Liberalisme Hukum Pertanahan di Tangan para Partikelir Tuan Tanah

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) sempat bilang, kalau praktik hukum pertanahan di Indonesia terlampau liberalis seperti partikelir yang menjadi penguasa-penguasa tanah. Apa jangan-jangan karena lembaga acquisitive verjaring yang terlampau kuat keberlakuannya di Indonesia?
Brief Answer: Benar, salah satu pertimbangannya ialah perihal cacat falsafah di balik “perolehan karena kadaluarsa” (acquisitive verjaring) yang kian tanpa batasan hingga menjelma bumerang bagi otoritas negara itu sendiri.
Sejak rezim Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA) diterbitkan pada tahun 1960, pemerintah sejatinya berniat untuk bergerak menggeser keberlakuan acquisitive verjaring dalam konteks hak atas tanah, dimana kepemilikan hak atas tanah baru akan diakui dan sifatnya sebagai alat pembuktian adalah kuat bila telah  didaftarkan dengan terbitnya sertifikat hak atas tanah.
Sebelum terbitnya UU PA, hukum yang berlaku ialah acquisitive verjaring murni sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa pengusaan fisik suatu bidang tanah, selama kurun waktu 20 hingga 30 tahun, menjadikan penguasa bidang tanah tersebut (secara efektif) sebagai pemiliknya. Girik atau dokumen ‘Letter C’ sudah cukup sebagai legitimasi kepemilikan.
Ketika rezim pertanahan berganti menjadi sertifikat hak atas tanah sebagaimana diamanatkan UU PA, acquisitive verjaring bukan lagi menjadi bukti kepemilikan, namun hanya sebatas “Alas Hak”. Alas Hak itu sendiri dapat berupa jual-beli, hibah, tukar-guling bidang tanah, warisan, dan juga dapat terjadi karena kadaluarsa.
Dengan kata lain, kadaluarsa atau penguasaan yang melahirkan hak akibat lewatnya waktu tertentu seiring jalannya waktu penguasaan bidang tanah secara efektif, kini hanya berdiri sebagai sebatas “Alas Hak”, bukan lagi kepemilikan. Alas Hak inilah yang kemudian dapat digunakan untuk mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak atas tanah atau untuk peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan.
Kekeliruan mulai terjadi ketika pemerintah selaku otoritas berlaku “separuh hati” dalam menerapkan rezim sertifikasi pertanahan, dimana para penguasa tanah yang selama ini memiliki Alas Hak atas berbagai bidang tanah, tidak diwajibkan untuk mendaftarkan Alas Haknya tersebut, sehingga timbullah ambigu dalam praktik pertanahan di Tanah Air: Apakah Alas Hak semata, dilindungi oleh hukum? Apakah dengan tidak mengajukan sertifikasi, girik tetap diakui dan memiliki kekuatan hukum?
Itulah yang SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai kebijakan ‘separuh hati’. Karena tidak diwajibkan untuk mendaftarkan hak atas tanah, maka para partikelir (para tuan tanah) bebas untuk menguasai berbagai bidang tanah (yang dalam rezim sertifikat tanah dibatasi luasan maksimum kepemilikan bidang tanah), bebas untuk tidak membayar pajak bumi kepada negara, bebas untuk tidak membayar BPHTB, bebas untuk tidak membayar pembaharuan hak atas tanah sebagaimana SHGB dan/atau SHGU, serta bebas untuk menjadi pemilik tanah guntai—dimana si penguasa fisik bidang tanah ketika telah menguasai suatu bidang tanah selama 20 tahun, lalu pergi untuk menguasai bidang tanah di pulau / daerah lain, dimana secara ambivalensi pengadilan masih memandang bahwa sang tuan tanah adalah pemilik tanah-tanah berdasarkan acquisitive verjaring.
Mulailah timbul masalah baru lainnya (akibat kebijakan ‘separuh hati’ tersebut): ketika sang tuan tanah meninggalkan kawasan, selama bertahun-tahun tinggal di daerah lain, maka apakah artinya hak kepemilikan yang bersumber dari acquisitive verjaring, akan gugur dengan sendirinya, ataukah acquisitive verjaring dihitung secara mundur dari keberadaan si subjek hukum saat sekarang ini, alias bukan dihitung dari sejak pertama kali dirinya tinggal pada suatu bidang tanah?
Masalah tersebut kemudian melahirkan kendala lain sebagai eksesnya: apabila telah memperoleh hak berdasarkan acquisitive verjaring, apakah diartikan si pemiliknya boleh menelantarkan bidang tanah?
Bukankah Hak Guna Usaha (HGU) saja mensyaratkan larangan absentee? Lalu, acquisitive verjaring terhadap bidang tanah basah untuk persawahan, dapat dianalogikan sebagai SHM dimana pemiliknya dapat berdomisi di daerah lain, ataukah dianalogikan sebagai SHGU yang mana pemiliknya wajib tetap berada pada tanah acquisitive verjaring ?
Atas bidang tanah kering yang diperoleh berdasarkan acquisitive verjaring, dapat dianalogikan sebagai SHM yang berlaku seumur hidup dan turun-temurun, atau sebatas Hak Guna Bangunan (HGB) yang memiliki masa berlaku untuk diperpanjang / diperbaharui selama kurun waktu tertentu?
Itulah sebabnya, banyak kalangan partikelir yang lebih memilih membiarkan ‘Alas Hak’ hanya sebatas ‘Alas Hak’ tanpa merasa adanya kemendesakan untuk didaftarkan untuk sertifikasi hak atas tanah—terlebih praktik peradilan masih memandang ‘Alas Hak’ sebagai kepemilikan (mind set / paradigma usang KUHPerdata di dalam pikiran hakim pemutus, yang sebenarnya sudah tidak sejalan dengan UU PA yang menyatakan hanya sertifikat hak atas tanah sebagai satu-satunya tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang sahih).
Telah lebih dari separuh abad lamanya, UU PA diberlakukan, namun kebijakan ‘separuh hati’ tidak juga dikoreksi oleh langkah konkret yang lebih tegas oleh otoritas, sehingga menimbulkan berbagai sengketa pertanahan yang sebetulnya tidak akan pernah terjadi bila sejak awal pemerintah bersikap tegas.
Hingga pada gilirannya, otoritas pemerintah itu sendiri yang terjerat oleh kebijakan ‘separuh hati’ demikian sebagaimana contoh kasus konkret dalam bagian pembahasan dibawah ini—dimana warga negara partikelir me-‘rong-rong’ wibawa Negara yang menjelma republik para swasta tuan tanah.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai cerminan, dimana pihak pemerintah kemudian menjadi korban dari carut-marut hukum pertanahan di Indonesia, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa agraria register Nomor 1900 K/Pdt/2015 tanggal 6 Januari 2016, perkara antara:
- BUPATI KEPALA DAERAH KABUPATEN SAMBAS, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- LIU TJHOEN NGO als ANGO, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat merupakan ahli waris dari almarhum Then Sin Sie, yang meninggalkan harta warisan berupa sebidang tanah seluas ± 15.400 m². Asal muasal tanah milik alm. Then Sin Sie adalah tanah negara yang penguasaan tersebut telah dilakukan berturut-turut sejak tahun 1964.
Di atas tanah tersebut kemudian dibangun sebuah bangunan rumah tempat tinggal oleh Penggugat dan kemudian pada tahun 1997, Penggugat bersama keluarga Penggugat pindah ke daerah lain (sehingga bidang tanah tidak lagi dikuasai secara efektif alias terlantar).
Tahun 2000, di atas bidang tanah dibangun kantor Dinas Pertanian dan Peternakan serta Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samba. Orang tua Penggugat tidak pernah menyerahkan hak penguasaan atas tanah tersebut kepada pihak lain atau menandatangani surat penyerahan tanah kepada orang lain.
Orang tua Penggugat maupun keluarganya, hingga saat ini tidak pernah mendapatkan ganti rugi atas pemanfaatan tanah tersebut yang dibangun di atasnya Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas.
Oleh karenanya Penggugat mendalilkan, perbuatan Tergugat yang telah menguasai tanah Penggugat dengan membangun dan mendirikan perkantoran di atas tanah tersebut tanpa seizin sah dari Penggugat merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga merugikan Penggugat.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Sambas sebenarnya telah memberikan Putusan yang sesuai falsafah UU PA, sebagaimana tertuang dalam register perkara No. 16/Pdt.G/2013/PN.Sbs., tanggal 16 April 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
- Menolak gugatan untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat. putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Pontianak dengan putusan Nomor 41/PDT/2014/PT.PTK., tanggal 2 Oktober 2014 dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sambas tanggal 16 April 2014, Nomor 16/PDT.G/2013/PN Sbs., yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik sah tanah terperkara yang terletak di Jalan ... , seluas ± 15.400 m² yang ukuran dan batas-batasnya sebagai berikut: ...
3. Menyatakan perbuatan Tergugat yang menguasai tanpa Hak dan membangun gedung Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan serta Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sambas di atas tanah terperkara milik Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam keadaan bersih dan kosong;
5. Menghukum Tergugat / Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam dua peradilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp150.000,00;
6. Menolak gugatan Penggugat / Pembanding untuk selain dan selebihnya.”
Pemerintah Daerah mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Pengadilan Tinggi Pontianak tidak salah dalam menerapkan hukum, pertimbangan sudah tepat dan benar;
“Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Pontianak yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri harus diperbaiki sepanjang mengenai amar ke-2 putusan Pengadilan Tinggi Pontianak yang menyatakan Penggugat adalah pemilik sah tanah terperkara dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa sebagaimana diuraikan dalam posita gugatan tanah terperkara adalah tanah negara;
- Bahwa Penggugat atau orang tua Penggugat Then Sien Sie tidak memiliki bukti hak atas objek sengketa. Orang tua Penggugat hanyalah sebagai pihak yang menempati tanah negara dan membangun sebuah bangunan rumah di atasnya;
- Bahwa orang tua Penggugat maupun Penggugat berstatus tidak lebih sebagai penggarap tanah negara. Penggugat hanya pemilik bangunan rumah tetapi bukan pemilik tanah. Namun demikian sebagai penghuni atau penggarap tanah negara tetap perlu memperoleh perlindungan hukum, Tergugat tidak boleh tanpa prosedur sah mengambil alih tanah negara yang telah ditempati oleh warga. Peningkatan hak harus diajukan kepada BPN menurut prosedur dalam peraturan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi BUPATI KEPALA DAERAH KABUPATEN SAMBAS tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi BUPATI KEPALA DAERAH KABUPATEN SAMBAS tersebut;
2. Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 41/PDT/2014/PT PTK., tanggal 2 Oktober 2014 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sambas Nomor 16/Pdt.G/2013/PN Sbs., tanggal 16 April 2014 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sambas tanggal 16 April 2014, Nomor 16/Pdt.G/2013/PN Sbs., yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI :
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan perbuatan Tergugat yang menguasai tanpa hak dan membangun gedung Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan serta Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sambas di atas tanah terperkara adalah perbuatan melawan hukum;
- Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam keadaan bersih dan kosong;
- Menolak gugatan Penggugat / Pembanding untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.