Modus Canggih Manuver Korporasi Eksploitasi Tenaga Kerja

LEGAL OPINION
Ambiguitas Ekspansi Usaha Berkedok Efisiensi Berujung PHK
Penutupan Divisi Usaha = Efisiensi = 2 X Pesangon
Question: Bila pabrik menutup salah satu produksi divisi lini produknya, lantas memecat para pegawai yang selama ini ditempatkan pada divisi tersebut, maka kejadian semacam ini akan dapat dikategorikan sebagai apa, dan bagaimana pula pandangan hukum mengenai hal ini dalam praktik di pengadilan?
Brief Answer: Mahkamah Agung RI maupun praktik berbagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), mengkategorikan penutupan salah satu lini usaha dalam suatu perusahaan, sebagai “efisiensi usaha”, dengan konsekuensi yuridis berupa hak Pekerja / Buruh atas kompensasi pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi serupa dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK ‘Efisiensi Usaha’ register Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 21 September 2016, perkara antara:
- ANDRE F. L. ANGGUI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- PT MITSUBISHI CORPORATION INDONESIA (MCI), selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Para Tergugat bekerja di bagian Living Essentials Group (LEG) dan dikarenakan adanya Keputusan Penggugat untuk menutup bagian LEG tersebut per tanggal 31 Agustus 2015 maka Penggugat harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada seluruh pekerja pada bagian tersebut, termasuk Para Tergugat.
Terkait dengan keputusan Penggugat, Penggugat kemudian memberitahukan perihal keputusan PHK kepada seluruh pekerja bagian LEG, karena pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh Para Pekerja bagian LEG, akan tidak ada lagi di perusahaan Penggugat, dimana hal tersebut adalah terkait dengan keputusan bisnis Pemegang Saham (induk) perusahaan Penggugat yaitu Mitsubishi Corporation yang telah mendirikan PT. MC Living Essentials Indonesia (MCLEI) pada tahun 2012, yang salah satu bidang usahanya adalah sama dengan bagian LEG yang ada di perusahaan Penggugat—Note SHIETRA & PARTNERS: suatu pengakuan Penggugat yang sangat aneh, bila perusahaan induk membuat badan hukum baru yang mengakibatkan divisi usaha badan hukum lainnya harus ditutup, sehingga yang terjadi ialah pengalihan order pemesanan usaha, bukan akibat ‘gulung tikar’ merugi tanpa pemesanan oleh konsumen.
Terkait dengan keputusan PHK tersebut, maka Penggugat mengklaim melakukan upaya agar setelah pelaksanaan PHK terjadi, para pekerja bagian LEG termasuk Para Tergugat dapat tetap (langsung) bekerja di PT. MCLEI dengan upah dan tunjangan yang sama. Namun dari 15 orang pekerja di bagian LEG yang terkena PHK, hanya 5 orang yang mengajukan Permohonan kepada PT. MCLEI untuk diterima bekerja sejak tanggal 1 September 2015, sedangkan 10 orang lagi tidak mengajukan permohonan sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh PT. MCLEI—Note SHIETRA & PARTNERS: suatu praktik mutasi Pekerja secara terselubung, yang mengakibatkan hangusnya masa kerja Pekerja yang dimutasikan pada badan hukum baru meski dimiliki oleh pemilik Grub usaha yang sama.
Atas rencana tersebut, pihak Serikat Pekerja menyatakan tidak menolak atau menghalangi PHK dan mutasi permanen karyawan dari PT. MCI ke PT. MCLEI, namun dengan syarat bahwa Perjanjian Kerja Bersama PT. MCI harus diberlakukan di PT. MCLEI.
Keinginan Para Tergugat tersebut ditolak Penggugat, dengan alasan dikarenakan PT. MCI dan PT. MCLEI adalah 2 badan hukum yang berbeda, dan juga proses yang dilakukan terhadap Para Tergugat adalah proses PHK dikarenakan ditutupnya satu bagian yaitu bagian LEG, dan bukan perubahan nama perusahaan atau perubahan status perusahaan.
Terkait perselisihan atas rencana PHK tersebut, Mediator Hubungan Industrial pada Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat kemudian menerbitkan  anjuran tertulis yang pada pokoknya menganjurkan agar pekerja Andre F.L Anggui, dkk (7 orang) dapat menerima PHK oleh Perusahaan PT. Mitsubishi Corporation Indonesia dengan kompensasi Pesangon dan hak-hak lainnya.
Pihak Pengusaha juga mendalilkan, dikarenakan sejak tanggal 31 Agustus 2015 telah dilakukan PHK terhadap Para Tergugat dikarenakan bagian dan pekerjaan yang terdapat di LEG sudah tidak ada lagi, dan Para Tergugat tidak lagi melakukan aktivitasnya sebagaimana layaknya seorang Pekerja sejak tanggal 1 September 2015, maka Para Tergugat tidak berhak atas upah proses perselisihan.
Terhadap gugatan Pengusaha, selanjutnya Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat memberikan putusan Nomor 295/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST. tanggal 6 April 2016 yang amarnya sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berkaitan dengan sah dan tidaknya anjuran dari Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat, bukanlah merupakan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa dan memutusnya melainkan merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan memutusnya, dalam perkara a quo Majelis Hakim akan memeriksa dan memutus perkara a quo terhadap para pihak sebagaimana tercantum dalam anjuran tersebut;
”Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, dikarenakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Penggugat terhadap Para Tergugat adalah dikarenakan adanya penutupan bagian LEG tempat Para Tergugat bekerja dan dimana bagian tersebut memang sudah tidak ada lagi, sehingga menurut Majelis Hakim PHK tersebut dikategorikan sebagai tindakan efisiensi, dan karena alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi tersebut tidak diatur dalam PKB perusahaan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) atas pemutusan hubungn kerja terhadap Para Tergugat tersebut, Penggugat wajib untuk membayar kompensasi kepada Para Tergugat berupa uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan psal 156 ayar (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa sekalipun secara yuridis normatif Penggugat berkewajiban membayar upah Para Tergugat selama proses pemutusan hubungan kerja s/d adanya putusan hukum dari pengadilan hubungan industrial, namun demikian mengingat Para Tergugat juga tidak pernah melakukan tugas dan kewajibannya sebagai pekerja selama proses PHK sejak diputus hubungan kerjanya oleh Penggugat terhitung tanggal 31 Agustus 2015, serta dalam perkara a quo Penggugat sendiri telah beriktikad baik untuk menyelesaikan perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat dengan menyatakan menerima dan akan melaksanakan anjuran Mediator Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Administrasi Jakarta Pusat tanggal 30 Oktober 2015 sebagaimana disebutkan dalam angka (15) dalil Penggugat dan mengingat Para Tergugat juga tidak melakukan kewajibannya sebagai pekerja selama proses pemutusan hubungan kerja sejak diputus hubungan kerjanya oleh Penggugat terhitung tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan sekarang, maka sesuai ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan: “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat terhitung sejak putusan diucapkan;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar kepada Para Tergugat kompensasi atas pemutusan hubungan kerja berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang Balance of Annual, Idul Fitri Allowance, dan Performance Bonus yang seluruhnya berjumlah Rp3.145.274.045,00 (tiga miliar seratus empat puluh lima juta dua ratus tujuh puluh empat ribu empat puluh lima rupiah) dengan perincian untuk masing-masing Tergugat sebagai berikut:
1. Andre F.L. Anggui Rp785.602.182,00
2. Tjandra Dewi Sumantri Rp753.105.432,00
3. Ong Go Wijayanto Rp600.565.818,00
4. Rina Pricillia Kurniawan Rp631.532.151,00
5. Trisbie Rp151.805.442,00
6. Ramadhianti Rachman Rp136.226.326,00
7. Ria Aryani Rp86.436.694,00
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa Pemegang saham Penggugat, PT. Mitsubishi Corporation Indonesia (PT. MCI) yaitu Mitsubishi Corporation (Tokyo) mendirikan PT. MC Living Essentials Indonesia (PT. MCLEI) pada 24 Juli 2012 dengan kepemilikan 99.98% sebagai upaya perluasan usaha (ekspansi) di Indonesia dimana salah satu bidang usahanya adalah sama dengan bagian Living Essentials Group (LEG) yang ada di perusahaan Termohon Kasasi.
Fakta hukum yang diangkat pihak Pekerja, PT. MCI dan PT. MCLEI keduanya dimiliki oleh Mitsubishi Corporation (Tokyo) dengan kepemilikan saham 99.6% pada PT. MCI dan 99.998% pada PT. MCLEI, sehingga berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 1 angka 1 huruf e. yang dimaksud afiliasi adalah “hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama”.
Baik PT. MCI dan PT. MCLEI, keduanya terikat hubungan dimana keduanya dikendalikan oleh satu pemegang saham utama yaitu Mitsubishi Corporation (Tokyo). Oleh karenanya, PT. MCI adalah afiliasi PT. MCLEI atau sebaliknya PT. MCLEI adalah afiliasi PT. MCI—dimana keduanya merupakan anak perusahaan Mitsubishi Corporation.
Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, penutupan divisi usaha diotaki / dirancang oleh Mitsubishi Corp., dan disaat bersamaan didirikannya anak usaha baru dengan bidang usaha sama persis dengan divisi usaha salah satu anak usaha Mitsubishi Copr. yang ditutup, adalah hasil rekayasa, bukan karena faktor kerugian usaha yang mendorong efisiensi.
Dengan pertimbangan populasi lebih dari 250 juta jiwa, negara Indonesia merupakan pasar yang sangat besar maka bagi barang kebutuhan hidup sehari hari masih terbuka luas. Tujuan itulah yang menjadi ide awal didirikannya PT. MCLEI. Pasar yang besar dan pehitungan keuntungan investasi tentunya telah diperhitungkan secara matang oleh Pemegang saham PT. MCI sehingga sampai pada keputusan perluasan usaha (ekspansi) dengan membuka badan hukum baru PT. MCLEI pada 24 Juli 2012.
Apa yang dilakukan Pemegang Saham Mitsubishi Corporation (Tokyo) berkolaborasi dengan kedua anak perusahaannya, PT. MCI dan PT. MCLEI sejatinya adalah dalam rangkaian perluasan usaha tersebut. Arti kata perluasan usaha (ekspansi) adalah bertolak belakang dengan falsafah efisiensi. Sehingga pertimbangan Hakim menyebut penutupan bagian LEG sebagai efisiensi, tidak sesuai konteks yang ada.
Tergugat menengarai, tindakan Penggugat melakukan PHK dan penawaran PT. MCLEI untuk langsung dapat bekerja pada PT. MCLEI setelah di-putus hubungan kerja dengan Penggugat merupakan mekanisme reorganisasi antar 2 perusahaan yaitu merombak organisasi LEG untuk dipindahkan ke dalam PT. MCLEI.
Divisi LEG Penggugat identik dengan bidang usaha PT. MCLEI, maka menurut Tergugat, bidang usaha yang sama pada bagian LEG inilah yang dipindahkan ke PT. MCLEI—alias mutasi terselubung untuk mematikan keberlakuan PKB yang ada dan disaat bersamaan menghapus masa kerja.
Faktanya, berdasarkan Bukti P-5 dan Bukti T-9 berupa surat Termohon Kasasi tanggal 7 Juli 2015 menerangkan sebagai berikut:
- PHK dilakukan oleh Termohon Kasasi karena penutupan satu bagian dari perusahaan, yaitu bagian LEG;
- Adanya penawaran dari Termohon Kasasi dan PT. MCLEI kepada seluruh karyawan untuk bergabung dan langsung dapat bekerja pada PT. MCLEI setelah karyawan putus hubungan kerja dengan Termohon Kasasi—meski kedua badan hukum tersebut dimiliki dan dikendalikan oleh Mitsubishi Corporation sehingga rencana dan aksi manuver korporasi untuk menutup dan disaat bersamaan membuka divisi usaha yang sama persis pada perusahaan yang baru didirikan olehnya, adalah di tangan satu induk pemilik usaha yang sama.
Dengan demikian dapat dipersangkakan, terbukti PHK yang dilakukan Pengusaha bukanlah karena efisiensi, melainkan justru melakukan ekspansi dan perluasan usaha. Dimana terhadap argumentasi “piercing the corporate veil” yang diungkap oleh sang Pekerja, Mahkamah Agung gagal untuk memahaminya, sehingga membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 30 April 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 13 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Termohon Kasasi telah melakukan penutupan secara permanen bagian Living Essentials Group (LEG) kepada seluruh pekerja pada bagian LEG termasuk Para Pemohon Kasasi yang mengakibatkan Termohon Kasasi terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja sejak tanggal 31 Agustus 2015 dimana bagian tersebut memang sudah tidak ada lagi, karena itu tindakan Termohon Kasasi dikategorikan sebagai tindakan efisiensi. Akan tetapi pemutusan hubungan kerja karena efisiensi tidak diatur dalam PKB sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Bahwa karena Para Pemohon Kasasi diberhentikan dan telah putus hubungan kerjanya dengan Termohon Kasasi maka Termohon Kasasi berkewajiban membayar kompensasi kepada Para Pemohon Kasasi berupa uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: ANDRE F. L. ANGGUI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ANDRE F. L. ANGGUI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.