Kontraproduktif PKPU & Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Ada tagihan yang tidak tertagih pada suatu perusahaan yang selama ini jadi rekan bisnis. Rencana mau saya ambil langkah hukum. Baiknya dimintakan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), atau dipailitkan saja?
Brief Answer: Baik PKPU maupun Pailit, tidak membawa faedah apapun bagi Kreditor Konkuren. Sejatinya, bila motif utama kreditor mengajukan PKPU ataupun pailit terhadap debitornya adalah untuk mendapatkan pelunasan, maka PKPU maupun Kepailitan ialah harapan semu yang bukan menjadi opsi yang bijak. Namun bila tujuan utama mengajukan PKPU / Pailit, bukanlah lagi untuk mengharap pelunasan, namun karena unsur “dendam”, mungkin PKPU /Pailit adalah opsinya.
SHIETRA & PARTNERS untuk itu akan mengungkap fakta yuridis sebagai berikut. Pertama, ketika debitor dijatuhkan PKPU, maka Pengurus berhak atas fee / imbalan yang terbilang besar, dan dipotong terlebih dahulu dari harta kekayaan debitor, mendahului hak para kreditor manapun. Ketika PKPU gagal mencapai perdamaian, dan jatuh dalam keadaan Pailit, lagi-lagi kekayaan debitor terpotong oleh fee Kurator yang juga paling didahulukan. Sampai pada tahap ini saja, kekayaan debitor telah terkuras untuk fee Pengurus dan Kurator.
PKPU dan Pailit sejatinya adalah momen ‘Aji Mumpung’. Contoh yang kerap terjadi, afiliasi dari debitor, serupa praktik transfer pricing, akan mencatatkan dirinya sebagai kreditor dengan tagihan yang sangat besar, bahkan terbilang sebagai klaim tagihan terbesar dibanding para kreditor lainnya, dan debitor mengakui adanya hutang-piutang tersebut karena memang telah direkayasa sedemikian rupa agar seolah-olah debitor memang benar berhutang pada kreditor tersebut yang tidak lain tidak bukan ialah anak usaha ataupun sister company milik pengusaha yang juga menjadi pemilik dari debitor.
Alhasil, Homologasi mudah untuk tercapai saat kuorum dan voting terhadap proposal perdamaian dalam PKPU. Efek berantai berikutnya, tagihan para kreditor lainnya yang benar-benar merupakan kreditor real, akan menjadi kecil proporsionalnya, karena secara persentase menjadi sangat kecil dibanding klaim tagihan kreditor yang merupakan afiliasi dari sang debitor. Alhasil pula, tidak pernah ada sejarah dalam hukum PKPU ataupun Kepailitan, Kreditor Konkuren yang mendapat pelunasan. Semua ‘gigit jari’, dan debitor yang pandai memainkan keadaan hukum inilah yang akan ‘memancing di air keruh’.
Sama halnya, fenomena janggal dimana Kreditor Separatis yang sebenarnya dapat melakukan parate eksekusi, namun memilih untuk mem-PKPU ataupun mem-pailitkan debitornya yang berpotensi kehilangan hak pelunasan atas agunan.
PEMBAHASAN:
SHIETRA & PARTNERS untuk itu akan mengangkat ilustrasi putusan Mahkamah Agung RI sengketa Homologasi dalam perkara PKPU register Nomor 83 PK/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 23 Oktober 2015, antara:
- MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Kreditor lainnya; melawan
1. PT. BAKRIE TELECOM Tbk., selaku Termohon Peninjauan Kembali semula Termohon PKPU; dan
2. PT. NETWAVE MULTI MEDIA, sebagai Termohon Peninjauan Kembali II dahulu Pemohon PKPU.
Pihak pemerintah yang memiliki piutang pajak selaku Kreditor Preferen, dalam voting atas proposal perdamaian telah menolak usul perdamaian, sehingga berkeberatan dipaksa untuk tunduk dan patuh dalam skema pembayaran sesuai yang diatur dalam Perjanjian Perdamaian yang telah disepakati oleh mayoritas suara kreditor yang dihitung berdasarkan persentase total tagihan.
Pemerintah juga menyinggung perihal kelemahan aturan hukum PKPU, yang dalam voting atas rencana perdamaian, tagihan Kreditor Preferen dimasukkan dalam kategori Kreditor Konkuren, karena voting dalam PKPU hanya terbagi dalam dua kategorisasi: Kreditor Konkuren dan Kreditor Separatis, sehingga sejatinya proses Homologasi telah mengamputasi hak pelunasan negara yang merupakan Kreditor Teristimewa alias Preferen.
Pemerintah mengungkapkan pula, perdamaian Homologasi yang terbentuk adalah hasil ‘penyelundupan hukum’ lewat konspirasi antara debitor dengan kreditor yang memiliki tagihan piutang yang signifikan dalam proses voting PKPU, dimana tercatat debitor memiliki utang kepada Bakrie Telecom Pte. Ltd. dengan nilai kewajiban sebesar Rp5.408.085.900.000,00 dan hak untuk voting sebesar 55,8% dari total hak suara dari kreditor konkuren yang terdaftar.
Berdasarkan catatan atas laporan keuangan konsolidasian untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2014 dan 2013 dari debitor, tercatat kreditor Bakrie Telecom Pte. Ltd. merupakan anak perusahaan dari sang debitor itu sendiri dengan kepemilikan (saham) 100 %, dengan kutipan keterangan berikut:
“Pada tanggal 19 April 2010, Perusahaan mendirikan Entitas Anak yang bernama Bakrie Telecom. Pte., Ltd. Kantor Entitas Anak berlokasi di Singapura. Entitas Anak tidak memiliki kegiatan usaha lain selain memberikan jasa kepada Perusahaan dan memperoleh pendapatan dari jasa tersebut.”
Yang patut dipertanyakan adalah adanya transaksi bisnis yang diluar kewajaran dimana Bakrie Telecom Pte. Ltd. yang hanya memiliki kegiatan usaha semata memberikan jasa hanya kepada debitor, memiliki tagihan sebesar Rp 5 triliun lebih, namun disisi lain sang debitor merupakan pemilik tunggal dari Bakrie Telecom Pte. Ltd.
Dengan adanya hubungan istimewa antara debitor dengan kreditor Bakrie Telecom Pte. Ltd. yang memiliki suara mayoritas dalam voting, patut diduga terdapat persekongkolan dengan iktikad buruk, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa hasil pemungutan suara otomatis dimenangkan oleh debitor.
Terhadap perdamaian yang dilandasi persekongkolan, sudah sepatutnya Pengadilan menolak proses perdamaian dalam PKPU tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 285 Ayat (2) Butir (c) UUK-PKPU:
“Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila: perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini.”
Tidak dapat terbantahkan lagi telah terjadi persekongkolan antara sang debitor dengan Bakrie Telecom Pte. Ltd. selaku Kreditor yang mempunyai hak suara mayoritas dalam proses voting PKPU, oleh sebab itu Pemerintah meminta agar pengadilan menolak perjanjian perdamaian demikian, dan meminta agar debitor seketika dinyatakan pailit agar tagihan negara dapat bersifat murni Preferen, bukan dipaksakan menjadi Konkuren sebagaimana Homologasi PKPU.
Pemerintah menutup argumentasi dengan menyatakan, sehubungan dengan permohonan PK yang bertujuan untuk membatalkan Putusan Homologasi secara hukum akan mengakibatkan sang debitor demi hukum jatuh dalam keadaan Pailit, namun sebenarnya Pemerintah terpaksa menempuh upaya hukum ini dengan alasan: Homologasi demikian dapat dijadikan oleh pihak lain sebagai yurisprudensi atau rujukan hukum yang menempatkan tagihan negara menjadi tagihan konkuren dan dapat direstrukturisasi yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan kedudukan tagihan piutang negara sebagai pemilik hak istimewa (preferen).
Dimana terhadap keberatan-keberatan dari pihak Pemerintah, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori tanggal 5 Juni 2015 dan kontra memori tanggal 12 Juni 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melakukan kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa dalam perkara PKPU bila perdamaian berhasil dilakukan, maka semua pihak yang telah menyatakan diri ikut sebagai pihak ‘penagih’ wajib tunduk pada isi putusan damai tersebut;
- Bahwa dengan tercapainya voting suara, maka pihak yang kalah wajib tunduk pada isi perdamaian tersebut, sekalipun dalam pemungutan suara yang bersangkutan kalah suara, berbeda bila perdamaian tidak tercapai, maka akan dilanjutkan dengan ‘pernyataan Pailit’ bagi debitur;
- Bahwa sesungguhnya tidak demikian fakta yang terjadi dalam perkara ini karena justru perdamaian yang melibatkan 375 kreditur termasuk Pemohon Peninjauan Kembali, telah berhasil barulah pihak Pemerintah i.c. Kominfo menyatakan tidak dapat menerima isi perdamaian tersebut dan meminta agar Termohon dinyatakan pailit;
- Bahwa sangat tidaklah adil bila karena kesalahan yang tidak fatal sekali tersebut menyebabkan 344 orang kreditur akan sangat dirugikan karena mereka tidak lagi memungkinkan untuk menerima pembayaran piutang secara penuh;
- Bahwa selaku pihak Pemerintah seharusnya pihak Pemohon Peninjauan Kembali-lah yang mempunyai kewajiban moril untuk mendorong pihak-pihak agar terjadi perdamaian dalam suatu perkara perdata incloud beberapa putusan Kepailitan di Mahkamah Agung, bukan sebaliknya;
- Bahwa filsafat kepailitan yang lazim dalam menjatuhkan putusan, yang amarnya untuk menyatakan seseorang / Badan Hukum “Pailit” sebisa mungkin harus dihindari dikarenakan penjatuhan pailit adalah merupakan langkah terakhir / ultimatum remidium;
- Bahwa lagi pula novum tidak bersifat menentukan, sehingga permohonan Peninjauan Kembali ditolak karena tidak terdapat suatu kekhilafan dan ataupun suatu kekeliruan yang nyata;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.