Kiat Mencegah Bibit Sengketa Hubungan Industrial

ARTIKEL HUKUM
Tingginya tingkat keluar-masuknya (in out) pegawai pada instansi swasta, menjadi momok tersendiri, dan tren / kecenderungan demikian semakin menanjak setiap tahunnya. Seorang Pekerja / Buruh, memiliki dua cara dalam menyalurkan aspirasi kekecewaan: menggugat atau melakukan resign alias pengunduran diri. Keduanya, baik gugatan seorang Pekerja maupun pengunduran diri pekerja produktif, sejatinya menguras sumber daya yang dimiliki sebuah perusahaan / korporasi.
Bercermin dari pengalaman penulis dalam praktik hubungan industrial yang penuh lika-liku serta dinamika—dimana kental akan nuansa interdependen hubungan sosial antar manusia dalam suatu relasi ketenagakerjaan antara pihak Pengusaha dan pihak Pekerja/Buruh—sejatinya bentuk-bentuk benih sengketa hubungan industrial dapat dicegah, diminimalisir, atau setidaknya dimitigasi, dimediasi, serta bahkan diantisipasi sedini mungkin agar tidak timbul bibit-bibit dis-‘integrasi’ demikian.
Banyak penulis jumpai pula, fenomena kecenderungan pihak Pengusaha untuk terus-menerus melakukan proses rekruitmen, atas suatu posisi dan fungsi pegawai pada suatu divisi perusahaan, namun yang terjadi di balik layar, bukanlah penambahan lapangan pekerjaan, namun fenomena unik “keluar-masuk”-nya Pekerja dengan tingkat yang sangat tinggi.
Seakan tidak belajar dari pengalaman ataupun berintrospeksi, bagaikan sebuah kendi yang bocor pada bagian dasarnya, tidak akan pernah penuh kendi tersebut, sebanyak apapun air diisi ke dalamnya. Seakan juga tidak mau menyadari, kecenderungan “in out” demikian memboroskan sumber daya manusia internal perusahaan itu sendiri dalam proses rekruitment disamping pembekalan terhadap pegawai yang baru mereka rekrut.
Seakan juga tidak mampu belajar dari pengalaman, penulis menjumpai berbagai perusahaan terus mencetak gugatan demi gugatan dari para Pekerjanya, dimana berbagai rentetan gugatan demikian sejatinya merusak citra dan reputasi perusahaan itu sendiri yang sangat sensitif terhadap isu “brand” komersil di mata publik dan pengguna barang atau jasa mereka.
Dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk memaparkan bagaimana benih-benih sengketa tersebut muncul, serta kiat serta tips praktis guna menciptakan hubungan industrial yang harmonis. Falsafah paling mendasar dalam suatu relasi hubungan industrial, dilandasi oleh perspektif yang sebenarnya terbilang klise: bersatu-padu kita maju dengan pesat, bercerai-berai kita stagnan.
Penulis tidak akan banyak mengupas dari sudut pandang yuridis, namun akan lebih banyak meninjau dari persepsi psikoanalisik. Disiplin ilmu psikologi bersifat mandiri dan dapat berdiri sendiri. Sebaliknya, disiplin ilmu hukum bersifat interdependen, dimana ia hanya dapat diaplikatifkan bila dikomplomenterkan dengan disiplin ilmu psikologi—ingat, esensi hukum ialah mengatur hubungan antar manusia. Manusia yang tinggal sebatang kara di sebuah pulau, tidak pernah membutuhkan hukum negara.
Dalam berbagai putusan pengadilan terkait sengketa ketenagakerjaan, kerap Majelis Hakim membuat pertanyaan penuh edukatif, dengan bunyi sebagai berikut: seyogianya Pekerja bersifat “produktif”, sementara Pengusaha sepatutnya bersikap “solutif”. Pernyataan tersebut tepat mewakili akar persoalan dalam setiap hubungan industrial.
Seorang Pekerja, bukan semata faktor produksi, namun adalah juga “aset” perusahaan itu sendiri, yakni faktor tenaga kerja manusia (labor / man power) yang memiliki motivasi serta de-motivasi. Karena setiap Pekerja / Buruh bukanlah “mesin”, maka dari itu Pengusaha berhubungan pula dengan faktor alam bawah sadar dari pola berpikir setiap Pekerjanya. Oleh sebab itulah, seorang Pengusaha dituntut untuk bersikap solutif.
Memenangkan hati karyawan, maka Pengusaha mendapat loyalitas. Memenangkan loyalitas Pekerja, berarti meningkatkan produktifitas. Untuk memepermudah pemahaman, penulis tidak akan banyak mengurai teori psikologi sosial, namun akan kita telaah dari kejadian konkret yang dapat kita jumpai di keseharian.
Pernahkah Anda mengalami, diterima bergabung sebagai pegawai, menandatangani perjanjian kerja, namun tak satupun rangkap perjanjian kerja yang telah Anda tanda-tangani diberikan oleh pihak manajemen kepada Anda? Bahkan fotokopi perjanjian kerja pun bisa jadi tidak pernah diberikan oleh pihak manajemen. Inilah benih antipati pembuka yang paling kerap penulis temukan sebagai dasar terpicunya benih sengketanya dalam praktik. Dalam legal dilligence terhadap sebuah SOP perusahaan, inilah tahap pembuka yang akan penulis analisa. Alam bawah sadar bermain: “Jika hal paling mendasar saja, seperti perjanjian kerja tidak diberikan, bagaimana hak normatif lainnya dari / terhadap seorang Pekerja?”
Seakan tidak mampu merasa, pihak Pengusaha seakan tidak menyadari bahwa tindakan demikian mampu menimbulkan perasaan dilecehkan dan diremehkan di dalam benak para Pekerja—meski mereka tidak mengungkapkan hal tersebut secara eksplisit (namun lewat rendahnya produktifitas).
Untuk membuat kalangan Pekerja memiliki rasa ‘memiliki’ terhadap perusahaan tempatnya bekerja, berikan mereka sesuatu yang dapat mereka banggakan dan sebentuk pengakuan yang paling hakiki: surat perjanjian kerja. Terdengar sepele, namun signifikan.
Sebagian kalangan Pengusaha berasumsi, dengan memberikan surat perjanjian kerja, sama artinya memberi ‘pisau’ bagi para Pekerja mereka yang dapat menggugat sang Pengusaha dikemudian hari. Asumsi demikian terbukti telah banyak menyesatkan kalangan pelaku usaha, dimana justru perilaku demikianlah yang memicu lahirnya benih antipati kalangan Pekerja.
Kini, kita masuk dalam bahasan yang lebih implementatif. Pada suatu waktu, penulis selaku konsultan hukum di sebuah perusahaan, diminta untuk mereview Perjanjian Kerja Waktu Tertentu bagi para buruh pekerja pada sebuah perusahaan jasa konstruksi pembangunan gedung.
Ketika Pengusaha sama sekali menutup ruang negosiasi dalam draf baku kontrak mereka bagi tenaga kerja, maka jangan harapkan tenaga kerja akan menunjukkan loyalitas, sehingga penulis tidak heran ketika mendapati fakta sosiologis bahwa tingkat “in out” Pekerja pada perusahaan jasa konstruksi tersebut demikian tinggi.
Cukup beri ruang satu atau beberapa syarat dan ketentuan dalam ayat tertentu dalam draf perjanjian kerja, maka Pekerja akan merasa dihargai dan dihormati harkat serta derajatnya. Dalam tahap ini saja, sejatinya Pengusaha telah mendapat loyalitas pembuka.
Berlanjut pada substansi klausul pada kontrak kerja. Disebutkan, bila proyek jasa konstruksi sudah selesai dan finish sepenuhnya 100%, maka sang Pekerja PWKT dapat di-PHK seketika itu juga tanpa dapat menuntut kompensasi apapun. Sebetulnya pengaturan demikian dibolehkan oleh regulasi yang diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja—meski bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan yang menyatakan PKWT berlaku untuk masa berlaku PKWT dimana pemutusan hubungan kerja secara sepihak mewajibkan pihak yang memutuskan secara sepihak untuk membayar kompensasi.
Namun penulis kemudian memberi saran yang lebih akomodatif, win win solution, dimana penulis merekomendasi untuk merevisi klausul demikian, dengan membuat perubahan sehingga menjadi berbunyi:
Ketika proyek pengerjaan (Objek Pekerjaan) akan diperkirakan selesai sebelum masa berlaku PKWT ini berakhir, maka Pekerja akan diinformasikan setidaknya 1 (satu) bulan kalender sebelum Objek Pekerjaan diperkirakan akan selesai, dimana selesainya Objek Pekerjaan diartikan sebagai berakhirnya PKWT ini secara lebih dini tanpa kewajiban bagi pihak Pengusaha untuk membayar kompensasi sisa masa berlaku kontrak kerja.”
Ternyata, tidaklah mudah untuk meyakinkan pihak Pengusaha untuk bersedia memperbaharui kontrak baku mereka, terutama meyakinkan sang Pengusaha bahwasannya berurusan dengan tenaga kerja adalah berurusan pula dengan faktor ‘rasa’ dan ‘perasaan’. Terlontarlah pertanyaan introspektif dari penulis kepada sang Pengusaha:
Apakah tingkat keluar masuknya Pekerja di perusahaan ini, tinggi? Apakah tinggi pula, tingkat pencurian aset perusahaan di lokasi proyek? Apakah hasil pekerjaan proyek sudah sesuai harapan?”
HRD (human resource development), adalah suatu divisi yang seyogianya diberi kewenangan ‘semi otonom’ oleh pihak Pengusaha. Setiap institusi bisnis yang baik akan memiliki HRD yang tidak sekadar formalitas nama ‘HRD’ untuk merekrut karyawan, namun memahami benar filosofi dibalik divisi HRD—yang dalam praktik kerap disalahartikan pemaknaan peran dan fungsi divisi “paling vital” dalam sebuah hubungan industrial.
Bila peran Divisi Hukum adalah bersifat kuratif, maka peran Divisi HRD adalah sebagai mediator sekaligus pencegah (preventif) benih-benih disintegrasi hubungan industrial. HRD yang ideal sebagaimana falsafah paling semula dari keberadaan HRD, ialah sebuah divisi yang bukan hanya sebagai alat penekan pihak Pengusaha, namun ‘sebagai wadah yang berdiri di tengah’.
Mediatif, adalah salah satu fungsi HRD, dimana HRD akan menjembatani dan mempertemukan pihak Pengusaha dan pihak Pekerja / Buruh untuk duduk bersama dan bermusyawarah untuk mufakat. Mau tidak mau, HRD harus bersikap netral dan objektif.
Intermediatif, artinya sebagai penyambung lidah, baik penyambung lidah top management kepada perwakilan Serikat Buruh maupun sebaliknya. Pesan atau komunikasi yang disampaikan tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena fungsi intermediatif lebih menyerupai pembawa pesan, disamping menawarkan gagasan atau sekadar membuka perspektif baru guna mencapai mufakat para pihak lewat menawarkan serangkaian solusi dan opsi untuk saling disepakati.
Fungsi solutif, inilah yang kerap terlupakan dari peran sentral sebuah Divisi HRD. Ketika HRD efektif menjalankan perannya sesuai karakter dasar falsafah pembentukannya, yakni sebagai peran mediatif serta intermediatif, maka kita dapat menjumpai perusahaan-perusahaan yang besar, memiliki ribuan tenaga kerja, namun tanpa terdapat satupun Serikat Pekerja.
Sebaliknya, fenomena sebaliknya, HRD yang hanya menjadi boneka Pengusaha, perusahaan kecil dengan pegawai hitungan belasan orang, memiliki Serikat Pekerja boneka dengan PKB yang juga ‘boneka’ semata—alhasil, rata-rata Pekerja perusahaan demikian hanya bertahan hitungan bulan dan menjadi langganan klien pada layanan penyedia iklan lowongan pekerjaan.
Sebaliknya, menghadapi satu atau dua “oknum” Pekerja ‘nakal’, perlu kewaspadaan ekstra, agar tidak menjadi ‘api dalam sekam’ yang dapat menjadi provokator yang membuat suasana industrial menjadi tidak produktif dan ‘merembet’ pada Pekerja / Buruh lainnya. Merasa terlindungi oleh Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, bukan berarti seorang Pekerja / Buruh merasa ‘diatas angin’ untuk bersikap ‘merongrong’ asas hubungan industrial—kembali pada asas “produktif” karakter hakekat seorang tenaga kerja, bukan lebih sibuk berdemo dan mogok kerja.
Penulis senantiasa mengingatkan pada kalangan Pekerja / Buruh yang telah menyimpang, jika sampai menggugat atau digugat Pengusaha, maka sama artinya membuka “aib” sang Pekerja jika memang hubungan industrial dicederai oleh itikad tidak baik sang Pekerja / Buruh. Terutama ketika pasal ‘pelanggaran berat’ yang telah diamputasi MK RI, dinilai sebagai ‘blangko kosong’ yang diberikan hukum, adalah mis-persepsi yang sangat kontraproduktif dan menjadi bumerang bagi kalangan Pekerja itu sendiri.
Banyak gugatan diajukan ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), baik berdasarkan inisiatif pihak Pengusaha ataupun pihak Pekerja, adalah seimbang persentasenya antara gugatan Pekerja yang dikabulkan PHI dan gugatan Pengusaha yang dikabulan PHI.
Artinya, ketika PHI menilai Pengusaha dibenarkan untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Pekerjanya, atau sebaliknya gugatan Pekerja ditolak Majelis Hakim, maka sejatinya nama sang Pekerja akan selamanya terekam dalam sistem online keterbukaan informasi Mahkamah Agung RI, dimana sang Pekerja akan kesukaran dalam mencari pekerjaan baru pasca PHK berdasar putusan pengadilan, karena mendapat antipati dari para calon penerima kerja. Inilah faktor sosial yang perlu dipertimbangkan baik-baik sebelum mengajukan gugatan terkait hubungan industrial.
Sebaliknya, ketika Pengusaha tidak mengikuti rambu pedoman hukum, merasa ‘kebal hukum’ (tren faktuil yang juga masif penulis jumpai) karena daya tawar otoritas pengawas ketenagakerjaan seketika ‘menciut’ ketika Pengusaha ‘memasang badan’ dengan berkata:
“Jika saya tutup perusahaan, mau dikemanakan itu semua Pekerja. Jika mau tutup izin usaha perusahaan saya, tutup saja, silahkan! Apa itu orang Disnaker mau mempekerjakan ribuan buruh saya yang jadi pengangguran?”
Yang terjadi kemudian, bibit ‘api’ menjelma kobaran api besar yang membakar. Buruh menggugat secara massal. Alhasil, brand perusahaan rusak, dan sebagaimana kita tahu, brand adalah isu yang sensitif dalam dunia niaga.
Benar bahwa kalangan Pengusaha adalah ‘kebal hukum’, namun efek domino inilah yang kerap penulis wanti-wantikan kepada setiap kalangan, baik kepada pihak Pengusaha ataupun pihak Pekerja. Terutama, bila Pengusaha berbentuk perusahaan terbuka (Tbk.), maka tentunya isu demikian dapat ‘menggoyang’ di bursa saham.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.