LEGAL OPINION
Question: Seorang istri, bila mendapat perlakuan yang yang kasar dari suami, apakah salah secara hukum bila istri membela diri? Apakah istri bisa diancam undang-undang KDRT karena membuat luka seorang suami karena membela diri? Masak saya musti tunggu celaka dulu.
Brief Answer: Bila dakwaan atas perbuatan lahiriah terdakwa berwujud melukai pihak lain dinilai terpenuhi, namun bukan berarti delik pidana secara serta-merta terpenuhi pula. Hukum pidana memberi perhatian yang sama terhadap unsur batin / niat mental dari terdakwa, apakah terdapat unsur kesalahan pada batin pelaku.
Singkat kata, pembelaan diri tidak pernah dapat dikriminalisasi. Sebab, inisiatif untuk menyakiti / melukai tidak pernah bersumber dari pihak yang melakukan pembelaan diri—namun bisa jadi bermula dari pihak korban yang menjadi penyebab utama (prima factie) atas serangan pembelaan diri terhadap dirinya sendiri.
PEMBAHASAN:
SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Kolaka perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) register Nomor 165/Pid.B/2011/PN.Klk tanggal 12 September 2011, dimana terhadap dakwaan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa didalam dakwaannya Penuntut Umum menyusun dakwaan tersebut dengan dakwaan Alternatif maka untuk membuktikan perbuatan Terdakwa yang dianggap tepat dengan fakta yang terjadi di persidangan maka Majelis Hakim akan terlebih dahulu membuktikan dakwaan Kesatu Primair Penuntut Umum, adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Unsur ‘Setiap Orang’;
2. Unsur ‘melakukan perbuatan kekerasan fisik’;
3. Unsur ‘dalam lingkup rumah tangga’;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘kekerasan Fisik’ menurut Pasal 6 UU UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
“Menimbang, dihubungkan dengan fakta yuridis dipersidangan bahwa benar pada hari Senin tanggal 04 April 2011 sekitar pukul 08.30 WITA di Jl. ... , di mobil nomor polisi B ... warna hitam terdakwa telah menggigit lengan kiri bagian dalam dan membenturkan kepala terdakwa ke bibir saksi H. BACHTIAR dikarenakan terdakwa dibekap oleh saksi H. BACHTIAR dan terdakwa mencakar saksi H. BACHTIAR karena terdakwa berusaha melawan ketika terdakwa dibaringkan di lantai mobi l;
“Menimbang, bahwa setelah terdakwa berhasil lepas dari bekapan suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR), kemudian terdakwa berusaha untuk lepas dari ancaman suami terdakwa (saks i H. BACHTIAR) dengan cara berdiri dan hendak membuka pintu mobil, namun suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) kemudian mencekik serta membenturkan kepala terdakwa di kursi tengah mobil setelah itu terdakwa dipukul dengan pipa besi, selanjutnya terdakwa dibaringkan di lantai mobil dan lutut kanan suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) menekan ulu hati terdakwa, sehingga terdakwa meronta dengan berusaha melepaskan dominasi terdakwa dengan cara mencakar saksi H. BACHTIAR sehingga melukai suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR);
“Menimbang, bahwa akibat perbuatan terdakwa H.BACHTIAR mengalami luka robek pada bibir bagian atas panjang 5 cm, luka gores di muka 10 buah panjang 2-5 cm, luka memar di bagian lengan kiri diameter 5 cm, luka gores tangan kiri dua buah panjang 4 cm, sesuai visum et repertum nomor ... , tanggal ... yang di tanda tangani oleh dr. ... dokter pada Puskesmas Pomalaa, dengan kesimpulan luka lebam di bagian lengan tersebut diakibatkan oleh persentuhan benda tumpul, luka gores pada muka dan lengan kiri disebabkan oleh persentuhan dengan benda tumpul tipis;
“Menimbang, bahwa dari ura ian tersebut, maka unsur ‘melakukan perbuatan kekerasan fisik’ telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa yang masuk dalam lingkup rumah tangga menurut Pasal 2 ayat (1) huruf a UU UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah suami, isteri, dan anak;
“Menimbang, bahwa sehubungan dengan ‘dalam lingkup rumah tangga’ tersebut dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dipersidangan bahwa benar terdakwa menikah dengan korban H. BACHTIAR sesuai kutipan Akta Nikah Nomor ... , tanggal 27 Maret 1995 dan sampai sekarang terdakwa dan korban masih suami istri yang sah dan telah dikaruniai 4 (empat) orang anak yang masing-masing bernama EXEL (14 tahun), ANREA (7 tahun), ROI (6 tahun) dan JORGI (2 tahun), sehingga nyata-nyata bahwa saksi korban H. BACHTIAR adalah suami sah dari terdakwa;
“Menimbang, bahwa dari uraian tersebut, maka unsur ‘dalam lingkup rumah tangga’ telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pertimbangan-pertimbangan tersebut, perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari Pasal Dakwaan Kesatu Primair, sehingga Majelis Berkes impulan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang- undang Nomor : 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan yang diperoleh selama pers idangan dalam perkara ini, apakah terdapat atau ditemukan hal-hal yang dapat melepaskan Terdakwa dari pertanggung jawaban pidana, baik sebagai alasan Pembenar dan atau alasan Pemaaf, yang dapat menghapuskan sifat pidana yang dilakukan oleh terdakwa (straf uitsluitingsgronden);
“Menimbang, bahwa mengenai Pertanggungjawaban pidana seperti yang dijelaskan dalam MvT (memorie van tolechting) dikenal mengenai alasan seseorang tidak dapat dipidana adalah sebagai berikut :
1. Alasan tidak dapat dipertanggung jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (Pasal 44 KUHP);
b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu :
a. Daya paksa atau overmacht (Pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (Pasa l 49 ayat 1);
c. Melaksanakan undang-undang (Pasa l 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51);
“Menimbang, bahwa selain dari pengertian diatas Ilmu hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya si pembuatnya (dader). Penghapusan pidana dapat juga menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
a. Alasan pembenar. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan Pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schuld uitsluittings grond-fait d’excuse).
“Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
“Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai Pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pada hari pada hari Senin tanggal 04 April 2011 sekitar pukul 08.30 WITA di Jl. ... , di mobil ... nomor polisi ... warna hitam, terdakwa telah mencakar, menggigit lengan kiri bagian dalam dan melukai bibir saksi H. BACHTIAR;
“Menimbang, bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa sebagai berikut yaitu : ‘Ketika terdakwa hendak pindah ke kursi tengah karena cek- cok dalam mobil tersebut kemudian suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) menyusul dan ketika terdakwa hendak turun dari mobil suami terdakwa memegang tangan terdakwa dan membekap terdakwa sehingga terdakwa menggigit lengan kiri bagian dan membenturkan kepala terdakwa ke bibir suami terdakwa, dan ketika terdakwa hendak berdiri membuka pintu mobil, kemudian suami terdakwa mencekik serta membenturkan kepala terdakwa di kursi tengah mobil selama ± 20 menit dan terdakwa dipukul dengan pipa besi, selanjutnya terdakwa dibaringkan di lantai mobil dan lutut kanan suami terdakwa menekan ulu hati terdakwa, sehingga terdakwa meronta dengan cara mencakar suami terdakwa, lalu terdakwa dipukul lagi dengan pipa besi di bagian kepala serta dicekik sampai terdakwa tidak berdaya dan berlumuran darah;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim memperhatikan fakta serta dikaitkan dengan teori diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan terdakwa selaras dengan pengertian pembelaan terpaksa (Nodwer), dimana haruslah dipenuhi dua unsur pokok sebagai berikut :
1. Adanya serangan,
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Melawan hukum;
b. Seketika dan langsung;
c. Ditujukan pada diri sendiri / orang lain;
d. Terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda;
2. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu.
Syarat pembelaan :
a. Seketika dan langsung;
b. Memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.
“Menimbang, bahwa tindakan suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) menyusul terdakwa pindah ke kursi tengah mobil dan ketika terdakwa hendak turun dari mobil suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) memegang tangan terdakwa dan membekap terdakwa sehingga terdakwa menggigit lengan kiri bagian dan membenturkan kepala terdakwa ke bibir saksi H. BACHTIAR, adalah serangan awal suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) sebagai seorang lelaki, sedangkan bekapan itu dirasakan dilakukan dengan tenaga yang kuat, sehingga terdakwa merasa dirinya dalam keadaan terancam lalu terdakwa berusaha untuk lepas dari ancaman itu yang dilakukan terdakwa tanpa cara lain karena sudah terdesak yakni dengan cara menggigit lengan kiri bagian dalam (dengan melihat foto korban : luka yang dialami korban dapat dipastikan karena pelaku ada dalam lingkaran / dekapan tangan korban) kemudian terdakwa membenturkan kepala belakang sehingga mengenai bibir korban (suami terdakwa/H. BACHTIAR), sehingga bibir bagian dalam saksi korban H. BACHTIAR terluka akibat bergesekan dengan gigi saksi H. BACHTIAR itu sendiri;
“Menimbang, bahwa setelah terdakwa berhasil lepas dari bekapan suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR), kemudian terdakwa berusaha untuk lepas dari ancaman suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) dengan cara berdiri dan hendak membuka pintu mobil, namun suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) kemudian mencekik serta membenturkan kepala terdakwa di kursi tengah mobil selama ± 20 menit dan terdakwa dipukul dengan pipa besi, selanjutnya terdakwa dibaringkan di lantai mobil dan lutut kanan suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) menekan ulu hati terdakwa, sehingga terdakwa meronta dengan berusaha melepaskan dominasi suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) dengan tanpa cara lain karena terdakwa sudah merasa terdesak dan apabila hal itu dibiarkan akan membahayakan jiwa terdakwa sendiri sehingga terdakwa mencakar saksi H. BACHTIAR dan akhirnya melukai wajah H. BACHTIAR, namun tindakan cakaran terdakwa tersebut diartikan sebagai tindakan serangan kepada suami terdakwa (saksi H. BACHTIAR) sehingga terdakwa dipukul lagi dengan pipa besi di bagian kepala serta dicekik sampai terdakwa tidak berdaya dan berlumuran darah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa tindakan terdakwa dalam melakukan perbuatan fisik dalam lingkup rumah tangga yakni dengan perbuatan terdakwa mencakar, menggigit lengan kiri bagian dalam, dan melukai bibir saksi H. BACHTIAR apabila disesuaikan dengan rumusan teori diatas dengan fakta di persidangan maka telah nampak perbuatan terdakwa tergolong dalam rumusan alasan pembenar (noodweer) dengan kualifikasi pembelaan terpaksa (yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP), yakni perbuatan terdakwa adalah upaya untuk membela diri dalam keadaan yang terpaksa apabila terdakwa tidak melakukan perbuatan tersebut, maka sudah dipastikan akan membahayakan jiwa terdakwa sendiri, sehingga meskipun perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan delik dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun apabila perbuatan terdakwa tidak melawan hukum dan hanya sebagai pembelaan terpaksa maka tidak mungkin ada pemidanaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut oleh karena Terdakwa telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam Dakwaan Kesatu Primair akan tetapi dalam perbuatan yang dilakukan Terdakwa tersebut terdapat alasan yang dapat menghapus pemidanaan terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh Terdakwa sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Penuntut Umum dalam Dakwaan Kesatu Primair akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan oleh karenanya berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Terdakwa haruslah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechts vervolging);
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa ... telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Primair akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana;
2. Menyatakan Terdakwa ... telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Subsidair akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana;
3. Menyatakan Terdakwa ... telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana dalam Dakwaan Kedua akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana;
4. Melepaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum;
5. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.