LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya jika ada karyawan yang melakukan pelanggaran berat, apa masih berhak nuntut pesangon orang itu?
Brief Answer: Bila jenis pelanggaran fundamental yang dilakukan Pekerja / Buruh telah secara nyata merugikan Pengusaha, seperti melakukan penggelapan, mark up, atau tindakan sejenis, Pekerja / Buruh dapat diajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dimana hakim hanya akan memberikan sebatas Upah Pisah dan Upah Proses bagi sang Pekerja / Buruh bersangkutan, tanpa hak atas kompensasi Pesangon.
Falsafah dibalik paradigma demikian, hubungan industrial ialah hubungan mutualisme, dimana pihak Pengusaha dan pihak Pekerja saling menguntungkan satu sama lain, saling memberi dan saling menerima.
Namun ketika prinsip mendasar dalam hubungan industrial terlanggar dan dicederai oleh itikad tidak baik pihak Pekerja, sehingga menimbulkan kerugian riel bagi pihak Pengusaha, maka hukum tidak dapat melindungi pihak yang tidak menampilkan bentuk itikad baik dalam suatu hubungan hukum apapun.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 535 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 3 Agustus 2016, perkara antara:
- KUKUH AGUS YURIANTO, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. NOVARTIS INDONESIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan pegawai Tergugat yang telah bekerja sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 (masa kerja 8 tahun 6 bulan) dengan jabatan terakhir sebagai Area Manager. Pada tanggal 10 Januari 2015, Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan Penggugat, dengan alasan Penggugat telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Penggugat mendalilkan, sebelum ini dirinya tidak pernah mendapat sanksi berupa Surat Peringatan dari Tergugat, dan apabila Penggugat melakukan kesalahan maka seharusnya Tergugat terlebih dahulu memberikan sanksi berupa Surat Peringatan.
Selanjutnya Penggugat dipanggil oleh Tergugat guna diperiksa. Penggugat tidak keberatan dengan rotasi/mutasi yang dilakukan oleh Tergugat, tapi Penggugat meminta tambahan uang makan, transportasi dan mess, namun Pihak Tergugat menolak permohonan Penggugat.
Pada tanggal 9 Januari 2015, Penggugat dipanggil untuk menindak-lanjuti hasil pemeriksaan, Tergugat menjelaskan bahwa Penggugat telah bersalah dan mulai tanggal 10 Januari 2015 Penggugat di-PHK.
Penggugat merasa, setiap pemakaian bensin untuk operasional kerja sehari-hari sudah berlangsung kurang lebih 2 tahun dan sudah disetujui oleh atasan Penggugat, sehingga merasa sudah menjadi hal yang lumrah, oleh karenanya PHK yang dilakukan oleh Tergugat dinilai sebagai sepihak.
Sementara itu pihak Pengusaha mendalilkan, saat mengisi bensin, Penggugat hanya mengisi sebanyak 10 atau 20 liter, namun yang tertera di dalam struk bensin adalah 30 Liter. Penggugat memperoleh format struk bensin dari rekan Penggugat yang bekerja di SPBU.
Sejak terkuaknya perbuatan demikian, Penggugat tidak pernah lagi masuk bekerja dan sangat sulit ditemui di lokasi kerjanya. Merujuk pada kaedah Pasal 52 ayat 3.3 huruf a angka 15 Perjanjian Kerja Bersama, mengatur:
“Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan mendesak: Perusahaan dapat langsung memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja untuk alasan mendesak, dalam hal pekerja melakukan suatu kesalahan yang sedemikian beratnya sehingga tidak ada lagi pilihan.”
Walaupun Penggugat tidak pernah lagi hadir di tempat kerja, Tergugat tetap membayarkan Upah sampai dengan Januari 2015. Dalam proses PHK ini, Pengusaha tidak mengenakan skorsing, sehingga dalam proses PHK ini Pengusaha berkewajiban melaksanakan kewajibannya bekerja (berupa pembayaran Upah). Namun dikarenakan Penggugat tidak pernah masuk bekerja, maka sesuai Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13/2003, Penggugat dinilai tidak berhak atas Upah (selama) Proses PHK berlangsung.
Terhadap gugatan Penggugat maupun bantahan Tergugat, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 206/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 6 Januari 2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ‘putus’ hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi atas Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat berupa Uang Pisah dan Upah selama proses yang keseluruhannya berjumlah Rp25.415.345,00 (dua puluh lima juta empat ratus lima belas ribu tiga ratus empat puluh lima rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang tegas sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 5 Februari 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 18 Maret 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Kasasi telah terbukti melakukan tindakan berupa membuat dan menyerahkan struk pembelian bensin yang tidak benar dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi, perbuatan mana dilakukan oleh Pemohon Kasasi sejak bulan Maret 2013 s/d Oktober 2013 yang mana berakibat sangat merugikan Termohon Kasasi;
- Bahwa perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi tersebut adalah kesalahan berat sebagaimana diatur pada angka 8 Nomor 3 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) periode 2014-2016 dan Ketentuan Pelengkap Pasal 52 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) periode 2014-2016 dengan sanksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa Pesangon dan hanya berhak atas Uang Pisah sebesar 0,10 dari Upah Pokok;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi KUKUH AGUS YURIANTO tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KUKUH AGUS YURIANTO tersebut.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Dari sudut pandang sosiologis, putusan diatas kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Cobalah kita renungkan, Pengusaha memberi perintah tugas dinas atau luar kantor bagi Pekerja, yang seringkali menggunakan kendaraan pribadi sang pekerja (bukan kendaraan dinas). Apakah Pengusaha telah menghitung faktor amortasi kendaraan yang merupakan milik dan ditanggung sang Pekerja? Bisa jadi, faktor amortasi kendaraan pribadi sang Pekerja jauh lebih tinggi dari nilai pemakaian bensin yang diklaim sang Pekerja.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.