ARTIKEL HUKUM
Tipe negara, secara garis besar, berdasarkan Ilmu Negara yang paling
klasik, terbagi menjadi dua: Negara Federasi dan Negara Kesatuan.
Negara Federasi, dapat direpresentasikan oleh USA yang merupakan singkatan dari
United State of America.
Artinya, masing-masing Negara Bagian dari 40-an Negara Bagian yang berkumpul
pada payung “USA”, sejatinya bersifat otonom dalam arti sesungguhnya—hampir menyerupai
negara-negara berdaulat, karena masing-masing Negara Bagian memiliki sistem dan
hukumnya sendiri, aparatur penegak hukumnya sendiri, dan independensi dalam
derajat tinggi.
Dalam tipe Negara Federasi, Negara Federal diberikan separuh kecil
kewenangan yang merupakan hasil konsensus para Negara Bagian yang saling
berkumpul dan berembuk untuk membentuk payung federasi yang dapat menjadi
koordinator antar Negara Bagian. Sehingga, sejatinya Negara Federal hanya
sekadar ‘koordinator’, dimana kewenangannya sangat minim ketimbang independensi
masing-masing Negara Bagian.
Tipe Negara Federasi lainnya, dengan kohesi yang agak renggang, ialah Uni
Eropa, dimana masing-masing negara anggotanya adalah berdaulat, dimana
intervensi Uni Eropa memiliki daya validitas atas dasar konsensus para negara
anggotanya untuk patuh dan tunduk pada apapun kebijakan dan putusan Uni Eropa.
Dalam tipe negara demikian, kewenangan pemerintah pusat hanyalah ‘remah-remah’
dari kewenangan seutuhnya masing-masing Negara Bagian, dimana kekuasaan otoritas
pusat (federal) bukan bersifat memberi, justru diberikan oleh Negara
Bagian-Negara Bagian kepada otoritas federal. Dengan demikian, dapat juga kita
nyatakan, Negara Bagian memberi sedikit kewenangan kepada
otoritas federal.
Sebaliknya, dalam jenis Negara Kesatuan seperti Negara Kesatuan Republik
Indonesia, pemerintah pusatlah yang berwenang memberi kekuasaan dan rambu-rambu
otonomi kepada daerah-daerah. Dengan kata lain, pemerintah pusat berdaulat penuh
dan utuh, sementara provinsi, kabupaten/kota, tidak memiliki kewenangan apapun
tanpa diatribusikan, diberikan mandat, ataupun diberi delegasi kekuasaan oleh
pemerintah pusat. Top to down. Kebijakan
bersifat sentralistis—bukan desentralisis.
Gaya / karakter pemerintahan antara Negara Federal dan Negara Kesatuan
saling bertolak-belakang, dan tidak dapat saling dipertukarkan. Ketika kita
memaknai tren Otonomi Daerah yang dijadikan sebagai kebijakan reformasi NKRI, tidak
dapat diartikan mengubah sendi jenis Negara Kesatuan menjadi Negara Federal.
Secara berangsur, tanpa kita sadari, dimulainya tren Pemilukada
(pemilihan umum kepala daerah), sejatinya membuat karakter NKRI bergeser
menjadi tipe Negara Federal, dimana daerah masing-masing dipimpin oleh seolah
kepala yang dipilih langsung oleh rakyatnya.
Karena dipilih langsung oleh penduduk kota/kabupaten/provinsi, Pemerintah
Pusat (dalam hal ini Presiden) menjadi ter-rong-rong wibawanya, sebab Presiden
tidak lagi dapat menegur, memberi sanksi imperatif, ataupun mencopot kepala
daerah yang tidak senada dengan kebijakan pemerintah pusat, menjadikan
menyerupai ‘negara didalam negara’—hanya karena dalil: Kepala Daerah baik
Bupati, Walikota, dan Gubernur, dipilih langsung oleh rakyat, tak berbeda
dengan seorang Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan.
Praktik demokrasi di Indonesia memang telah menjelma ke-blablas-an. Dalam
tipe Negara Federal, masing-masing Negara Bagian-lah yang menyusun regulasi
pemerintah masing-masing Negara Bagian, dan hal ini yang kemudian ditiru oleh
NKRI lewat terbitnya berbagai Peraturan Daerah demi Peraturan Daerah. Bahkan terdapat
pula konsepsi mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang juga
merupakan tipikal atau ciri khas jenis Negara Federasi.
Kini, Pemerintah Pusat hendak melakukan deregulasi, terutama berbagai
Perda di daerah, yang tidak senafas dengan percepatan pembangunan dan iklim
investasi usaha guna menjadi motivasi atau insentif bagi pengusaha untuk datang
dan menggerakkan roda ekonomi di Indonesia.
Apa daya, bahkan para Gubernur dan Kementerian Dalam Negeri yang
merupakan anak buah (baca: bawahan) Presiden, tidak lagi dapat menjangkau dan
mengendalikan para Kepala Daerah ditingkat Kabupaten/Kota. Alhasil, kebijakan
pemerintah pusat menjadi ‘terpasung’, bahkan timbul ‘desertir’ dan praktik ‘negara
didalam negara’ lewat aksi permohonan pembatalan kewenangan pembatalan
kewenangan pemerintah pusat untuk mengutak-atik Perda-Perda sebagaimana diajukan
para segenap Bupati dan Walikota ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI guna menggugurkan
beberapa norma dalam undang-undang tentang Otonomi Daerah.
Apa daya, telah terbit putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 137/PUU-XIII/2015
tentang Uji Materiil (judicial review)
terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang
mana kesembilan Hakim Konstitusi yang notabene para “profesor” dan “guru besar”
dibidang Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-Undangan, menyatakan pemerintah pusat
tak boleh lagi turut campur tangan atas produk hukum Pemerintah Daerah
Kabupaten Kota.
Artinya, efektifitas Pemerintah Pusat dalam mengontrol dan memobilisasi
aparaturnya di tingkat Kabupaten dan Kota, teramputasi, dalam arti yang
sesungguhnya. Tidak ada kata yang dapat mewakili selain “salah kaprah yang
tidak pada tempatnya”. NKRI adalah harga mati, dimana disintegrasi kini didepan
mata akibat praktik ‘negara didalam negara’ yang tidak lagi dapat diawasi,
dikontrol, dikoreksi, ataupun dipaksakan keberlakuannya oleh Pemerintah Pusat.
Negara Kesatuan hanya boleh memiliki satu orang Nahkoda.
Mahkamah Agung terbatas jumlah personel Hakim Agung yang menjabat. Sebagaimana
kita ketahui, Kamar TUN MA RI tidak hanya memeriksa dan memutus perkara Uji
Materiil, namun juga perkara-perkara sengketa Tata Usaha Negara yang juga
tergolong masif mencapai ribuan nomor perkara setiap tahunnya, belum lagi
terhitung pula perkara-perkara yang masih menumpuk dan mengantre untuk diputus.
Ketika beban review terhadap
Perda-Perda bermasalah dibebankan sepenuhnya kepada bahu para Hakim Agung Kamar
TUN, sama artinya ‘membunuh’ lembaga MA RI karena MA RI tidak lagi dapat
berbagi beban dengan Pemerintah Pusat untuk melakukan review terhadap implementasi Perda-Perda tersebut yang ternyata
memiliki implikasi ketika diterapkan untuk beberapa waktu kemudian setelah
diberlakukan dan mengikat umum (erga
omnes) berbagai Perda tersebut, terutama mengenai berbagai pungutan sampai-sampai
terdapat Perda yang memungut tarif atas pengurusan Kartu Tanda Penduduk pada
satu daerah Kabupaten/Kota.
Kini, praktis segala sendi Tata Negara Indonesia menyerupai model tipe
Negara Federal ala Uni Eropa dan Amerika Serikat, dimana kewenangan Pemerintah
Pusat demikian terbatas. Janganlah kita berpikir sosok Presiden AS sangat
berkuasa. Ia mungkin tampak berkuasa ke luar yurisdiksi USA, namun seorang
Presiden USA tidak dapat mengintervensi masing-masing Negara Bagian.
NKRI, hanya tinggal sekadar nama emblem “Negara Kesatuan” yang tidak lagi
benar-benar utuh. Kebijakan, program-program serta arahan dan perintah
Presiden, macet ketika tiba ditingkat Kabupaten / Kota. Ketika kohesi tata
pemerintahan telah menjadi ‘renggang’, potensi dis-integrasi sejatinya bagai bibit-bibit
yang ditanam sendiri oleh para pencetus ide / gagasan Otonomi Daerah yang
keblablasan ini. Mau dibawa kemana negeri ini, bila negara kita bersifat ‘trans-gender’:
pria tidak, wanita juga tidak, Negara Kesatuan tidak, Negara Federasi juga tidak.
Negara gado-gado.
Mungkin, inilah tipe negara ketiga yang berhasil ditemukan oleh para
Hakim Konstitusi jenius serta para petinggi-petinggi penyusun regulasi yang
terhormat di Indonesia, yakni: Tipe Negara LGBT.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.