Perihal Penyalahgunaan Hukum

ARTIKEL HUKUM
Penyalahagunaan hak, sangat dekat derajatnya dengan penyalahgunaan hukum, dan penyalahgunaan hukum sangat dekat dengan ancaman pemidanaan maupun vonis hukuman dalam perkara perdata. Dapat dianalogikan sebagai ‘reaksi berantai’.
Dalam dunia hukum kimia, dua zat yang saling melebur, menciptakan molekul baru dnegan sifat yang sama sekali baru dan memiliki karakter yang berbeda dari zat-zat penyusunnya. Dalam dunia hukum pidana maupun perdata, antara dua postulat yang disatukan juga dapat membentuk sifat fakta hukum yang sama sekali baru.
PERINGATAN: bila jaring pengaman moral Anda kurang cukup baik, tidak disarankan untuk membaca artikel ini lebih lanjut, dan tergiur menyalahgunakan hukum sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini dapat membawa Anda pada dunia gelap yang akan Anda sesali dikemudian hari (baca: neraka).
Sebagai contoh, alkisah, berlaku undang-undang dibidang perpajakan, yang mengatur bahwa bila Wajib Pajak memiliki kelebihan setor beban pajak tertunggak, dapat diajukan permohonan restitusi pajak, dimana negara akan membayar bunga restitusi kelebihan pembayaran pajak sebesar 2 % (dua persen) untuk setiap bulannya kepada Wajib Pajak.
Meski Dirjen Pajak kemudian menerbitkan regulasi yang meniadakan bunga restitusi, tetap saja peraturan setingkat Peraturan Dirjen Pajak tidak dapat mengamputasi validitas keberlakuan norma undang-undang.
Ilustrasi berikut akan menggambarkan manuver di dalam hukum pada praktiknya. Kantor Pajak membuat tagihan pajak terutang kepada sebuah Wajib Pajak badan hukum, sang pengusaha menyetor senilai jumlah tagihan versi Kantor Pajak, sementara sejalan dengan itu, proses keberatan diajukan sang pengusaha ke Pengadilan Pajak.
Pengadilan Pajak kemudian memutuskan, mengabulkan keberatan Wajib Pajak (rata-rata putusan Pengadilan Pajak bahkan hingga tingkat Mahkamah Agung RI, memenangkan gugatan Wajib Pajak melawan Kantor Pajak), dimana negara dibebani kewajiban restitusi disertai bunga 2 % untuk setiap bulannya. Bayangkan, nilai bunga deposito jauh dibawah 1 % per bulannya. Namun demikian, secara yuridis kejadian demikian dapat dibenarkan.
Kejadian yang sama dengan konstruksi yang berbeda, dapat berujung pada ancaman tindak pidana korupsi karena ‘merugikan keuangan negara’. Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha menyadari potensi keuntungan lewat bunga restitusi pajak, lantas membuat SPT badan hukum dan menyetor pajak jauh melampaui pajak terutang yang semestinya, dan hal ini disengaja, guna memperoleh restitusi lewat pembetulan SPT disertai permohonan restitusi pajak.
Dalam ilustrasi kedua, yang terjadi ialah penyalahgunaan hak, yang berujung pada penyelundupan hukum perpajakan, dan penyalahgunaan instrumen hukum inilah yang kemudian menjadi petunjuk bagi hakim perkara pidana untuk menyimpulkan bahwa terdapat kesengajaan dan itikad buruk sebagai sikap batin sang pengusaha untuk menguras keuangan negara lewat modus restitusi pajak.
Ketika kita bandingkan antara contoh ilustrasi pertama terhadap ilustrasi kedua, keduanya sama-sama perihal restitusi, namun dampak konsekuensi yuridisnya saling bertolak-belakang—karena dalam ilustrasi pertama pihak pengusaha tidak dalam posisi dengan sengaja menyalahgunakan keadaan berupa hukum perpajakan perihal restitusi.
Kini, kita beralih pada isu ‘eksotis’ perihal hukum ketenagakerjaan. Celah hukum yang paling ‘sensuil’ dalam hukum perburuhan, ialah seputar instrumen hukum yang bernama Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) alias ‘Pekerja Kontrak’.
Yang paling ditakutkan oleh kalangan pengusaha, bukanlah perihal pesangon, namun perihal ‘Upah Proses’ (mengingat pekerja tetap dengan masa kerja kurang dari satu tahun sekalipun berhak atas Upah Proses 6 kali upah), yakni kewajiban pembayaran upah yang membebani pihak pengusaha selama permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh sang pengusaha terhadap sang pekerja masih / sedang dalam tahap dipersengketakan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Upah Proses inilah, yang lebih dikenal dengan julukan ‘Upah (selama) Skoorsing’.
Terdapat sebuah ‘escape clause’ bagi kalangan pengusaha untuk lolos dari ancaman Upah Proses (setidaknya 6 bulan upah) yang disediakan oleh instrumen Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni norma dalam Pasal 61 Ayat (1), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hubungan kerja berakhir pada saat habis masa berlaku PKWT.
Artinya, tidak dibutuhkan penetapan / putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial perihal PHK terhadap Pekerja Kontrak, sekalipun PKWT melanggar hukum karena dilangsungkan terus-menerus melebihi 3 tahun dan berjenis pekerjaan dengan sifat tetap. Artinya pula, Upah Proses alias skoorsing hanya berlaku bagi Pekerja Tetap. Sebaliknya, skoorsing tidak dikenal dalam konteks PKWT.
Sekalipun kemudian oleh Majelis Hakim dinyatakan sifat pekerjaan adalah tetap, dan ‘demi hukum’ beralih menjadi Pekerja Tetap (PKWTT), namun berhubung selama ini PKWT tidak pernah dipersengketakan oleh pihak Pekerja (yang pastilah tidak mau ‘perang dingin’ dengan pihak manajemen karena menggugat pemberi kerja), maka PKWT tersebut diasumsikan benar adanya, sehingga kaidah Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan diberlakukan oleh pengadilan: hubungan kerja putus saat berakhirnya masa kerja dalam kontrak. Hingga tiba pada puncaknya, ketika pemutusan hubungan kerja dilakukan pihak pengusaha, pihak pekerja barulah mulai mempersoalkan PKWT yang menjadi dasar hubungan mereka.
Dan, kabar buruknya, Mahkamah Agung RI konsisten terhadap putusan demikian, yakni PKWT sekalipun oleh hakim dinyatakan beralih menjadi PKWTT dan atas PHK sepihak dari pihak pengusaha mengakibatkan sang pekerja berhak atas kompensasi pesangon, namun tidak berhak atas Upah Proses.
Bayangkan, statistik menunjukkan, pekerja dengan ikatan PKWT rata-rata bekerja tidak lebih dari hitungan tiga tahun, seperti para kasir di lembaga-lembaga perbankan swasta nasional seperti PT. Bank Central Asia, mengikat para karyawan mudanya yang ditempatkan pada bagian kasir dengan ikatan PKWT meski merupakan jenis pekerjaan inti yang sejatinya tidak dapat berupa PKWT.
Bila, seandainya, pada tahun kedua sang karyawan dipecat, dengan alasan masa kerja dalam kontrak berakhir atau tidak diperpanjang kontrak kerjanya, apakah sang karyawan bagian kasir akan mengajukan gugatan terhadap manajemen ke PHI?
Untuk masa kerja kurang dari 3 (tiga) tahun, sejatinya mengajukan gugatan ke PHI hanyalah membuang-buang waktu serta biaya, sehingga tidak worthed untuk diajukan, oleh sebab nilai pesangon yang akan diperoleh sangatlah minim. Namun karena hak atas Upah Proses telah diamputasi bagi pekerja PKWT (meski jenis pekerjaan tetap), maka tiada artinya lagi mengajukan gugatan. Artinya pula, itulah sebabnya praktik PKWT ilegal demikian terus berlangsung di berbagai instansi swasta di Indonesia.
Kita tidak perlu jauh-jauh menilai lembaga swasta lain, lembaga negara sekaliber Mahkamah Konstitusi RI, mengikat puluhan (mungkin ratusan) para pegawainya dengan PKWT meski telah bekerja selama belasan tahun di MK RI tanpa terputus. Penyalahgunaan hukum dipertontonkan secara vulgar oleh institusi negara itu sendiri, sebagai teladan buruk bagi negara dengan pola pikir patronase.
Itulah juga sebabnya, uji materiil terhadap UU Ketenagakerjaan yang penulis ajukan ke MK RI perihal teramputasinya Upah Proses bagi PKWT, dinyatakan ‘tidak dapat diterima’ oleh MK RI, karena bila mengabulkan uji materiil yang dimohonkan penulis, sama artinya membuka aib dan resiko bagi institusi MK RI itu sendiri yang mengikat hampir seluruh pegawainya dengan PKWT selama belasan tahun MK RI berdiri.
Kini kita beralih pada bahasan yang sensitif, yakni perihal hak atas tanah yang berpadu pada instrumen keuangan bernama Hak Tanggungan. Siapa yang menyangka, bila instrumen jaminan Hak Tanggungan dapat disalahgunakan guna penyelundupan hukum oleh debitor.
Ketika suatu kalangan akan digugat oleh rekanan bisnisnya, dan memprediksi dirinya akan kalah di persidangan menghadapi gugatan perdata rekan bisnisnya, guna membuat gugatan lawan menjadi ‘menang diatas kertas’, maka sang tergugat mengagunkan mesin-mesin pabriknya untuk diikat jaminan Fidusia, dan membebani benda tak bergerak hak atas tanah dengan Hak Tanggungan.
Alhasil, sebelum pihak lawan sempat mengajukan sita jaminan atas berbagai aset benda bergerak maupun benda tak bergerak milik tergugat, seluruh harta kekayaan tergugat telah menjadi agunan jaminan pelunasan piutang yang dikuasai secara separuh yuridis oleh kalangan perbankan.
Mengingat, benda berharga yang telah diikat sempurna oleh jaminan kebendaan, tidak dapat lagi diajukan sita jaminan ataupun sita eksekusi, maka sebagaimana pun kuat dan dikabulkannya gugatan sang lawan bisnis, sang tergugat adalah ‘kebal’ secara hukum—oleh sebab seluruh harta kekayaannya tidak akan pernah dapat disita ataupun dieksekusi oleh pengadilan.
Tampak juga ketika debitor cukup bermodalkan sebuah agunan, membiarkan berbagai pajak tertunggak, upah buruh tertunggak, dan kredit dimacetkan. Apa yang kemudian dilakukan oleh sang debitor menghadapi tagihan berbagai kreditornya?
Dalam kasus PT. Rockit Aldeway, sang pemilik usaha mempailitkan perusahaannya sendiri guna aksi ‘cuci-tangan’ terhadap beban pajak, beban upah buruhnya, dan beban kreditot macet berbagai perbankan plat merah maupun perbankan swasta di tanah air. Cukup bermodalkan sebuah agunan, seluruh pihak dapat dikorbankan. Beruntung, PT. Rockit Aldeway kemudian dijerat tindak pidana korporasi.
Menyinggung sekilas perihal ‘tindak pidana korporasi’, Mahkamah Agung RI justru menerbitkan regulasi yang berpotensi menjadi ‘celah hukum’ pelaku kalangan usaha pemilik korporasi, dimana tanggung jawab pidana kemudian bergeser dari ancaman sanksi pidana penjara para pengurus korporasi menjadi ancaman sebatas pidana denda korporasi dengan paradigma ‘tindak pidana korporasi’—bukan ‘tindak pidana penyalahgunaan korporasi’.
Alhasil, resiko penjara bergeser menjadi sejauh resiko pidana denda: suatu kabar baik yang patut dirayakan para penjahat ‘kerah putih’ (white collar crime). Tak ada kata yang lebih tepat melukiskan, selain: ironis.
Tampaknya penulis harus menyudahi paparan singkat dalam kesempatan kali ini sebelum penulis dimintakan pertanggungjawaban karena merusak moral para pembaca karena telah menggoda untuk menyalahgunakan hukum (note penulis: siapa suruh tetap membaca pemaparan dalam artikel ini), serta agar tidak semakin banyak ‘celah hukum’ yang terungkap kepada publik, karena membuka ‘celah hukum’ kepada sipil sama artinya melanggar kode etik kalangan konsultan hukum.
NOTE PENULIS: Mungkin Anda mampu berkelit dari penghukuman hukum di muka bumi, tapi tidak akan pernah mampu Anda berkelit dari hukum karma—jadi ingatlah pesan ini selalu. Bagaikan sebilah pisau, dapat Anda gunakan untuk memasak, atau melakukan kejahatan. Segala fakta dan pengetahuan hukum dalam publikasi ini, menjadi bahan antisipasi serta mitigasi, bukan untuk disalahgunakan. Hukum selalu memperbaharui diri, sehingga apa yang dahulu merupakan ‘celah’, bisa jadi kini sudah bukan merupakan ‘celah’. Mempelajari ilmu hukum tanpa dibarengi pembelajaran moral, sama artinya menjadi petaka bagi diri sendiri dan orang lain.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.