Kadaluarsa Penuntutan Pidana Kejahatan

LEGAL OPINION
Question: Bila di perdata ada aturan hukum mengenai kadaluarsa sebuah kewajiban hutang-piutang, tak diwajibkan lagi untuk dibayarkan oleh si penghutang kepada kreditornya setelah sekian tahun, maka dalam tanggung jawab pidana apakah juga ada aturan serupa?
Brief Answer: Terdapat pula pengaturan mengenai kadaluarsa, baik dalam konteks hukum perdata maupun hukum pidana. Dalam konteks pidana, terdapat dua jenis kadaluarsa, yakni kadaluarsa hak jaksa untuk menuntut, dan kadaluarsa bagi terpidana untuk menjalankan vonis pemidanaan.
Belajar pula dari berbagai tendensi / kecenderungan berbagai putusan pengadilan, yang mungkn dikarenakan faktor psikologi, meski belum memasuki tempo waktu kadaluarsa (lewatnya waktu), berbagai hakim kurang menyukai perkara, baik perdata maupun pidana, yang sudah berlangsung puluhan tahun lampau, namun baru dimajukan ke persidangan setelah jeda sekian belas tahun atau bahkan puluhan tahun lampau. Mungkin juga diakibatkan kian merosotnya kualitas alat bukti setelah terpaut sekian tahun ‘teronggok’, begitupula memori para saksi yang bisa jadi telah tergerus oleh waktu sehingga diasumsikan tidak lagi mampu bersikap objektif saat dihadirkan guna proses pembuktian di persidangan.
Tantangan sekaligus pertanyaan terbesar terkait kapan dimulainya suatu tempo kadaluarsa, apakah terhitung sejak kejahatan terjadi atau terhitung sejak kejahatan baru diketahui oleh korban dikemudian hari, masih menjadi perbebatan, mengingat pernah suatu waktu Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan hukum: “Menurut Pengadilan Tinggi untuk menghitung masa kadaluarsanya penuntutan haruslah dihitung sejak ‘waktu’ diketahuinya perbuatan pidana tersebut, bukan dihitung sejak saat perbuatan kejahatan itu dilakukan.”
Namun yang pasti, atas kesimpang-siuran antar putusan, hakim tidak pernah menyukai perkara yang ‘telah basi’ atau yang terlampau lama ‘ditelantarkan’ sehingga tidak lagi relevan untuk diperkarakan.
PEMBAHASAN:
Dalam konteks pidana, kadaluarsa hak penuntutan Jaksa dapat diilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 2224 K/Pid/2009 tanggal 29 Juli 2010, dalam Dakwaan Kesatu Primair Terdakwa didakwakan telah ‘melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan memalsukan surat authentic’, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 264 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP.
Pada tahun 1989, Terdakwa SYAFARUDDIN SIREGAR akan membangun ruko di atas tanah pertapakan milik saksi LUNTANG PULUNGAN dan sebagai gantinya Terdakwa akan membangun 2 (dua) pintu rumah kepada saksi LUNTANG PULUNGAN, dengan adanya perjanjian tersebut Terdakwa meminta surat atas kepemilikan tanah pertapakan saksi LUNTANG PULUNGAN berupa Perjanjian Peninggalan Surat Wasiat tertanggal 17 Nopember 1946 atas tanah tersebut.
Setelah Surat Wasiat atas tanah tersebut berada di tangan Terdakwa, selanjutnya Terdakwa meminta blangko Akta Jual Beli kepada saksi TUTI KHAERANI Br.SIREGAR selaku Pengelola Pembuatan Akta Jual Beli pada Kantor Kecamatan Sipirok dan di dalam blangko Akta Jual Beli tersebut telah ditulis TUTI KHAERANI Br.SIREGAR nama LUNTANG PULUNGAN dan ROSWATI PANE dengan menggunakan pencil dan belum ada tanda tangannya.
Setelah ada tanda tangan pihak penjual atas nama LUNTANG PULUNGAN dan pihak pembeli atas nama Terdakwa pada blangko Akte Jual Beli, selanjutnya blangko diserahkan kembali oleh Terdakwa kepada saksi TUTI KHAERANI Br.SIREGAR dan selanjutnya diproses serta ditanda tangani oleh Camat Sipirok selaku Pejabat Pembuat Akte Tanah dalam Akta Jual Beli tanggal 8 Pebruari 1989. yang selanjutnya asli Akte Jual Beli diserahkan kepada Terdakwa dan asli Surat Perjanjian Warisan tertanggal 17 Nopember 1946 ditinggal sebagai Arsip di Kantor Camat Sipirok.
Atas dasar Akte Jual Beli tersebut Terdakwa dan ROSWATI Br PANE membangun ruko di atas lahan sesuai dengan Akte Jual Beli demikian, dan sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik tanggal 14 Pebruari 2007, menyimpulkan bahwa tanda tangan LUNTANG PULUNGAN yang terdapat pada 1 eksemplar Akta Jual Beli 8 Pebruari 1989 adalah Non Identik atau merupakan tanda tangan yang berbeda dengan tanda tangan an. LUNTANG PULUNGAN. Akibat perbuatan Terdakwa dan ROSWATI Br. PANE, saksi LUNTANG PULUNGAN mengalami kerugian lebih kurang sebesar Rp.500.000.000,-.
Dalam Dakwaan Kesatu Subsidair, Terdakwa didakwa telah melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian (kewajiban) atau suatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian hukum karena pemalsuan surat, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP.
Sementara dalam Dakwaan Kedua, Terdakwa didakwakan karena ‘melakukan, yang menyuruh melakukan atau turat melakukan perbuatan dengan sengaja menggunakan Akte authentic, seolah-olah itu surat asli dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan sesuatu kerugian’, perbuatan mana dilakukan diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 264 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Padangsidempuan No.323/Pid.B/2007/PN.Psp. tanggal 29 Januari 2009, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
Tentang waktu kadaluarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut : (ayat) 1 "dalam perkara memalsu atau merusak uang, tenggang itu mulai dihitung dari keesokan harinya sesudah benda yang ditimbulkan oleh perbuatan memalsu atau merusak uang itu dipakai;
MENGADILI :
1. Menyatakan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur karena daluwarsa ;
2. Mengembalikan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Medan No.183/Pid/2009/PT.MDN tanggal 14 April 2009, dengan amar selengkapnya sebagai berikut :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum tersebut;
- Mengubah putusan Pengadilan Negeri Padangsidempuan tanggal 29 Januari 2009 No. 323/Pid.B/2007/PN-Psp, sekedar menghilangkan amar nomor urut dua, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut ;
- Menyatakan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur karena daluarsa.”
Baik pihak Jaksa Penuntut maupun Terdakwa, sama-sama mengajukan upaya hukum kasasi, dimana argumentasi keberatan pihak Jaksa ialah, keberlakuan Pasal 191 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara limitatif telah menentukan opsi bentuk putusan, yakni:
1. Pembebasan;
2. Lepas dari segala tuntutan;
3. Pemidanaan.
Sehingga, bentuk amar Putusan Banding Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan tidak termasuk dari 3 bentuk putusan berdasar KUHAP tersebut diatas. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 79 ayat (1) KUHP tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padangsidempuan menyatakan dalam pertimbangannya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dimulai pada tanggal 18 Pebruari 1989 atau telah digunakan pada tahun 1989 atau telah terjadi + 18 (delapan belas) tahun yang lalu dan bahwa ancaman hukuman yang di dakwakan kepada Terdakwa yaitu lebih dari 3 tahun memiliki tenggang waktu kadaluarsa selama 12 (dua belas) tahun.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padangsidempuan menyatakan bahwa tenggang waktu kadaluarsa adalah esok hari setelah tanggal 18 Pebruari 1989 sampai dengan 12 (dua belas) tahun kemudian yaitu tanggal 18 Pebruari 2001 sehingga tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sudah diluar tenggang waktu kadaluarsa yang ditentukan oleh undang-undang.
Sementara itu pihak Jaksa Penuntut mendalilkan, korban pemalsuan atau pelapor baru mengetahui akibat konstitutif dari perbuatan ‘memalsukan’ atau ‘membuat surat palsu’ yang dilakukan oleh Terdakwa pada sekitar bulan Juli 2006 dengan beralihnya kepemilikan tanah kepada Terdakwa yang disebabkan oleh pemalsuan Akte Jual Beli tertanggal 18 Pebruari 1989.
Perbuatan pidana mamalsukan atau membuat surat palsu yang dilakukan oleh Terdakwa baru diketahui oleh pelapor/korban pada sekitar bulan Juli 2006 sehingga berakibat mendatangkan kerugian terhadapnya, maka menurut pendapat Jaksa Penuntut Umum, waktu kadaluarsa penuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 79 KUHP yang berbunyi ‘tenggang waktu kadaluarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan’ dihitung dari waktu sesudah diketahui-nya perbuatan ‘memalsukan’ atau ‘membuat surat palsu’ tersebut menimbulkan kerugian yaitu di bulan Juli 2006.
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (1) ke-3 menyatakan kewenangan menuntut pidana hapus karena kadaluarsa mengenai kejahatan yang diancam dengan pldana penjara lebih dari tiga tahun adalah sesudah 12 (dua belas) tahun, maka mengingat ketentuan tersebut kadaluarsa perbuatan pidana ‘memalsukan’ atau ‘membuat surat palsu’ yang dilakukan oleh Terdakwa dimulai dari setelah perbuatan itu mengakibatkan kerugian pada korban pelapor, yaitu dalam bulan Juli 2006, sehlngga kadaluarsa dalam dimulai dari bulan Juli 2006 sampai dengan 12 (dua belas) tahun kemudian yaitu bulan Juli 2008, sehingga tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah masih dalam tenggang waktu kadaluarsa sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
Sementara pihak Terdakwa dalam keberatannya mendalilkan, pada saat pemeriksaan perkara ini masih berlangsung, Saksi Pelapor telah meninggal dunia pada tanggal 16 Juni 2008 dan telah dimakamkan, sementara Saksi Pelapor tersebut merupakan saksi kunci yang mana tanpa adanya Saksi Pelapor pemeriksaan perkara tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada kesaksian dari individu yang mengetahui langsung substansi perkara yang sebenarnya sehingga proses pemerksaan perkara tidak lengkap—dalil yang tidak relevan, sebab Jaksa oleh karenanya tetap berwenang membacakan keterangan Saksi Korban sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan di hadapan seorang penyidik.
Terhadapnya fakta hukum bahwa benda yang dituduh dipalsukan telah dipakai/digunakan lebih kurang 18 (delapan belas) tahun yang lalu, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Mengenai keberatan-keberatan dari Pemohon Kasasi, Jaksa/Penuntut Umum tersebut : Bahwa keberatan-keberatan dari Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum, oleh karena perbuatan yang didakwakan telah lewat + 17 (tujuh belas) tahun sehingga kewenangan Jaksa/Penuntut Umum menuntut hapus karena daluwarsa;
“mengenai keberatan-keberatan dari Pemohon Kasasi Terdakwa tersebut : Bahwa keberatan-keberatan dari Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa Syafaruddin Siregar tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA / PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI PADANGSIDEMPUAN dan Terdakwa : SYAFARUDDIN SIREGAR tersebut.”
Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana  penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 84 KUHP :
(1) Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.
(2) Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
(3) Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dan lamanya  pidana yang dijatuhkan.
(4) Wewenang menjalankan pidana mati tidak daluwarsa.
Pasal 85
(1) Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.
(2) Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
(3) Tenggang daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.