokok Rp. 4.500.000.000,00 sementara besaran bunga dan denda senilai Rp. 6.979.503.474,72. Utang tersebut bersumber dari Perjanjian Kredit, yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih pada tanggal 9 September 1996.
Selain berutang pada Pemohon, Termohon juga berutang pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Gambir I, serta Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kab. Pandeglang.
Terhadap permohonan pailit sang Kreditor, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan, tanggal 31 Mei 1999 No. 26/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan dari Pemohon;
- Menyatakan PT. WAHANA PANDUGRAHA yang berkedudukan di Jalan Brantas No. 21 Jakarta Pusat, Pailit.”
Sang debitor mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan karena judex facti dalam memutus perkara ini telah melanggar asas yang digariskan Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 4/1998;
“Menimbang, menurut Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 4/1998, salah satu syarat pokok untuk meminta agar seorang Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, Debitur yang bersangkutan harus mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) orang Kreditur, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (unable to pay as they fall due);
“Bahwa dalam permohonan pailit ini yang ditarik dan ditempatkan Pemohon (PT. Liman Internasional Bank) sebagai Termohon adalah PT. Wahana Pandugraha, selanjutnya untuk memenuhi asas atau syarat yang digariskan Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 4/1998, Pemohon telah mendalilkan dan menempatkan Kreditur lain yang terdiri dari:
a. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Gambir I, berkantor di Jl. Batu Tulis Raya No. 53-55 Jakarta Pusat.
b. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang, berkantor di Jl. A Yani, Pandeglang Kode Pos 42213.
“Menimbang, apakah benar menurut hukum para Kreditur a, b, c, d dan e yang didalilkan Pemohon terbukti sebagai Kreditur Termohon (PT. Wahana Pandugraha) adalah merupakan permasalahan yang harus dipertimbangkan dengan seksama dalam perkara ini;
“Bahwa mengenai Kreditur huruf a dan b, telah ditolak atau dibantah oleh Termohon sebagai Kreditur yang memenuhi kriteria hukum dalam bidang pailit atas alasan:
Kantor Pelayanan Pajak maupun Kantor Pelayanan Bumi dan Bangunan, tidak termasuk Kreditur dalam ruang lingkup pailit. Bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari Undang-Undang No. 6/1993 (sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 9/1994, Ketentuan Umum Perpajakan = KUP).
“Berdasarkan Undang-undang tersebut, memberi kewenangan khusus kepada Pejabat Pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak diluar campur tangan kewenangan Peradilan. Dengan demikian terhadap tagihan utang pajak harus diterapkan ketentuan Pasal 41 (3) Undang-Undang No. 4/1998, yakni menempatkan penyelesaian penagihan utang pajak berada diluar jalur proses pailit, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya;
“Bahwa bantahan Termohon diatas diperkuat oleh Kreditur a dan b, dan terhadap bantahan dimaksud Pengadilan Niaga dapat menerima dan membenarkan sebagaimana yang dipertimbangkan dalam putusannya yang mengatakan bahwa penarikan dan penempatan Kantor Pelayanan Pajak (Gambir I) dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang sebagai Kreditur dalam perkara ini, tidak dapat dibenarkan, karena utang pajak yang timbul antara Termohon PT. Wahana Pandugraha dengan kantor pajak tersebut adalah karena undang-undang, bukan karena hubungan hutang-piutang yang lahir dari perjanjian. Dan terhadap pendapat judex facti ini dapat dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, oleh karena itu Kreditur a (Kantor Pelayanan Pajak Jakarta, Gambir I) dan b (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang), tidak terbukti sebagai Kreditur Konkruen dalam bidang pailit terhadap Termohon;
“Menimbang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Pemohon tidak berhasil membuktikan bahwa pada saat perkara diajukan dan diperiksa, Termohon benar-benar berhadapan dengan lebih dari dua Kreditur, tetapi yang terbukti hanya terdiri dari Pemohon sendiri, maka, Permohonan pailit yang diajukan Pemohon terhadap Termohon tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 4/1998;
“Bahwa sehubungan dengan itu, putusan judex facti nyata-nyata bertentangan dengan hukum, sehingga cukup alasan untuk membatalkan dan berbarengan dengan itu peradilan tingkat kasasi akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar seperti tertera di bawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi: PT. Wahana Pandugraha, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: SABAR NABABAN, S.H. dan RETNO SULASTRI, S.H. tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 31 Mei No. 26/Pailit/1999 PN.Niaga/Jkt.Pst.;
Mengadili Sendiri:
Menolak permohonan Pemohon PT. LIMAN INTERNASIONAL BANK tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.